Sebagian besar dari sekitar 200-an bagan ikan yang berada di perairan Sebatik dan Nunukan hingga dekat Blok Ambalat, Rabu (3/6), terlihat dipasangi bendera Merah Putih. Bendera kebangsaan itu digunakan untuk menandai bahwa daerah tersebut berada di wilayah perairan Indonesia. (Foto KOMPAS/M Syaifullah)
2 Januari 2010 -- Daerah perbatasan sering kali dijuluki sebagai ”beranda terdepan bangsa”. Namun, dalam kenyataannya sering kali tidak terurus, ibarat tempat kumuh.
Tulisan ini merujuk pada fakta yang sempat terekam Kompas ketika ikut kunjungan kerja Komisi I DPR ke daerah perbatasan RI dan Malaysia di Kalimantan Timur, Desember lalu.
Kita menyadari, Indonesia-Malaysia adalah negeri serumpun. Sebelum menganut konsep negara modern, pascaperjanjian Westphalia 1648, keduanya belum mengenal batas-batas fisik dan budaya. Masalah mulai muncul setelah Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945, dan Malaysia, 31 Agustus 1957.
Pergesekan Indonesia-Malaysia boleh dikatakan merupakan yang terpanas jika dibandingkan dengan masalah perbatasan dengan negara lain di pinggiran Indonesia. Yang paling riuh dan banyak dipersoalkan ialah terkait tenaga kerja Indonesia (TKI) dan perbatasan fisik di Pulau Ambalat. Fakta lapangan tidak sesederhana itu, tetapi amat kompleks.
Pengertian perbatasan selama ini lebih banyak dipahami dalam konteks fisik. Sejak kasus Pulau Sipadan dan Ligitan, yang oleh Mahkamah Internasional dimenangkan Malaysia pada tahun 2002, masalah perbatasan fisik terus meningkat. Kini Malaysia malah berusaha merampas Ambalat.
Ketika Indonesia terus berusaha memperkuat pengamanan perbatasan fisik, batas kultural yang tidak pernah terpikir untuk dibentengi pun diusik. Terakhir kita tersentak oleh isu ”klaim” Malaysia soal tarian pendet, dalam sebuah iklan pariwisatanya. Menlu Malaysia Anifah Aman membantah pernah ada klaim itu.
Kompleksitas masalah
Soal tenaga kerja Indonesia, nasib mereka ibarat pepatah: sudah jatuh tertimpa tangga pula. TKI tidak hanya sering menjadi korban penganiayaan, pelecehan, dan tersandung kasus kriminal, tetapi mereka juga tidak bisa menyekolahkan anak-anaknya.
Konjen RI ad interim di Tawau, Sabah, Hadi Susanto, kepada tim Komisi I menyebutkan, ada 37.294 anak usia SD, yakni anak dari TKI di Sabah, tidak bisa sekolah karena orangtuanya tidak mampu. Tim terdiri atas tujuh orang, dipimpin Wakil Ketua Komisi I DPR Hayono Isman.
Sebanyak 37.294 anak usia SD itu terancam buta huruf. Di Sabah, ada lebih dari 450.000 orang TKI, sekitar 318.000 di antaranya ilegal. Jumlah anak dan TKI itu belum termasuk mereka yang menetap di Serawak dan Semenanjung Malaysia.
TKI tidak mampu menyekolahkan anaknya karena upah mereka rendah. Fayakhun Andriadi, yang pernah mengamati khusus kehidupan para TKI, mengatakan, upah mereka berkisar 300 ringgit (Rp 900.000) hingga 600 ringgit (Rp 1,8 juta) per bulan. Biaya sekolah 150 ringgit (Rp 400.000) per anak per bulan. Biaya menjadi mahal setelah subsidi bagi anak asing dihapus tahun 2008.
Fakta yang memprihatinkan lainnya terekam ketika tim mengunjungi tempat tahanan. Ada 400 warga Indonesia, pencari kerja ilegal, ditahan karena tidak memiliki dokumen keimigrasian. Mereka menunggu proses deportasi. Sayangnya, tim komisi tidak diizinkan masuk ke dalam tahanan.
Ketika tiba di Pulau Sebatik, pulau yang secara administratif terbagi atas wilayah Malaysia dan Indonesia, tim juga menemukan fakta lain. Khusus di Sebatik Barat, bagian dari wilayah Indonesia, warganya kecewa karena listrik yang dibangun negara sejak tahun 1991 belum juga beroperasi.
