Sunday, April 18, 2010

Misi Senyap Kapal Selam Tjandrasa


Oleh: F Djoko Poerwoko, Pemerhati Militer

18 April 2010 -- Tanggal 19 Februari 1963 di halaman Istana Negara, Jakarta, Presiden Soekarno menganugerahkan Bintang Sakti bagi 1.165 pejuang Trikora. Sejumlah nama tercantum sebagai penerima Bintang Sakti, termasuk Herlina si Pending Emas, Leonardus Benny Moerdani, dan 61 ABK Kapal Selam RI Tjandrasa. Baru kali ini bintang tertinggi militer dianugerahkan secara kelompok, umumnya hanya buat individu yang bertugas diluar panggilan tugas.

ABK RI Tjandrasa dianugerahi bintang tertinggi militer Indonesia atas keberanian mereka yang luar biasa mendaratkan 15 pasukan RPKAD di Teluk Tanah Merah, Irian Barat, wilayah yang dijaga ketat oleh Belanda. Pendaratan di malam yang kelam tanggal 21 Agustus 1962 ini hanya berhasil dilakukan oleh RI Tjandrasa, sedangkan dua kapal selam lainnya cikar haluan karena ketahuan musuh.

Cerita yang runtun dan apik ini disajikan oleh Atmadji Sumarkidjo, seorang wartawan militer senior yang saat ini alih tugas di media TV. Buku dengan judul Mission Accomplished: Misi Pendaratan Pasukan Khusus oleh Kapal Selam RI Tjandrasa ini telah diluncurkan oleh KASAL di geladak kapal perang KRI Surabaya-591 pada awal tahun 2010.

Buku yang lahir di atas laut ini mengisahkan sepak terjang pelaut Indonesia selama operasi pembebasan Irian Barat tahun 1962.

Sejujurnya misi kapal selam memang misteri dan ”tabu” untuk diceritakan. Satuan yang mempunyai moto Wira Ananta Rudhiro (Tabah Sampai Akhir) ini selalu beroperasi dalam senyap sehingga senyap pula dari pemberitaan di media massa.

Namun, dengan keberanian, akurasi data, dan kedekatan dengan sejumlah petinggi militer, Atmadji berhasil menyusun cerita yang pantas untuk dibukukan.

Dari buku setebal 155 halaman ini, pembaca diajak masuk dalam kehidupan kapal selam, kebiasaan para ABK, hingga tugas-tugas operasi yang selama ini dijalankan, terutama saat operasi Djajawidjaja berlangsung.

Penulis mengakui bahwa semua data yang didapat adalah berdasarkan testimoni para pelaku dan tidak satu pun ”dokumen negara” yang digunakan sebagai acuan. Dari sinilah kepiawaian penulis dibuktikan sehingga cerita yang disajikan dapat mengalir dengan lancar tanpa resistensi birokrasi militer.

Bisul hampir pecah

Subjudul ini dipakai penulis saat menggambarkan situasi sidang kabinet tanggal 20 Januari 1962, sepekan setelah tenggelamnya RI Matjan Tutul di Laut Aru pada tanggal 15 Januari 1962. Peristiwa yang dikenal dengan peristiwa Aru ini menewaskan Deputi I KASAL Komodor Jos Sudarso dan melengserkan KASAU Laksamana Madya Udara S Suryadharma. Adalah menjadi pertanyaan besar tentang siapa yang berinisiatif melaksanakan operasi rahasia tanpa diketahui panglima.

Digambarkan bahwa sidang di Istana Bogor tersebut sangat mencekam, serius, dan sepi setelah Kolonel Mursid menjawab ”Tidak ada perubahan…!”

Menjawab pertanyaan Omar Dhani (KASAU baru) saat bertanya kenapa operasi tidak dibatalkan atau ditunda setelah musuh mengetahui rencana ini.

Hanya karena kewibawaan Bung Karno sehingga tidak terjadi debat keras sesama peserta sidang. AURI yang sakit hati karena disalahkan dan ALRI juga tidak terang-terangan menuduh Angkatan Darat merancang operasi infiltrasi tersebut membuat gamang peserta sidang.

