Menteri Pertahanan RI Purnomo Yusgiantoro (tengah), Menteri Pertahanan Malaysia Ahmad Zahid bin Hamidi (kanan), Panglima TNI Laksamana TNI Agus Suhartono (2kanan) diantar Dirut LKBN Antara Ahmad Mukhlis Yusuf (kiri) usai memberi sambutan dalam seminar "Revitalisasi Industri Pertahanan untuk Kemandirian Alutsista dan Perluasan Pembangunan Ekonomi" di Wisma Antara, Jakarta, Rabu (18/5). Purnomo menyatakan perlunya keberadaan industri pertahanan yang terspesialisasi di ASEAN agar memiliki posisi tawar yang kuat dalam percaturan global. (Foto: ANTARA/Fanny Octavianus/nz/11)
18 Mei 2011, Jakarta (ANTARA News): ASEAN bertekad mengurangi ketergantungan pengadaan alat utama sistem persenjataan dari luar kawasan, dengan merancang kemandirian industri pertahanan ASEAN yang ditargetkan selesai 2030.
Menteri Pertahanan Malaysia Ahmad Zahid Hamidi, pada seminar "Revitalisasi Industri Pertahanan untuk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi" di Jakarta, Rabu, mengatakan, selama ini total belanja alat utama sistem senjata negara-negara ASEAN setiap tahun mencapai 25 juta dolar AS.
"Angka belanja itu harus kita kurangi secara bertahap hingga 12,5 juta dolar AS per tahun, dengan membangun kemandirian industri pertahanan ASEAN. Jadi produk industri pertahanan ASEAN dari dan untuk negara ASEAN," katanya.
Apalagi, tambah Hamidi, selama ini antar negara ASEAN sudah terjadi saling pembelian alat utama sistem senjata semisal Singapura telah menjual peluncur roketnya ke Brunei Darussalam dan kapal Landing Platform Dock (LPD) ke Thailand.
"Pembelian alat utama sistem senjata antar negara ASEAN dapat menjadi embrio bagi terwujudnya industri pertahanan ASEAN yang mandiri dan kuat," katanya.
Terkait pembangunan industri pertahanan ASEAN yang mandiri itu, para menteri pertahanan ASEAN telah di bawah koordinasi Menhan Malaysia telah melakukan beberapa kali pertemuan untuk membahas rancangan kerja sama industri pertahanan ASEAN guna mendukung pertumbuhan ekonomi kawasan.
"Konsep dan formulasi baku diperlukan untuk mewujudkan kolaborasi industri pertahanan ASEAN yang mandiri di masa datang, mengingat tingkat kebutuhan, spesifikasi teknik, tekonologi persenjataan masing-masing negara ASEAN sangat beragam," kata Hamidi.
Ia menambahkan, "Kita membutuhkan komitmen dari masing-masing kepala pemerintahan negara ASEAN, kerja sama dari pemangku kepentingan dari masing-masing negara ASEAN, keseragaman, hingga dapat ditentukan standar baku produk industri pertahanan ASEAN yang dihasilkan bagi negara-negara ASEAN, seperti halnya negara-negara NATO yang telah memiliki standar baku untuk produk-produk pertahanan yang dihasilkan negara-negara NATO.
"Jika Inggris dan Perancis yang berbeda bahasa, budaya dan pandangan politiknya bisa bekerja sama dalam membangun industri pertahanan Uni Eropa, mengapa Indonesia dan Malaysia yang memiliki latar belakang budaya dan bahasa sama, tidak dapat bekerja sama mewujudkan industri pertahanan ASEAN yang mandiri, bahkan kalau bisa dipercepat," kata Hamidi meyakinkan.
UAV mini Skyblade III produksi industri pertahanan Singapura. (Foto: Mindef)
Pada kesempatan yang sama Menhan RI Purnomo Yusgiantoro mengatakan, Indonesia masih berada dalam posisi lebih rendah dibandingkan Singapura, Thailand dan Malaysia dalam industri pertahanan nasional.
"Namun, bukan berarti kita tidak siap. ASEAN, termasuk Indonesia merupakan pangsa pasar yang cukup besar untuk komoditi persenjataan, meski dar sisi budget Indonesia masih relatif kecil," katanya.
Ia mengatakan, Indonesia termasuk empat negara ASEAN yang industri pertahanannya relatif stabil setelah Singapura, Thailand dan Malaysia.
"Pangsa pasar yang besar ini dapat dikelola oleh ASEAN sendiri, akan lebih baik. Jadi, kedepan kita, umumnya ASEAN tidak akan lagi menjadi pengimpor penuh persenjataan dari luar kawasan. Selama dua hingga tiga dekade ASEAN pengimpor penuh untuk peralatan dan persenjataan, dirgantara, maritim, otomotif, teknologi komunikasi dan informasi," ungkap Purnomo.
Sumber: ANTARA News
No comments:
Post a Comment