Monday, October 12, 2009

Ketika KRI Dr Soeharso Mampir ke Padang

Pasien di rumah sakit terapung Dr Soeharso, Sabtu (10/10), dirawat seusai operasi tangan kiri yang patah karena tertimpa bangunan rumah saat gempa terjadi di Padang, Sumatera Barat, pekan lalu. Kapal milik TNI Angkatan Laut Armada Wilayah Timur tersebut saat ini merawat 21 pasien rawat inap dan ratusan pasien korban gempa lain, dengan ragam penyakit dari ringan hingga penyakit berat. (Foto: KOMPAS/Lucky Pransiska)

12 Oktober 2009, Padang -- Bainar (82) masih terbaring di ranjang rumah sakit. Lengannya masih diperban, sisa operasi dua hari silam. Gempa 30 September lalu membuat dinding rumah Bainar runtuh dan menimpa tangan kanannya sehingga patah.

Pertolongan medis tidak bisa segera diterima Bainar lantaran sejumlah rumah sakit (RS) di Kota Padang rusak parah dan kesulitan memberikan perawatan medis yang memadai bagi pasien yang membeludak.

Baru setelah Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) Dr Soeharso merapat di Pelabuhan Teluk Bayur, Sumatera Barat (Sumbar), Senin (5/10) pekan lalu, tangan Bainar yang patah bisa dioperasi dan dibalut perban untuk memulihkan kondisinya.

Selama tiga hari setelah operasi, Bainar menikmati perawatan di ruang rawat inap KRI itu. ”Saya sampai tidak merasa seperti berada di kapal,” ucapnya.

KRI Dr Soeharso memang dirancang sebagai kapal bantu rumah sakit (BRS). Ketika gempa mengguncang Padang dan sekitarnya, kapal ini langsung diperintahkan meluncur dari ”tempat parkir” di Surabaya ke Padang. ”Bila RS di darat rusak, KRI Dr Soeharso bisa membantu fungsi RS karena kapal ini didesain khusus sebagai RS,” tutur Kepala Dinas Kesehatan Armada Timur Kolonel Laut (K) dr Arie Zakaria SpOT, FICS.

Di Padang, KRI ini diperkuat 64 orang tim medis dan paramedis, termasuk 11 dokter dengan berbagai keahlian. Jumlah anggota tim kesehatan ini di luar anak buah kapal yang berjumlah 126 orang.

Kapal dengan panjang 122 meter dan lebar 22 meter ini mempunyai dua ruang rawat inap, dengan kapasitas masing- masing 20 tempat tidur. Dalam keadaan darurat dengan jumlah pasien yang membeludak, satu ruangan—yang bisa dipakai mengangkut 20 truk—bisa disulap sebagai ruang rawat darurat dengan kapasitas maksimal 400 tempat tidur lipat. Saat ikut menangani gempa di Sumbar, KRI Dr Soeharso membawa cadangan 250 tempat tidur lipat.

Selain ruang rawat inap, ada pula unit gawat darurat (UGD) yang menjadi tempat pertolongan darurat bagi pasien yang baru tiba. Bila dibutuhkan operasi, kapal ini mempunyai tiga kamar operasi, lengkap dengan peralatan termasuk rontgen.

Untuk kebutuhan rawat jalan, ada tujuh poliklinik yang mempunyai fungsi masing-masing, seperti poliklinik anak, gigi, mata, telinga hidung tenggorokan (THT), dan saraf. Sebuah apotek dan kamar jenazah juga melengkapi RS apung ini.

Sayangnya, ketika diperbantukan sebagai RS apung untuk melayani kesehatan korban gempa di Sumbar, tidak semua poliklinik ini buka. ”Kami mengkhususkan pelayanan kesehatan terutama operasi patah tulang karena pelayanan inilah yang diperkirakan banyak menimpa korban gempa. Adapun untuk pelayanan kesehatan lain, kami sudah membuka rumah sakit lapangan di tiga titik di darat,” kata Arie.

Kapal yang bersandar di Teluk Bayur ini sempat mengoperasikan helikopternya untuk menjemput sejumlah korban gempa di tempat yang jauh dari fasilitas medis yang memadai. KRI Dr Soeharso mempunyai satu landasan heli dengan hanggar yang bisa memuat dua helikopeter. Sebagai RS, kapal berbobot 11.500 ton ini tidak bisa berlayar dengan kecepatan tinggi, maksimal 13 knot.

Komandan KRI Dr Soeharso Letkol Laut Yudho Warsono mengatakan, kapal juga dilengkapi alat penstabil gerakan (stabilizer), untuk mengurangi guncangan saat berlayar di laut lepas. Hanya bila gelombang sampai empat meter, pelayanan medis dihentikan sementara.

Sebagai kapal yang memberikan pelayanan medis, sejumlah kebutuhan harus disiapkan secara mandiri di dalam kapal. Sebut saja air bersih. Oleh karena itu, kapal ini dilengkapi dengan mesin penjernih air. Mesin ini bisa mengubah air laut menjadi air tawar bersih untuk aneka kebutuhan, termasuk minum.

Kebutuhan oksigen dan pendingin udara juga dipenuhi dari tabung-tabung oksigen yang disimpan di satu ruangan khusus. Wajarlah kalau kapal ini menyedot biaya operasional sampai Rp 200 juta per hari.

Kapal dengan desain rumah sakit ini sebenarnya sudah tiba di Indonesia tahun 2003. Namun, tidak segera dioperasikan sebagai RS karena untuk mengisi peralatan RS butuh biaya sekitar Rp 100 miliar. Kapal buatan Korea ini baru diresmikan sebagai kapal RS tahun 2007.

Indonesia boleh berbangga karena di Asia hanya republik ini, dan China, yang mempunyai kapal rumah sakit.

KOMPAS

No comments:

Post a Comment