Friday, September 11, 2009

AL Rusia Bantah Berita Kapal Penjelajah Moskva Rusak

Kapal penjalajah rudal kelas Slava Moskva. (Foto: black sea fleet)

11 September 2009 -- Angkatan Laut Rusia membantah spekulasi media yang memberitakan kapal bendera Armada Laut Hitam kapal penjelajah rudal Moskva, memerlukan perbaikan di galangan kapal setelah mengalami insiden di atas kapal, Senin (7/9).

Kompartemen auxiliary Moskva penuh oleh asap, tetapi segera diketahui dengan cepat dan dilokalisir. Tidak ada yang terluka dalam insiden ini.

Sejumlah media menguktip beberapa sumber, Moskva akan dikirim dari Sevastopol ke galangan kapal di Nikolayev, Ukraina untuk perbaikan setelah mengalami kerusakan. Menurut dinas penerangan AL Rusia informasi ini tidak benar, Moskva tetap siap siaga untuk bertempur.

“Para awak kapal perang akan memperbaiki sistem yang rusak di lokasi sekarang di pangkalan Angkatan Laut Sevestopol dalam beberapa hari,” rilis pernyataan dispenal Rusia.
Kapal penjelajah rudal Moskva termasuk kelas Slava dirancang sebagai kapal pemukul permukaan dilengkapi dengan sejumlah senjata anti pesawat dan kemampuan anti kapal selam.

Tu-95 Bear Selesai Lakukan Misi Patroli

Dua pesawat pembom strategis Tu-95 Bear telah melakukan penerbangan patroli rutin diatas Lautan Artik, ujar juru bicara Angkatan Udara Rusia Letnan Kolonel Vladimir Drik, Kamis (9/8).

Drik mengatakan kedua pesawat pembom melakukan penerbangan selama 10 jam, dan dibayang-bayangi oleh dua pesawat tempur Amerika Serikat F-15. Dia tidak menyebutkan lokasi penerbangnya.

Rusia melanjutkan penerbangan patroli pembom strategis di atas Lautan Pasifik, Atlantis dan Artik pada Agustus 2007, mengikuti perintah dari Presiden Vladimir Putin.

Seluruh penerbangan pesawat Rusia dilakukan secara ketat mengikuti peraturan internasional dalam penggunaan wilayah udara diatas perairan netral, tanpa melanggar wilayah udara negara lain, kata Drik.

RIA Novosti
/@beritahankam

KSAL: Indonesia Dijajah Secara Elektronik di Ambalat

Dalam Rangka hari jadi yang ke 64 Radio Republik Indonesia menyelenggarakan Dialog Interaktif Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Radio di Auditorium RRI, Jakarta, Jumat (11/9). (Foto: KOMPAS/Mardanih)

11 September 2009, Jakarta -- Upaya Malaysia untuk mengklaim Ambalat dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ternyata tidak hanya dilakukan dengan melanggar batas wilayah saja. Jalur elektronik pun ditempuh oleh negeri Jiran itu untuk mengklaim wilayah perairan yang kabarnya kaya sumber daya minyak itu.

Itulah yang dirasakan Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (Kasal) Laksamana Tedjo Edhy Purdijatno. Ia mengaku kaget saat dirinya beberapa waktu yang lalu berkunjung ke perairan Ambalat. Pasalnya, saat memasuki kawasan tersebut, telepon genggam yang dimilikinya bertuliskan welcome to Malaysia (selamat datang ke Malaysia).

"Waktu saya ada di Ambalat beberapa waktu yang lalu, ada penjajahan secara elektronik di sana. Waktu saya masuk ke sana (perairan Ambalat) saya kaget HP (handphone) saya bertuliskan welcome to Malaysia," kata Kasal di acara dialog interaktif "Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Radio" di Auditorium Radio Republik Indonesia, Jakarta, Jumat (11/9).

Menurut Kasal, hal merupakan sebuah penjajahan elektronik yang dilakukan Malaysia terhadap Indonesia. "Ini harus kita cegah. Jadi ada suatu penjajahan elektronik," ujarnya.

Menanggapi hal itu, Menteri Komunikasi dan Informasi M. Nuh berjanji untuk mengambil tindakan. Saat ini Departemen Komunikasi dan Informasi sedang memperbesar dan memperluas bandwidth atau jaringan elektronik di berbagai wilayah Indonesia. "Insya Allah di 2010 sudah tidak ada lagi welcome to itu (Malaysia)," katanya.

KOMPAS

Deplu: Ada Indikasi Tindak Kriminal Dalam Kasus Pindad


11 September 2009, Jakarta -- Juru bicara Departemen Luar Negeri Indonesia Teuku Faizasyah menyatakan, ada indikasi tindak kriminal dalam kasus penahanan senjata milik perusahaan BUMN PT Pindad oleh pihak berwajib di Filipina.

"Dari hasil pertemuan kedua antara KBRI Manila dengan otoritas Filipina yang berlangsung tanggal 8 September 2009 lalu, ada indikasi adanya tindakan melawan hukum pada saat kapal tersebut bersandar di pelabuhan Filipina," ujar Faizasyah di Jakarta, Jumat.

