Thursday, July 1, 2010

Iran Mulai Balas Rusia Pembatalan Pengiriman S-300

Sistem rudal permukaan-udara S-300. (Foto: RIA Novosti/Mikhail Fomichev)

01 Juli 2010 -- Penolakan Rusia mengirimkan sistem rudal permukaan-udara ke Iran dapat membuat Tehran berpaling ke Cina sebagai pemasok senjata utamanya, mengambil sumber pendapatan Moskow secara serius, tulis harian Rusia Nezavisimaya Gazeta, Rabu (30/06).

Moskow mengumumkan pertengahan Juni lalu, akan membekukan pengiriman sistem pertahanan udara S-300 mengikuti sangsi baru PBB pada Tehran yang dikeluarkan 9 Juni. Resolusi Dewan Keamanan PBB 1929 dikenakan pada Iran terkait program nuklirnya. Iran dikenakan sangsi pengetatan kontrol keuangan dan perluasan embargo senjata.

Kontrak pembelian S-300 senilai 800 juta dolar, menurut para ahli Rusia memperkirakan Moskow harus membayar denda karena wanprestasi kontrak senilai 400 juta dolar.

Iran dapat juga menolak membeli semua jenis persenjataan buatan Rusia, diperkirakan Moskow akan kehilangan kontrak 300 hingga 500 juta dolar pertahun.

Tehran telah melarang penggunaan pesawat penumpang buatan Rusia Tu-154 untuk penerbangan jalur domestik dan internasional. Tehran juga akan memulangkan para pilot sipil warga negara Rusia dalam waktu dekat, karena Republik Islam Iran telah mampu mencukupi kebutuhan pilot sendiri.

Menteri Pertahanan Iran Ahmad Vahidi memperingatkan Moskow, 22 Juni lalu, Rusia bertanggung jawab atas konsekuensi gagalnya pengiriman sistem rudal permukaan-udara S-300 ke Iran.

Moskow dan Tehran menandatangani kontrak pembelian sedikitnya lima sistem S-300 Desember 2005 tetapi sampai saat ini belum dikirimkan oleh Moskow. Washington dan Tel Aviv menekan Moskow membatalkan pengiriman S-300. Kedua negara tersebut khawatir kemampuan S-300 dapat melumat jet tempur Israel yang akan menyerang fasilitas nuklir Iran.

Sistem rudal S-300 versi terbaru, S-300PMU1 mempunyai jarak tembak diatas 150 km serta mampu mencegat rudal balistik, pesawat pada ketinggian rendah dan tinggi, membuat effektif menangkis serangan udara.

RIA Novosti/Berita HanKam

No comments:

Post a Comment