Friday, August 27, 2010

Sengketa Perbatasan


27 Agustus 2010 -- Di saat bangsa Indonesia dalam suasana memperingati HUT ke-65 RI, kita dikejutkan lagi dengan kasus perbatasan dengan Malaysia di mana tiga aparatur pengawas sumber daya kelautan dan perikanan disandera.

Kasus ini merupakan kasus perbatasan yang kesebelas. Reaksi heroik publik pun muncul dengan seruan-seruan untuk mengganyang negara tetangga tersebut. Tulisan ini mengulas kasus-kasus perbatasan selama ini secara singkat dan apa yang harus pemerintah lakukan ke depan.

Kasus-kasus perbatasan

Menurut catatan penulis selama delapan tahun terakhir, telah terjadi sembilan kasus di perbatasan, baik laut maupun darat. Pertama, kasus Pulau Sipadan dan Ligitan (dua pulau terluar kita sebelumnya) di mana oleh Mahkamah Internasional telah diputuskan menjadi milik Malaysia sejak tahun 2002.

Kedua, kasus Ambalat yang merupakan upaya Malaysia mengklaim wilayah perairan yang disebut Blok Ambalat karena pada landas kontinen kawasan tersebut terdapat tambang mineral strategis. Kasus ini berkaitan dengan kasus pertama karena pada saat kedua pulau tersebut menjadi milik Malaysia terjadi kekaburan batas maritim di kawasan itu sehingga negara tetangga ini mencoba memanfaatkan kekaburan itu sampai akhirnya Indonesia menetapkan titik dasar (base point) baru di Karang Ungaran (suatu elevasi pasang surut (drying reef). Perundingan pun sampai sekarang belum selesai.

Ketiga, Kasus Pulau Mangudu dan Bidadari, pulau terluar di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang berhubungan dengan investor asing yang berinvestasi secara ilegal di sana. Keempat, Kasus Gosong Niger, suatu wilayah konservasi yang coba diklaim sebagai wilayah Malaysia dalam hal tanda-tanda batas kita jelas sekali di kawasan tersebut.

Kelima, Pulau Pasir (Ashmore Reef) yang diklaim oleh masyarakat NTT sebagai miliknya walaupun secara yuridis telah menjadi milik Australia sejak masa pemerintahan Soeharto. Keenam, kasus Pulau Miangas yang dikhawatirkan diklaim Filipina, tapi ternyata kekhawatiran tersebut terlalu berlebihan.

Ketujuh, kasus Laskar Watania di mana Malaysia melakukan rekrutmen masyarakat perbatasan di Kalimantan menjadi laskar mereka karena kepentingan survival ekonomi mereka di kawasan ini. Kedelapan, kasus pergeseran batas darat kita secara fisik sekitar hampir satu kilometer masuk ke wilayah kita alias memperluas wilayah Malaysia. Kesembilan, Kasus Pulau Makaroni, Siloinak, dan Kandui (pulau-pulau perbatasan) di Kabupaten Mentawai, Sumatera Barat, yang dibeli oleh investor asing.

Kesepuluh, Pulau Jemur di Provinsi Riau yang tahun lalu dicoba diklaim oleh Malaysia, padahal pulau tersebut berada di belakang pulau terluar kita di kawasan tersebut. Kesebelas, kasus terakhir yang masih segar dalam ingatan kita, yaitu penyanderaan aparatur pengawas sumber daya kelautan dan perikanan perbatasan kita oleh Malaysia sebagai balasan terhadap penangkapan nelayan Malaysia yang memasuki wilayah perairan kita secara ilegal.

Fakta-fakta tersebut mengindikasikan hampir setiap tahun terjadi minimal satu kasus di perbatasan di mana kasus dengan Malaysia terjadi dengan frekuensi cukup tinggi, yaitu enam kasus. Dengan frekuensi seperti ini kita patut mengkritisi mengapa ada kecenderungan Malaysia melakukan hal seperti ini. Yang pasti kita sepertinya dianggap sepele karena yang bersangkutan tahu betul kelemahan kita. Dengan kata lain, posisi tawar kita sangat lemah di mata negara ini. Ambil contoh sederhana saja, isu-isu tentang tenaga kerja kita yang mencari hidup di sana, baik yang legal maupun ilegal.

