Wednesday, November 3, 2010

Maritime Security & Safety di Selat Malaka

KRI Ahmad Yani-351. (Foto: Dispenal)

3 November 2010 -- Selat Malaka merupakan salah satu jalur perdagangan dunia yang paling strategis. Tak heran jika aksi pembajakan dan kejahatan terjadi selama berabad-abad di wilayah ini. Persoalannya kemudian, bagaimana menciptakan keamanan laut di Selat Malaka.

Isu ancaman yang menjadi perdebatan ini tidak hanya bagi negaranegara yang berbatasan langsung dengan Selat Malaka, tetapi juga negara-negara lain yang memiliki kepentingan strategis di sana seperti China,India,Jepang,dan Amerika Serikat. Selat Malaka dan Selat Singapura memiliki panjang sekitar 520 mil laut dan merupakan selat terpanjang yang digunakan untuk perairan internasional.

Pada bagian pintu masuk, di wilayah pantai barat Indonesia dan Malaysia lebar selat sekitar 200 mil laut. Selat membujur ke arah tenggara sekitar 3 derajat. Di sinilah wilayah kedaulatan Indonesia dan Malaysia menjadi tumpang tindih. Bagian tersempit berada di ujung barat daya Semenanjung Melayu memiliki lebar hanya 8,4 mil laut. Jarak paling sempit di sekitar Selat Singapura adalah 3,2 km sepanjang 15 mil dengan kedalaman kurang dari 75 kaki.

Kesibukan dan dampak security & safety apa yang dapat terjadi di Selat Malaka dapat dipantau dari data pergerakan kapal di Selat Malaka (1999–2009) yang meningkat signifikan setiap tahunnya. Jenis kapal yang melintasi selat ini sepanjang periode tersebut sebanyak 228.506 kapal kontainer, 162.250 kapal tanker, 78.706 bulk vessel, kapal kargo 76.273, disusul jenis kapal ro-ro sebanyak 38.411, kapal penumpang 27.234, kapal armada AL 11.133, dan sisanya kapal penangkap ikan.

Di penghujung 2010 kapal yang melintas telah mencapai 71.359 kapal dari sebanyak 63.636 kapal (di tahun 2004) dan hanya 43.965 (di tahun 1999).Kesibukan di selat ini diperkirakan akan meningkat mencapai angka 316.700 kapal di tahun 2024 dan akan mencapai 1.300.000 pada tahun 2083! Lalu,siapkah kita mengawasi dan menangani security & safetydi Selat Malaka?

Eyes in the sky

Melihat rawannya keamanan Selat Malaka,melalui beberapa inisiatif, telah dilakukan pemantauan dan patroli bersama antara ketiga negara pesisir Indonesia,Malaysia, dan Singapura yang beroperasi di bawah struktur komando yang terkoordinasi.“ Eyes in the Sky” (EiS) merupakan bagian dari Malacca Strait Security Initiative (MSSI). Ketiga negara dan kemudian Thailand ikut di dalamnya (dimulai pada 2005) yang melibatkan pelaksanaan patroli bersama pemantauan terhadap Selat Malaka.

Berdasarkan inisiatif EiS, masing-masing negara diharuskan untuk melakukan patroli udara dua kali per Minggu.Setiap penerbangan membawa misi tim patroli gabungan yang terdiri dari personel yang berasal dari negara-negara partisipan. EiS dikoordinasikan sedemikian rupa sehingga pengawasan udara yang dilakukan oleh minimal satu atau dua pesawat harus dijalankan setiap hari.

EiS sendiri berada di bawah payung Malacca Strait Patrol Network. Meski program ini dapat dikatakan berhasil, program EiS banyak kemudian dikritik karena rendahnya jumlah penerbangan dari yang sebenarnya ditentukan dan terbatasnya sumber daya dalam merespons berbagai titik-titik rawan (hotspots). Wilayah operasi program EiS ini mencakup wilayah udara internasional dan nasional sepanjang Selat Malaka dan Singapura.Pusat operasi EiS sendiri didirikan di masing-masing negara untuk mengoordinasikan jadwal penerbangan.

