Dengan senjata lengkap, tim Gegana menyisir sekitar hotel JW Marriott dan Ritz Carlton. (Foto: detikFoto/Ramadhian Fadillah)
21 Juli 2009, Jakarta -- Jika disebut sebagai organisasi, mungkin Jamaah Islamiyah (JI) sudah nyaris habis. Sebab, banyak tokohnya yang ditangkap. Namun, pecahannya diduga kuat masih ada. Ledakan bom di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton Jumat lalu (17/7) bisa jadi merupakan bukti eksistensi pecahan JI itu.
Seorang perwira di lingkungan Densus 88 Antiteror pernah mengatakan, sebenarnya pihaknya sudah memantau sekitar 30 orang yang diyakini sebagai "calon teroris". ''Gampang saja menangkapnya, karena sudah dilokalisasi. Tapi, buat apa?'' ucapnya.
Sasarannya memang yang kelas kakap dan "layak tangkap". Istilahnya membiarkan ikan kecil untuk menangkap ikan besar. Seperti dalam kasus penangkapan di Palembang November 2008.
Ketika itu Densus 88 menangkap Abdurrahman Taib, Sugiarto, dan tiga orang lainnya. Mereka adalah "teroris baru", yakni baru saja direkrut dan diajari cara melakukan pengeboman. ''Sebenarnya tak hendak kami tangkap,'' urainya. Dia menerangkan bahwa yang ditunggu adalah Noordin Mohd Top. Waktu itu petugas yakin bahwa Noordin akan datang ke Palembang. ''Jadi, kami sengaja menunggu Noordin datang,'' tambahnya.
Namun, perkembangannya sangat mengkhawatirkan. Sugiarto, salah seorang anggota sel baru tersebut, ternyata telah merangkai 20 bom "siap pakai". ''Kami khawatir, bila tidak segera ditangkap, ke-20 rangkaian bom tersebut bakal dikirim ke mana-mana,'' tuturnya.
Yang membuat lebih "gelisah", kendati baru direkrut, para anggota muda binaan Noordin Mohd Top tersebut sudah jago membuat bom. Ibaratnya, membuat bom bagi para anggota baru itu sama gampangnya dengan memasak mi telur. Sugiarto, misalnya. Dia hafal di luar kepala soal penggunaan dan pencampuran bahan kimia dan bagaimana memperlakukannya. Celakanya, sel-sel kecil bentukan Noordin dengan kemampuan merakit bom seperti itu diduga masih tersebar.
***
Sejarah generasi baru para teroris tersebut tak bisa dilepaskan dari kehadiran JI. Bermula ketika sejumlah peserta kamp pelatihan Mujahidin di Afghanistan diminta memilih. Mau bergabung dengan Ustad Abdullah Sungkar atau Ustad Masduki. Sama-sama memperjuangkan NII (negara Islam Indonesia), keduanya berselisih pendapat. Abdullah Sungkar lebih sreg bila perkumpulannya berbentuk organisasi, sedangkan Masduki condong tetap ke bentuk negara.
Sebagian jamaah memilih bergabung dengan Ustad Abdullah Sungkar dan kemudian mendirikan Jamaah Islamiyah. Bermoto Iqomatu Khilafah 'Ala Nahji Nubuwah (Mendirikan khilafah yang sesuai dengan sunnah Rasul)", kelompok ini bergerak secara rahasia. ''Kami dulu memang tandzim sirriyyah,'' kata Nasir Abbas, salah seorang mantan anggota JI yang kemudian tak setuju dengan garis perjuangan faksi keras di JI.
Para pelopornya adalah Ali Ghufron alias Muklas, Nasir Abbas, Imam Hambali, dan kemudian dibantu "adik kelas" seperti Ali Fauzi, Ali Imron, Mubarak, Kudamar alias Imam Samudera, Dulmatin, Abu Dujana, Umar Patek, dan sejumlah nama lain.
Struktur operasionalnya menyesuaikan struktur di zaman pemerintahan Nabi Muhammad SAW, baik sistem maupun namanya. Yakni, mulai tingkatan terbawah: majmu'ah, tashkil, fashil, sariyyah, katibah, dan liwa'. Struktur seperti itu juga diadopsi oleh Brigade Izzudin Al Qassam, sayap militer Hamas.
Seiring dengan kembalinya para mujahidin tersebut untuk berdakwah di Indonesia, makin besar pula afiliasi sejumlah internal JI ke Usamah Bin Ladin dan Al Qaedah-nya. Afiliasi ini dilakukan faksi Ali Ghufron dan Imam Hambali. ''Kedua orang itu memang key person untuk masuk jaringan Al Qaedah. Penghubungnya ya kedua orang itu. Bahkan, keduanya punya akses langsung ke Usamah,'' ucap seorang mantan anggota senior JI yang tak mau disebut namanya.