Jika ditelaah, maka belahan utara NKRI relatif memiliki tingkat kerawanan lebih tinggi dibandingkan belahan selatan. Mengapa? Karena di belahan utara kita berhadapan dengan lebih banyak negara di samping relatif berdekatan sehingga aktivitas ilegal banyak terjadi. Walaupun kedekatan itu sendiri dapat dilihat sebagai peluang ekonomi kawasan.

Negara-negara tersebut (8 dari 10 negara yang berhubungan dengan perbatasan laut) antara lain India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Palau, dan Papua Niugini. Sementara di selatan kita hanya berhubungan dengan Timor Leste dan Australia. Karena itu, fokus pengawasan kita seharusnya pada belahan utara. Motivasi kasus-kasus ini semuanya bersumber dari kepentingan potensi sumber daya alam yang kita sendiri tidak mampu mengelolanya sehingga dimanfaatkan oleh pihak lain secara ilegal.

Pekerjaan rumah

Banyak kritikan di media seolah-olah selama ini pemerintah tidak melakukan apa-apa di wilayah perbatasan. Apakah memang benar demikian? Rasanya tidak benar kalau dikatakan pemerintah belum berbuat sama sekali. Bahwa yang dibuat belum optimal, itu ada benarnya.

Isu perbatasan sebenarnya mulai mencuat bersamaan dengan lahirnya Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun 2000. Lima tahun sesudahnya, barulah Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla merespons dengan melahirkan kebijakan pertama perbatasan lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar.

Keluaran dari perpres ini berupa simbol-simbol negara, seperti disebarkannya marinir-marinir di pulau terluar, munculnya puskesmas-puskesmas, dibangunnya gudang sembako, dibukanya jalur transportasi, dibangunnya sarana bantu navigasi, pemekaran kecamatan perbatasan, kunjungan pejabat untuk upacara HUT kemerdekaan seperti dilakukan di Pulau Kisar beberapa hari lalu, sampai tersedianya data dan informasi kawasan ini yang lengkap.

Walaupun demikian, harus diakui apa yang telah dilakukan tidak konsisten, bahkan menurun menurut waktu. Ini menjadi tren umum di negara kita. Selanjutnya, dari 11 kasus tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga isu utama perbatasan, yaitu delimitasi/demarkasi (kepastian batas secara fisik), penegakan hukum, dan kesenjangan pembangunan. Tugas pemerintah mengurusi ketiga isu tersebut.

Tentu dengan adanya pembangunan di perbatasan sebagai prioritas KIB II sampai tahun 2014, semua isu itu dapat diformulasikan secara terukur melalui program dan kegiatan setiap instansi, baik pusat maupun daerah, dengan pengawasan yang konsisten sehingga dampaknya benar-benar terasa. Sekarang tidak perlu lagi seminar dan workshop tentang isu-isu ini karena semua permasalahan sudah jelas. Aksilah yang urgen dilakukan.

Aksi yang penting dilakukan semestinya memfungsikan Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan yang telah dilegalkan sebagai perintah UU No 43/2008 tentang Wilayah Negara sesuai Perpres No 12/2010 yang diketuai oleh Mendagri. Dengan difungsikannya kelembagaan ini, maka perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian kawasan ini dapat lebih fokus di bawah kendali Menko Polhukam termasuk di dalamnya agenda penamaan pulau yang sampai sekarang belum tuntas. Semoga. (Alex Retraubun Alumnus PPRA 42 Lemhanas RI; Mantan Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan; kini Wakil Menteri Perindustrian)

KOMPAS

1 comment:

  1. menurut saya hankam di indonesia seharusnya ditanggung oleh seluruh rakyat indonesi tidak hanya mengandalkan aparatur aparatur negara seperti polisi TNI dll..

    ReplyDelete