Thursday, March 25, 2010

Kejarlah Teroris, Lantas Siapa yang (Berhak) Menangkap?


25 Maret 2010,Jakarta -- Satu jam lewat waktu berlalu. Jarum jam di dinding menunjuk pukul 20.14. Suasana nyaris tanpa kesibukan berarti terus menyelimuti Pos Pengamanan II Terminal III Bandar Udara Soekarno-Hatta, Tangerang.

Seharian itu sejatinya latihan gabungan antiteror. Tiga pos pengamanan didirikan. Sesuai skenario, tiga pasukan khusus TNI dan Polri bersimulasi seolah terjadi serangan teroris. Tiga pasukan khusus yang terlibat pekan lalu itu adalah Detasemen Khusus Antiteror 88 Polri, Detasemen Bravo TNI Angkatan Udara, dan Satuan Penanggulangan Teror (Sat Gultor) 81 Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat (Kopassus).

Dengan keahlian khusus masing-masing, mereka bertugas mematahkan dan menggagalkan serangan teroris. Target terpenting operasi adalah menyelamatkan sebanyak mungkin sandera, juga menangkap hidup-hidup sebanyak mungkin teroris.

”Wah, pada ke mana nih. Sampai jam segini kok belum ada yang nongol melapor? Apa komandannya lupa, terorisnya dibawa ke markas dan diajak ngopi dahulu?” kelakar seorang petugas Pos Pengamanan II yang sedari tadi gelisah dan bolak-balik melihat jam tangannya.

Seharusnya, sesuai skenario, komandan pasukan di lapangan melapor ke pos pengamanan masing-masing begitu operasi selesai. Untuk Pos Pengamanan II, yang harus melapor adalah Sat Gultor 81 Kopassus TNI AD.

Laporan meliputi proses serah terima tersangka teroris, jenazah korban, baik dari teroris maupun sandera, dan barang bukti yang didapat dalam operasi itu. Setelah itu, manajer tempat kejadian perkara, dalam hal ini polres setempat, meninjau dan memeriksa lokasi.

Sepertinya, ”aturan main” latihan gabungan hanya dipatuhi di Pos Pengamanan I dan III. Beberapa menit sebelumnya seorang anggota Den Bravo TNI AU datang melapor ke Pos Pengamanan III sekaligus menggiring tersangka teroris yang masih hidup untuk diserahterimakan di sana.

Tidak hanya nama tersangka teroris, skenario langkah penanganan yang dilakukan pun ikut dilaporkan. Saat itu, kalau sempat terjadi perdebatan di Pos Pengamanan I dan III, hal itu hanya terkait masalah sepele semacam bagaimana menggulung kertas di papan pengumuman.

Akhirnya, dengan nada suara dan raut wajah kecewa, petugas Pos Pengamanan II memilih mengerjakan apa saja yang bisa mereka kerjakan. Supaya tak ”kosong melompong”, daftar laporan yang terpampang di layar komputer diisi seadanya, ”Pesawat 737-400. Tim Kesehatan menuju TKP”. Terkesan yang penting mereka sudah berusaha.

Persoalan akan terjadi

Menanggapi kejadian seperti dalam latihan bersama itu, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Andi Widjojanto, yang juga pengamat militer, menilai, persoalan bakal terus terjadi akibat belum adanya kejelasan aturan.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Polri memang lebih dominan sebagai penjuru. Polri bisa meminta bantuan TNI jika memang dibutuhkan.

Sebaliknya, dalam Undang- Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, militer diatur punya tugas pokok, salah satunya disebut operasi militer selain perang, termasuk untuk mengatasi aksi terorisme. Namun, pengerahan kekuatan TNI berada di bawah kewenangan dan tanggung jawab presiden, yang harus mendapat persetujuan DPR.

Dari dua undang-undang itu dipahami, pengerahan kekuatan TNI untuk terlibat dalam penanganan terorisme tak bisa serta- merta. Ia harus mendapat persetujuan politik (DPR) dan didahului permintaan resmi (Polri).

Kapan waktu yang tepat bagi Polri untuk meminta bantuan TNI tanpa diartikan sebagai pengakuan ketidaksanggupannya mengatasi terorisme?

Menurut Andi, sekarang isu terorisme ibarat gadis cantik nan seksi yang bisa ”ditawarkan” kepada siapa saja untuk dipersunting. Ada banyak negara maju berkepentingan besar memberikan bantuan penguatan institusi kepada mereka yang bertanggung jawab menangani terorisme, baik bantuan pendanaan, peralatan, maupun persenjataan.

”Kecemburuan bisa muncul. Salah satunya mungkin diawali dari kenyataan peralatan dan persenjataan Densus 88 atau Brimob Polri sekarang jauh lebih canggih daripada milik pasukan khusus TNI, seperti Kopassus. Padahal, semua senjata dan peralatan itu berspesifikasi persenjataan untuk pasukan khusus (militer),” ujar Andi.

Ia menambahkan, bukan tidak mungkin kondisi seperti itu bisa menjadi semacam pintu masuk persoalan dan kesalahpahaman antarinstitusi. Apalagi, penanganan terorisme oleh militer tidaklah mudah.

Ketika, misalnya, prajurit TNI menangkap teroris, tak bisa serta-merta mengklaim pelaku sebagai tahanannya, melainkan sebagai tawanan perangnya. Hal itu karena kewenangan menetapkan status tahanan hanya dimiliki polisi. Padahal, untuk bisa menetapkan pelaku teror sebagai tawanan perang, hal itu membutuhkan sebuah pernyataan perang (declaration of war) resmi dari pemerintah.

Lalu, adakah ”ketegangan” di antara kedua institusi yang sama-sama terlatih dan punya kemampuan penanggulangan terorisme itu?

Dalam jumpa persnya, Senin (22/3) di Jakarta, Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI Marsekal Muda TNI Sagom Tamboen menegaskan, kesuksesan operasi penggerebekan teroris di Aceh beberapa waktu lalu juga lantaran kerja sama yang baik antara TNI dan Polri. Informasi diberikan aparat komando rayon militer setempat.

”Kami dari TNI selalu siap sewaktu-waktu dibutuhkan. Namun, untuk bergerak, dibutuhkan aturan (hukum). Sampai kini Polri menyatakan sanggup mengatasi,” ujar Sagom.

Mudah-mudahan kesuksesan koordinasi antara TNI dan Polri di Aceh itu memang menunjukkan, tak ada persoalan sebenarnya dalam upaya penanganan terorisme di Indonesia, terutama soal siapa yang berwenang melakukan apa. Masyarakat sudah terbilang jenuh dengan ego sektoral dan miskoordinasi antarinstansi.

KOMPAS

No comments:

Post a Comment