Dalam kunjungan yang begitu singkat dan padat juga terungkap, warga di wilayah Nunukan lebih banyak berorientasi ke Malaysia. Seluruh hasil pertanian mereka, baik itu hasil bumi maupun hasil laut, dan produk industri rumah tangga dijual ke Tawau. Barang-barang mereka ditawar dengan harga murah.
Koperasi unit desa yang diharapkan menjadi soko guru ekonomi rakyat, untuk menampung hasil pertanian dan ekonomi produktif rakyat di perbatasan, tidak berperan. Warga Nunukan dan Sebatik lebih sering menjual ke Tawau daripada menjual di Nunukan dan Tarakan karena berbagai alasan.
Persoalan pengamanan wilayah fisik pun sangat sensitif. Sejak Pulau Sipadan dan Ligitan lepas dari Indonesia ke tangan Malaysia, kini Pulau Ambalat pun terancam. Bahkan, mungkin, ancaman itu bisa semakin kuat karena fasilitas keamanan untuk kegiatan operasional di perbatasan sangat minim.
Misalnya, fasilitas pangkalan udara TNI di Tarakan, sebagai pangkalan terdepan di perbatasan, tertinggal jauh dari pangkalan angkatan udara Malaysia di Tawau, Sabah. Landasan pacu Tarakan berukuran 2.250 x 45 m, Nunukan 900 x 23 m. Panjang landasan Tawau 2.670 x 47 dan Kinabalu 3.050 x 45 m.
Jajaran Pangkalan Laut dan Angkatan Udara di Tarakan kepada Komisi I di Tarakan mengatakan, panjang landasan berkaitan erat dengan kemampuan operasional alutsista, khususnya pesawat patroli atau tempur. Artinya, jika landasannya kecil, pesawat canggih yang lebih besar pun sulit mendarat.
Kapal-kapal patroli TNI AL, selain kapal perang KRI, juga terbatas. Ada satu kapal patroli mewah di Nunukan yang ditempatkan sejak dua tahun silam tidak bisa beroperasi karena kesulitan bahan bakar. Kapal berkecepatan 40 knot per jam itu pakai bensin, tetapi stok bahan bakar kebanyakan solar.
Alat komunikasi di perbatasan pun terbatas. Dari tiga pos keamanan di Sebatik, misalnya, hanya pos paling depan yang memiliki radio komunikasi. Dua pos lain di belakangnya tanpa sarana komunikasi. Masalah ini juga disoroti tim Komisi I dalam pertemuan dengan pihak terkait di Tarakan dan Nunukan.
Jaringan telekomunikasi dan penyiaran publik milik pemerintah minim. Infrastruktur lembaga penyiaran publik, misalnya, yang diharapkan sebagai corong pemerintah, seperti RRI dan TVRI, baru menyentuh kota kabupaten. Warga perbatasan lebih banyak menerima siaran radio dan televisi Malaysia.
Minim dan lamban
Sebenarnya masih banyak lagi masalah yang belum diungkap, seperti illegal fishing, perompakan, terorisme, dan pencurian hasil hutan. Tim Komisi I menilai pemerintah belum serius membangun perbatasan. Beranda terdepan bangsa dan negara RI lebih sering diabaikan.
Misalnya, sudah 31 menteri, satu wapres, dan satu presiden mengunjungi Sebatik, tetapi hingga kini warganya belum terlayani listrik meski tiang-tiang sudah dibangun sejak 1991.
Bentuk-bentuk kehadiran negara, seperti penyediaan sarana dan prasana listrik, telekomunikasi, air bersih, koperasi unit desa, jaringan transportasi, jaringan informasi, terutama penyiaran, jauh dari memadai. Tidak heran jika orientasi politik, ekonomi, sosial, dan budaya warga lebih banyak ke Malaysia.
Hayono juga mengatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah pernah mengunjungi garis batas RI-Malaysia di Ambalat pada 2005. Saat itu, Presiden berdiri menghadap wilayah Malaysia untuk mengisyaratkan bahwa rakyat Indonesia siap menghadapi setiap agitasi Malaysia terhadap Ambalat.
”Kami juga mencatat, sejak kunjungan itu, tidak ada tindak lanjut dari pemerintah. Kalaupun ada tindak lanjut, sangat lamban. Menyangkut perbatasan, sebaiknya harus diproses cepat,” tutur Hayono Isman.
Anggota Komisi I, seperti Fayakhun Andriadi, Tantowi Yahya, dan Achmad Basarah, mengatakan, pemerintah harus mengubah orientasi pembangunan perbatasan dari pendekatan ekonomi ke pendekatan national interest. Utamakan kepentingan nasional mempertahankan kedaulatan dan martabat bangsa, ketimbang kepentingan kapitalistik.
KOMPAS
No comments:
Post a Comment