Dia menjelaskan polisi Filipina telah melakukan investigasi dan sebanyak 37 orang telah dinyatakan sebagai tersangka termasuk beberapa warga negara asing.

Namun, Faizasyah menyatakan belum bisa memberi keterangan lebih lanjut mengenai kasus ini karena masih dalam penyelidikan.

"Sejauh ini kami menghormati penyelidikan yang dilakukan otoritas Filipina dan berharap kasus ini segera bisa diselesaikan," ujarnya.

Menurut Faizasyah, parlemen Filipina juga tengah membentuk suatu tim khusus untuk menyelidiki kasus ini secara menyeluruh.

Aparat bea cukai Filipina pada Kamis (20/8) menahan sebuah kapal kargo "Capt Ufuk" yang mengangkut sekitar 50 senapan di daerah Bataan.

Setelah dicek, ditemukan senapan buatan Pindad berjenis SS1-V1, beberapa perlengkapan militer lainnya, dan senjata laras panjang bermerek Israel "Galil". Senjata itu adalah sejenis senjata tipe serbu yang sangat akurat (300-800 meter).

Selain senjata-senjata itu, aparat Filipina juga menahan 14 kru dari Georgia dan Afrika. Kapal tersebut disebutkan berangkat dari Pelabuhan Georgia dan singgah di Indonesia untuk mengambil barang, sebelum kemudian berlayar ke Pelabuhan Mariveles.

Menurut catatan, pada 2008 PT Pindad mengekspor berbagai jenis senjata sebanyak tujuh kali ke luar negeri, sedangkan pada 2009 mengeskpor 13 kali antara lain Thailand dan Mali. Sedangkan Filipina relatif baru sebagai negara tujuan.

Pengiriman Senjata Pindad Kembali Dipertanyakan

Wakil Ketua Komisi I DPR RI Bidang Pertahanan, Yusron Ihza Mahendra, kembali mempertanyakan cara pengiriman senjata produksi PT Pindad Indonesia yang oleh berbagai kalangan internasional dianggap bisa disebut telah masuk "black market" (pasar gelap) dunia.

Ia mengatakan itu di Jakarta, Kamis, masih terkait dengan terbongkarnya kasus impor senjata di Filipina yang ternyata berasal dari Indonesia dan merupakan produksi BUMN tersebut.

"Karena itu, liku-liku penjualan senjata yang diduga berasal dari PT Pindad, menurut saya perlu dicermati secara lebih serius lagi oleh aparat berwajib, terutama tentang kemungkinan senjata itu masuk ke pasar gelap atau `black market` (BM)," katanya.

"Jika senjata itu ternyata memang masuk ke BM, urusannya bisa jadi `blunder`," katanya.

Sebagai misal, katanya, jika senjata itu ternyata jatuh ke pihak separatis di Filipina, lalu bagaimana jadinya citra hubungan diplomatik Indonesia dengan negara tetangga tersebut?

"Sebaliknya, jika senjata itu jatuh ke tangan yang tidak berhak di dalam negeri kita sendiri, maka bagaimana pula urusannya. Umpamanya, jika senjata itu jatuh ke kelompok teroris atau ke kelompok-kelompok separatis dalam negeri kita sendiri," tanyanya lagi.

Karena itu, Yusron Ihza Mahendra mendesak aparat nasional `kita` untuk bekerja lebih keras lagi dalam mengungkap kasus senjata tersebut. "Termasuk menyelidiki dan menyidik kemungkinan bahwa senjata-senjata penembak gelap di Papua baru-baru ini adalah senjata buatan PT Pindad juga," ujarnya.

Dalam sidang Komisi I DPR RI dengan kementerian jajaran Polhukam beberapa akhir pekan lalu, ujarnya, masalah senjata ini telah diangkat sebagai permasalahan, di samping isu-isu teroris.

"Tetapi, karena sidang yang mulai jam 10 pagi itu hampir `numbur` jam berbuka puasa, maka tidak cukup waktu untuk pendalaman terhadap masalah itu lebih lanjut," katanya.

Lalu, katanya, jawaban Pemerintah terhadap masalah tersebut masih bersifat normatif.

"Masalah senjata tadi tentu tidak cukup hanya dengan jawaban dari Pemerintah bahwa pengiriman senjata itu sesuai prosedur atau mempunyai izin," katanya.

Tetapi, menurut dia, mungkin saja Pemerintah tidak dapat membuka masalah senjata tersebut secara lebih leluasa di dalam sidang terbuka yang diliput puluhan media cetak maupun elektronik itu.

"Tetapi, minimal pada tingkat internal Pemerintah sendiri, hendaknya masalah itu terus ditindaklanjuti. Semua ini tentu bukan demi DPR RI, tapi demi kemaslahatan bangsa dan negara ini," ujar Yusron Ihza Mahendra lagi.

ANTARA News