Rompi anti peluru produksi industri pertahanan dalam negeri. (Foto: Berita HanKam)
28 Februari 2013, Jakarta: Mantan Menteri Perindustrian dan Menko RI Periode 1983-1999, Hartarto Sastrosoenarto, menilai, pemerintah perlu mendirikan lembaga keuangan guna membiayai industri pertahanan milik negara.
Pernyataan Hartarto itu menanggapi terbitnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan memberikan jaminan pembelian alutsista oleh pemerintah. UU ini bertujuan untuk kemandirian alutsista, sehingga kondisi industri pertahanan di matra darat, laut, maupun udara mampu memenuhi kebutuhan. Apabila industri dalam negeri belum mampu, perlu dilakukan alih teknologi ataupun trade off dan dapat pula dengan pembelian lisensi.
"Pemerintah menetapkan kerangka pembiayaan jangka panjang untuk industri pertahanan milik negara melalui APBN. Dimungkinkan untuk membiayai kegiatan tersebut melalui lembaga keuangan, karena kita tidak memiliki bank semacam Bapindo tempo dulu. Negara-negara tetangga kita seperti Malaysia, India, Thailand memiliki bank tersebut," kata Hartarto di Jakarta, Kamis (28/2).
Dalam UU tersebut, lanjut Hartarto, pemerintah juga berkewajiban menyuntikkan dana kepada industri pertahanan milik negara jika industri tersebut memiliki kendala finansial.
"Disarankan agar pemerintah memberi dana kepada lembaga keuangan yang perlu didirikan, dimana dana tersebut digunakan untuk pemberian kredit jangka panjang dengan bunga yang rendah kepada industri pertahanan dan industri dasar lainnya. Tiap tahun dimasukkan modal baru, sehingga dana tersebut dapat dimanfaatkan oleh industri pertahanan dan industri dasar lainnya," ujar dia.
Sementara itu, seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi, selain sumber daya manusia sebagai faktor dominan dalam suatu sistem pertahanan, riset dan engineering dalam teknologi persenjataan menjadi faktor yang menentukan kewibawaan sistem pertahanan suatu negara.
Beberapa hasil riset produk pertahanan telah dan akan dikembangkan oleh industri pertahanan dalam negeri antara lain produk alutsista, seperti kapal cepat rudal, kapal fregat, kapal siluman, roket, panser, pesawat tempur KFX/IFX generasi 4,5, senjata serbu dll. Selain itu, juga produk non alutsista, seperti radar, alat komunikasi, rompi dan helm anti peluru, parasut untuk perorangan, parasut untuk barang dan parasut untuk pesawat, pesawat drone/nirawak, dan sebagainya.
"Karena itu, aktivitas riset dan engineering pada industri tersebut seperti PT PAL, PT Pelindo, PT DI, PT INTI, PT LEN, PT CMI harus diberi kebijakan fiskal. Apabila perlu, dapat dibeli lisensi untuk kemudian dapat dikembangkan lebih lanjut seperti yang dilakukan oleh Korea dan China," ucap dia.
Selanjutnya, untuk mengembangkan industri pertahanan dan industri pendukung yang berkemampuan dibutuhkan kebijakan pemberdayaan seluruh industri nasional yang memerlukan tekad dan keterpaduan upaya dari semua pihak, serta didukung oleh kebijakan pemerintah dalam pemberdayaan segenap potensi sumber daya nasional, seperti industri strategis, pihak swasta, perguruan tinggi, lembaga penelitian dan termasuk juga perangkat regulasinya.
"Yang lebih penting lagi adalah keberpihakan pada penggunaan produksi dalam negeri merupakan salah satu strategi tepat yang dapat memberikan kesempatan dan akumulasi pengalaman kepada industri dalam negeri khususnya bagi para pelaku industri disektor ini, untuk dapat melakukan produksi serta pengembangan produk baik alutsista maupun non-alutsista," katanya.
Sumber: Jurnas
No comments:
Post a Comment