Pemantauan oleh pesawat diperbolehkan hingga 3 mil laut ke perairan kedaulatan negaranegara partisipan. Hanya, patroli laut tetap dilakukan oleh masingmasing negara dan bukan merupakan patroli gabungan.Artinya, pengejaran atau patroli laut ke wilayah perairan kedaulatan negara tetangga tidak diizinkan, dan ini yang masih menjadi celah para pelaku kejahatan di Selat Malaka yang dengan mudah berpindah dari satu teritori ke satu ke lainnya.

Di samping pesawat intai, pemantauan di Selat Malaka juga dilakukan melalui satelit dan sistem radar darat, seperti marine electronic highway (MEH). Sistem ini merupakan bentuk dari sistem pemantauan dan identifikasi situasi untuk melakukan identifikasi jarak jauh dan pelacakan kapal, termasuk penggunaan sistem identifikasi otomatis. Malaysia telah mengembangkan jaringan radar pantai dan stasiun dasar AIS (automatic navigation system) untuk memberikan pelayanan lalu lintas kapal (VTS) dan membantu dalam menginformasikan situasi yang terjadi di Selat Malaka.

Jaringan ini menyediakan coverage yang komprehensif di Selat Malaka, khususnya di wilayah teritorial Malaysia. International Maritime Organization (IMO) dan ketiga negara pesisir telah memperkenalkan pengamanan wilayah atas kapal yang melintasi Selat Malaka, dikenal sebagai Straitrep. Sistem ini memfasilitasi, mengidentifikasi serta meningkatkan komunikasi antara kapal dan otoritas yang berada di pantai.

Straitrep memungkinkan pihak berwenang untuk memberikan informasi kepada kapal-kapal pengguna terkait dengan situasi lalu lintas di Selat Malaka, memfasilitasi operasi SAR dan tanggapan terhadap insiden maritim yang terjadi. Kesemuanya ini sangat berkaitan dengan United Nations Conventiononthe Lawofthe Sea( UNCLOS).

Pasal 43 dari UNCLOS telah mengatur “burden-sharing agreements” antara negara-negara pesisir dan negara-negara pengguna dalam: (1) Penyediaan dan pemeliharaan alat bantu navigasi. (2) Sistem komunikasi.( 3) Hidrografis dan informasi navigasi lainnya. (4) SAR. (5) Keamanan pantai. (6) Pelayanan penyelamatan dasar untuk kapal.

(7) Pengaturan kontingensi polusi laut. (8) Terkait burden sharing, yang masih terdapat grey area terkait dengan mekanisme “biaya pemulihan” dari negara-negara pengguna. Karena pendekatan security and safety di Selat Malaka yang dilakukan selama ini baru mencakup masalah survaillance zone dan belum memikirkan sisi ecological zones maka biaya pemulihan yang harus ditanggung negara-negara pengguna baik dari East Bond dan West Bond jauh dari yang seharusnya.

Angkatan Laut

Di paruh pertama tahun 1990- an, negara-negara Asia Tenggara telah memodernisasi angkatan bersenjata, termasuk di dalamnya kemampuan angkatan laut. Peningkatan kekuatan angkatan laut tersebut dipicu oleh kekhawatiran seperti tumpang-tindihnya klaim kepemilikan pulau dan luas kedaulatan perairan, pentingnya perdagangan maritim dan keinginan menjadi lebih mandiri dalam pengelolaan aspek maritim.

Untuk mengatasi tantangan yang dikemukakan tersebut, negara-negara di kawasan kemudian memfasilitasi dengan kapal, pesawat terbang, dan senjata yang lebih canggih dan mampu beroperasi dalam jarak dan rentang yang lebih jauh daripada model-model sebelumnya. Angkatan laut sendiri memainkan peran yang penting dalam menjaga perairan nasional serta merespons segala kegiatan kriminal laut.

Dalam mengelola persoalan tersebut, angkatan laut berbagi tugas dengan lembaga-lembaga lainnya, seperti penjaga pantai (coast guard) dan polisi laut (marine police). Di Malaysia terdapat tujuh lembaga yang terlibat dalam melindungi perairannya, yaitu Royal Polisi Malaysia (Marine), Departemen Bea Cukai, Departemen Kelautan,Departemen Perikanan, Angkatan Laut Kerajaan Malaysia (RMN), Departemen Lingkungan Hidup, dan Departemen Imigrasi.