Meskipun semua paham bahwa infiltrasi adalah bagian dari Operasi A, rencana operasi yang dirancang Angkatan Darat.

Peristiwa Aru dan rapat di Istana Bogor sebetulnya menjadi sebuah berkah bagi Komando Mandala yang dipimpin oleh Mayjen Soeharto. Karena dalam akhir rapat Presiden Soekarno memberi petunjuk bahwa Operasi Mandala, operasi pembebasan Irian Barat, adalah operasi gabungan di bawah Komando Panglima Mandala.

Sisi lain operasi pembebasan Irian Barat mengenai kedatangan 6 kapal selam yang diawaki orang Rusia. Keenam kapal selam terakhir yang datang bulan Juli 1962 ini tidak muncul di Ujung Surabaya, tetapi diperintahkan untuk tetap menyelam dan siaga di utara Irian Barat.

Dalam operasi bersandi Alugoro mereka mendapat tugas untuk free hunting, bermakna legal untuk menenggelamkan semua kapal musuh yang ditengarai mengganggu operasi Djajawidjaja.

Kala itu kapal selam ini telah dipersenjatai dengan torpedo terbaru tipe SAET-50 yang dapat homing menuju sasaran. ”Dalam operasi Alugoro yang diberikan secara langsung kepada keenam kapal selam itu adalah menuju Samudra Pasifik di utara Irian Barat. Mereka harus melakukan operasi khusus yang berdiri sendiri di luar Komando Operasi Djajawidjaja di bawah perintah Menteri/ Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Madya RE Martadinata.

Keenam kapal selam diperintahkan membentuk blokade ketat di sepanjang pantai utara Irian Barat untuk menenggelamkan kapal.”

Instruksi ini jelas perintah perang! (Hal 127).

Secara resmi keenam kapal selam baru diserahkan kepada Indonesia pada tanggal 15 Desember 1962. Berakhirlah tugas ABK Rusia di atas kapal selam yang ikut operasi. Kapal selam itu diberi nama RI Widjajadanu/409, RI Hendradjala/405, RI Pasopati/410, RI Bramasta/412, RI Tjundamani/411, dan RI Alugoro/406.

Tak terkendali?

Hasil perundingan di New York yang diprakarsai oleh Amerika berhasil mendamaikan pertikaian Indonesia-Belanda sehingga keluar surat perintah dari Presiden selaku Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI/ Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat untuk menghentikan tembak-menembak sejak 18 Agustus 1962 pukul 09.31 waktu Irian Barat. Surat ini baru direspons Panglima Mandala pada 25 Agustus 1962 dengan keluarnya Perintah untuk Menghentikan Permusuhan Indonesia-Belanda.

Adapun operasi pendaratan pasukan RPKAD yang dilakukan RI Tjandrasa dilaksanakan pada 21 Agustus 1962, beberapa hari setelah keluarnya sandi Awan Terang yang bermakna gencatan senjata.

Pelaksanaan operasi digambarkan penulis dengan apik dan mencekam. Faktor komunikasi dianggap sebagai kendala, mengingat operasi kapal selam selalu dilakukan dengan radio silence!

”Tiga sekoci pendarat diselimuti kegelapan dengan didayung lepas dari RI Tjandrasa menuju pantai pendaratan.

Suasana tenang, sepi, hanya suara gemerisik ombak dan dayung pasukan khusus yang terdengar.”

Buku ini dibuat berdasar testimoni para pelaku sehingga data jarak antara pantai dan kapal selam berbeda. Komandan kapal menyatakan jarak sejauh 500 meter, sedangkan saksi lain menyatakan kurang lebih 2 mil.

Buku ini apik untuk dibaca, apalagi Atmadji sering menggunakan kata-kata heroik, ”….Kita semua masih muda dari perwira sampai bintara.

Kita dipenuhi oleh semangat menyala-nyala dan tidak memikirkan hal lain, seperti gaji, rumah, atau keluarga.”

Semangat yang tentunya diperhatikan oleh para petinggi militer sampai kapan pun.

KOMPAS

1 comment: