Embraer EMB-314 Super Tucano. (Foto: EMBRAER defense systems)
25 Desember 2009 -- Jika tidak aral melintang, langit Indonesia akan diwarnai satu lagi kebolehan pesawat latih tempur TNI-AU yang memiliki kemampuan di atas rata-rata. Itu adalah pesawat bermesin turboprop tunggal modern Embraer EMB-314 "Super Tucano" buatan Empresa Brasiliera de Aeronautica SA, Brasil.
Dalam nomenklatur pesawat tempur dunia, Super Tucano, diklasifikasikan ke dalam pesawat latih-serang-tempur ringan. Artinya, selain menjadi pesawat propeler mesin tunggal latih tempur dasar dan madya bahkan lanjut, dia bisa difungsikan juga menjadi pesawat tempur ringan untuk keperluan close air support udara ke darat jarak dekat.
Pesawat dengan kemampuan seperti ini pernah dimiliki TNI-AU, yaitu OV-10F Bronco buatan Rockwell, Amerika Serikat dan sang legendaris, North American P-51D Mustang.
Pengumuman tentang rencana kedatangan Super Tucano baru berbarengan dengan penempur jet buatan Rusia, Sukhoi Su-27 SKM dan Su-30 MK2 berkursi ganda itu, diutarakan Kepala Staf TNI-AU, Marsekal Madya TNI Imam Sufaat, di Jakarta, Senin lalu (21/12).
Brasil sebagai negara pembuat tidak pernah punya masalah berlatar politik dengan Indonesia dan sama-sama negara yang pernah dijajah Barat, dan memiliki industri penerbangan tangguh.
Ditargetkan, pada upacara HUT ke-65 TNI, Super Tucano sudah dipajang atau malah bermanuver di udara, begitu pun Su-27 SKM dan Su-30 MK2.
Bicara soal dua tipe jet terakhir ini, pada 2010 Indonesia akan memiliki 10 unit yang telah lengkap persenjataannya, sejak batch pertama Sukhoi-27 mulai dikirim ke Indonesia pada 2003.
Dengan menengok hubungan diplomatik Indonesia-Brasil, relatif tidak akan ada hambatan politis yang berpotensi mengganggu perjalanan pembangunan kembali kekuatan pertahanan udara Indonesia, jika "kita" membeli wahana tempur dari Brasil.
Sebetulnya, rintisan pembelian Super Tucano ini sudah terjadi sejak 1999, saat pucuk pimpinan TNI-AU masih dijabat Marsekal TNI Hanafie Asnan.
Saat itu, disadari usia pakai OV-10F Bronco yang terbukti cocok dengan kondisi geografi dan topografi nasional akan mencapai akhir, harus "pensiun" pada 2007, sementara pesawat tempur pengganti sekelas belum ada.
Pesawat latih dasar AS-202 "Bravo" juga sudah mulai menua usianya untuk mengantar penerbang muda TNI-AU mengakrabi wahana tempur jet modern.
Hawk Mk-53 buatan Inggris nasibnya juga sama, apalagi Inggris mengekor Amerika Serikat ikut mengembargo pembelian pesawat tempur dan suku cadangnya ke Indonesia.
Pilihan saat itu sebagaimana diungkap Asnan ada beberapa, mulai dari KT-1 "Wong Bee" buatan Korean Aerospace Industries, Korea Selatan, Pilatus P-9 Turbo Trainer, dan Super Tucano dengan varian ALX/A-29.
Bisa dibilang, karakteristik manuver ketiga pesawat latih itu agak mirip, pula penampakan luar berkanopi super luas ala jet tempur generasi kelima, plus dimensi, daya mesin, konfigurasi kursi pelontar, tata letak panel-panel, hingga sistem avionika dan kompatibilitas persenjataan yang akan diterapkan.
Walau tidak diungkap angkanya, Asnan yang menapaki karirnya di OV-10F Bronco, menyatakan bahwa KT-1 Wong Bee yang model skalanya sudah ada di ruang kerja KSAU saat itu, berharga paling murah dan Pilatus P-9 Turbo Trainer paling mahal.
Semua pabrikan menawarkan skema pembayaran yang sangat menggiurkan, yaitu fasilitas kredit ekspor dari pihak ketiga, dan studi kelayakan sampai kunjungan ke pabriknya masing-masing telah dilakukan.
Setelah bertahun-tahun rencana pengadaan tipe pesawat diperjuangkan, akhirnya Super Tucano menjadi "pemenangnya". Referensi bergengsi penerbangan dunia, Jane`s Aviation, menyatakan, baru Brasil (76 operasional dari 99 pesanan), Dominika (2/8), Kolombia (25 operasional), dan Guatemala (10 operasional) yang memakai Super Tucano dalam arsenal udaranya.
Menyusul dan masih dalam pesanan, adalah Chile (12), Ekuador (24), Peru (12), Amerika Serikat (satu unit untuk US Naval Aviation School atau US Special Operation Command, dibeli secara "leasing"), dan Indonesia (delapan hingga 16 pesanan pada April 2008) yang menjadikannya negara ASEAN pertama yang akan memakai Super Tucano ini.
Seluruh pesanan itu masih ditambah satu pesanan dari perusahaan jasa pengamanan-militer VIP internasional asal Amerika Serikat, Blackwater Worldwide.
Jika dicermati, di luar Amerika Serikat, seluruh pemakai dan pemesan Super Tucano adalah negara Amerika Latin beriklim tropis-subtropis basah yang memiliki kontur geografis-topografis cukup lengkap dan ekstrim, dari pantai berhutan rawa, dataran di ketinggian (plateau), bukit-bukit, hingga gunung curam berhutan lebat dalam luas wilayah darat dan laut cukup luas.
Indonesia juga memiliki latar belakang geografis dan topografis serupa di pulau-pulau besarnya.
Menurut mantan Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional, Marsekal Muda TNI (Purnawirawan) Zaki Ambadar, faktor-faktor nonteknis di luar kemampuan pesawat tempur seperti itu juga menjadi pertimbangan penting dalam menentukan pilihan pesawat terbang TNI-AU.
"Hal ini juga dianut angkatan udara banyak negara, lumrah saja," katanya.
EMB-314 Super Tucano sebagai kelanjutan EMB-312 Tucano memang pantas dipilih untuk keperluan close air support menggantikan OV-10F Bronco, sampai-sampai US Special Operation Command yang pola operasinya sering diklasifikasikan rahasia, juga memilih pesawat tempur turboprop ringan ini.
Karakteristik tempurnya menunjang hal itu, yaitu memiliki kecepatan maksimal 593 kilometer per jam, jarak operasi 4.820 kilometer dalam konfigurasi tanpa tangki tambahan, ketinggian maksimal 10.620 meter dari permukaan laut, dan laju tanjak 24 meter per detik, dan lepas landas atau mendarat dari landas pacu yang pendek.
Kemampuan terakhir ini menyebabkan dia mampu memberi efek menerbangkan pesawat tempur jet yang bisa dipacu hingga +9g atau -4g.
Kecepatannya memang tidak terlalu cepat untuk pesawat tempur, namun kecepatan seperti itulah yang paling cocok untuk tugas pengamatan insurjensi sambil memberi "payung udara" berupa semburan tembakan peluru (straffing) dari dua kanon 12,7 milimeter FN Herstal M3P dengan semburan hingga 1.100 peluru per menit.
Kalau "payung udara" itu masih kurang, dari dalam kokpit berbahan kevlar, pilot bisa memberi dukungan lain dari satu kanon 20 milimeter di bagian bawah tubuh pesawat tempur ini, ditambah roket 70 milimeter dari empat jalur peluncur, serta hunjaman bom-bom konvensional Mk-82 atau dari kelas "Iron" dan bom pintar dari kelas "Cluster" yang masih bisa disimpan di dalam tubuhnya.
Masih kurang cukup? Peluru kendali udara-ke-udara AIM-9 Sidewinder sebanyak dua unit atau dua MAA-1 Piranha dari Orbita, atau Python 3/4 bisa menjadi pamungkas.
Seluruh arsenal itu masih bisa lagi dilengkapi dengan persenjataan lain pada lima titik tambat tambahan, sesuai dengan keperluan dan kompatibilitas.