Secara umum,RMN dan Royal Malaysia Air Force bertanggung jawab untuk melindungi ZEE Malaysia, sedangkan instansi lain bertanggung jawab untuk operasi yang berbeda dan tugas-tugas di perairan teritorial negara. Singapura hanya melibatkan tiga lembaga dalam melindungi perairannya yaitu Angkatan laut Singapura (RSN),Polisi (SPF),dan Coast Guard (PCG). Bagaimana dengan Indonesia?

Di Indonesia setelah gelombang security sector reform (SSR) terdapat 13 lembaga yang terlibat dalam keamanan maritim.Namun demikian,sampai saat ini peran masing-masing ke-13 lembaga tersebut masih kurang jelas yang mengakibatkan sulitnya koordinasi antar lembaga dalam mengamankan wilayah kedaulatan perairan Indonesia,termasuk di Selat Malaka.

Kedaulatan Bangsa Vis-a-vis PMCs

Selainmasalah16tipologiancaman yang kita kenal, satu terpenting yang harus digarisbawahi adalah PMCs (private military companies). KecualiSingapura,lembaga-lembaga penegak hukum negara pesisir di Selat Malaka sering tidak memiliki personel yang cukup dan peralatan modern untuk mengamankan wilayah perairannya, di tambah lagi sulitnya fitur geografis.

Pengamanan yang ada saat ini hanya ditujukan untuk penanggulangan berbagai ancaman yang ditimbulkan oleh penyelundup,penipuan,bajak laut, teroris,SAR atau bahaya alam. Jika negara-negara di Selat Malaka, khususnya Indonesia, ingin mengurangi dampak negatif yang akan segera ditimbulkan PMCs terhadap kedaulatan wilayah laut dan perairannya, ketiga negara pesisir harus memiliki personel AL yang dilengkapi dengan alutsista memadai untuk mengamankan perairan, mengatasi persaingan dan meningkatkan kerja sama operasional di luar perjanjian multilateral dan bilateral.

Bagi Indonesia sendiri, dibutuhkan investasi yang besar untuk mewujudkan survaillance yang memadai, alutsista dan personel yang memiliki kapabilitas untuk meningkatkan terwujudnya keamanan laut dan perairannya, khususnya melihat traffic projection dan peran PMCs di Selat Malaka. Beberapa catatan penting untuk diperhatikan adalah. Pertama, menetapkan mekanisme permanen bersama sebagai pusat monitoring, pelaporan, pertukaran informasi intelijen, serta quick-response commandyang melibatkan operasi pengawasan dan juga penindakan dan pemaksaan melalui kekuatan militer negara-negara pesisir.

Kedua, memastikan pelaksanaan EiS secara efektif.Ketiga, melakukan koordinasi patroli ke tiga angkatan laut dan lembaga lainnya.Keempat, melakukan investigasi dan tindakan terhadap para pelaku kejahatan langsung di pusat kegiatannya (Sumatera dan pulau-pulau sekitarnya). Kelima, menentang penggunaan PMCs untuk melindungi kapal-kapal yang melewati Selat Malaka.

Keenam, mendorong komitmen negara-negara pengguna untuk memenuhi biaya untuk meningkatkan kemampuan security and safety dalam penyediaan alat bantu navigasi dan membangun sistem informasi elektronik canggih. Ketujuh,membentuk pusat koordinasi regional tiga negara yang sudah tergabung dalam Malsindo untuk melakukan koordinasi response and enforcement antara AL, AU,

penjaga pantai, dan polisi laut untuk mewujudkan tindakantindakan nyata dari laporan dan data yang dihasilkan EiS. Kiranya, ini semua harus dilakukan dalam waktu sesingkat singkatnya, mengingat Syrus pernah berkata; Citius venit periculum cum contemnitur. Bahaya datang lebih cepat bila kita mengabaikan peringatan yang telah diberikan.(Connie Rahakundini Bakrie; Dosen UI, IODAS, Pemapar di European
Comission (IPSC), SOM Security & Safety)

SINDO

No comments:

Post a Comment