Walau kelihatannya kecil dan ringan, yaitu dimensi panjang sayap 11.14 meter dan panjang badan 11,33 meter, tinggi 3,97 meter, luas total sayap 19,4 meter persegi, bobot kosong 4.250 kilogram, dan bobot lepas landas maksimal 5.200 kilogram, namun satu mesin turboprop Pratt & Whitney Canada PT6A-68C dengan daya 1.600 shp/969 kiloWatt di tubuhnya mampu menerbangkan pesawat tempur seharga sembilan juta dollar AS per unit itu secara lincah.
Lain lagi perihal avionika dan sistem kendalinya, di dalam kokpit all-glass yang kompatibel seluruhnya dengan sistem pengamatan malam hari (night vision goggle/NVG) sehingga kabel penghubung helm pilot NVG bisa langsung "ditancap" ke display utamanya (head-up display/HUD).
HUD ini sendiri seolah ingin memanjakan pilot dengan ukurannya yang tidak kalah `lukratif`, yaitu hingga layar 24 inchi. Seluruhnya dirangkai dalam sistem kendali penerbangan dan pertempuran udara bernama MIL-STD-1553B di mana tongkat kendali dibantu sistem komputer dalam sistem HOTAS (hands on throttle and stick control system).
Perusahaan avionika kondang dari Haifa, Israel, Elbit System Ltd, menyumbang besar untuk semua sistem itu, terutama urusan HUD, komputer misi lanjutan, sistem navigasi, dan dua displai multifungsi enam inchi.
Bagaimana dengan sistem penginderaannya? Ini hal penting yang menyebabkan US Special Operation Command kepincut dengan Super Tucano yang mampu terbang selama 6,5 jam, karena sistem penginderaan termal inframerah AN/AAQ-22 SAFIRE sangat memungkinkan dia melakukan pengamatan dan penyerangan pada malam hari yang berhujan lebat.
Akhirnya, semua kemampuan itu menjadi semakin efektif jika perencanaan operasi benar-benar matang dilakukan dengan pengendalian dari pilot yang cakap.
Sesuai dengan peruntukan awalnya, maka Super Tucano diketahui disiapkan untuk pesawat latih dasar, madya, dan lanjut, serta patroli perbatasan.
Hal itu masih ditambah lagi untuk satu misi penting, yaitu operasi anti serangan darat dari udara dan pengamatan serta anti penyelundupan seperti lazim terjadi di perbatasan Amerika Serikat dan Meksiko atau lainnya. Indonesia memiliki garis perbatasan negara yang sangat panjang di darat, yaitu sekitar 3.500 kilometer di Kalimantan, Irian, dan Pulau Timor.
Pada waktu Operasi Seroja dilaksanakan, Bandar Udara Haliwen di Atambua, Kabupaten Belu, NTT, sering menjadi saksi bisu kegunaan OV-10F Bronco yang masih baru didatangkan dari Amerika Serikat itu dalam misi pengamatan anti serangan darat.
Super Tucano yang rencananya akan datang ke Tanah Air sebelum Oktober 2010 jelas lebih dari sekedar mampu untuk melakukan tugas patroli perbatasan negara jarak dekat dan misi tambahan lain.
Khusus untuk Pulau Timor sebagai misal, selama ini Misi PBB Untuk Timor Timur yang bermarkas di Dili, Timor Timur, selalu memakai koridor udara untuk bisa ke Distrik Oekusi sehingga pelanggaran jalur penerbangan potensial terjadi. Selain itu, ALKI IV juga melintasi Laut Timor dan Laut Sabu, yang berdekatan dengan Pulau Timor dan Pulau Flores.
Akankah Super Tucano dikombinasikan dengan helikopter serang Mil Mi-17 dari Pusat Penerbangan TNI-AD juga bisa berkontribusi dalam pengamanan perbatasan negara seperti juga dilakukan tiga skuadron udara Angkatan Udara Brasil?
Tentu saja TNI-AU dan Markas Besar TNI/Departemen Pertahanan telah memiliki skenario soal itu.
ANTARANews
No comments:
Post a Comment