Pada 1999, Imam Hambali mendapat desakan dari Al Qaedah untuk melakukan aksi serangan. Selain struktur kewilayahan sudah dirasakan cukup mapan (mempunyai tiga mantiqi atau wilayah dakwah), dana pasokan dari Al Qaedah sudah cukup banyak. Selain itu, Indonesia dianggap sebagai darulharbi, negara yang boleh diperangi.
''Karena di Indonesia banyak kepentingan AS dan sekutunya. Di pikiran mereka (faksi keras JI, Red), saat ini adalah kondisi perang, di mana AS lebih dulu membunuhi penduduk sipil. Jadinya, ini dianggap sebagai alasan sebuah serangan,'' terang Ali Fauzi, alumnus Hudaibiyah yang juga adik kandung Amrozi, pelaku utama bom Bali.
Hasilnya, antara 2000-2002, Indonesia diguncang serangkaian pengeboman tanpa pernah terungkap. Mulai pengeboman Istiqlal, pengeboman gereja di sejumlah kota, dan puncaknya adalah bom Bali I pada 12 Oktober 2002. Bom itu kemudian menjadi titik balik kelompok tersebut. Nasir Abbas sendiri menyesalkan hal tersebut. Dia menilainya sebagai sebuah langkah "terburu-buru" (blunder) yang dilakukan Hambali.
Berbekal nomor mesin mobil bom bunuh diri itu, Tim Cobra, satgas bom yang khusus dibentuk Mabes Polri untuk mengungkap kasus tersebut, berhasil mengungkap dan menahan sejumlah pentolannya. Dari serangkaian nama yang ditahan, tentu saja yang paling terkenal adalah trio bom Bali yang dieksekusi November 2008 lalu, yakni Ali Ghufron alias Muklas, Amrozi, dan Imam Samudra.
Sejumlah nama lain yang ditangkap adalah Ali Imron dan Mubarak. Imam Hambali sendiri kemudian ditangkap pemerintah AS dan kini mendekam di Guantanamo Bay, penjara yang dibangun militer AS khusus untuk kasus terorisme.
Kendati sejumlah pentolannya tertangkap, bukan berarti JI langsung lemah. Buktinya, serangkaian serangan bom, seperti di bom JW Marriott I 2003, bom Bali II, dan Kedutaan Australia menunjukkan eksistensi JI. Bahkan, karena sebagian rekannya tertangkap, Abu Dujana, anggota JI yang sebenarnya bukan satu gerbong dengan Ali Ghufron pun mengambil jalan keras.
Selain itu, perang melawan terorisme itu memunculkan nama Dr Azahari dan Noordin Mohd Top, dosen-mahasiswa UTM yang memilih jalan radikal. Untuk kedua orang itu, pemerintah Indonesia menyembarakannya dengan hadiah Rp 1 miliar. Azahari sendiri tertembak mati dalam sebuah penggerebekan bom yang diwarnai dengan ledakan bom di Batu, November 2005.
Noordin sendiri nyaris tertangkap setelah Tedi (tangan kanan sekaligus lapis terakhir kurir sebelum Noordin, Red) digerebek di Simpang Lima, Semarang. Setelah itu, gelombang penangkapan terhadap sejumlah pentolan JI, di antaranya Abu Dujana dan Ustad Zarkasih alias Mbah, amir JI terakhir yang ditangkap di Sleman, Jogjakarta, membuat JI benar-benar kolaps.
Memang masih ada nama Dulmatin dan Umar Patek yang belum ditangkap. Namun, keduanya diduga sudah benar-benar tak tercium keberadaannya. Dulmatin sendiri dikabarkan tewas di Moro, Filipina, dalam sebuah serangan tentara Filipina. Sebuah kabar yang tak pernah bisa dikonfirmasikan kebenarannya. ''Boleh dibilang sudah tinggal nama,'' aku Ali Fauzi.
***
Namun, JI ternyata telah beranak dan bercucu. Adalah Noordin yang meneruskannya. Selama dalam pelariannya, Noordin dipercaya telah merekrut dan membentuk majmu'ah-majmu'ah (sel-sel) kecil. Selain itu, sel-sel baru kelompok teroris tersebut menjadi fleksibel.
Bahkan, keputusan melakukan serangan bom pun bisa dilakukan hanya dalam tingkat sel. Tak perlu koordinasi dengan Noordin atau sel lain. ''Paling-paling kalau perlu sekadar membantu secara teknis. Itu pun bila bisa bertemu,'' ucap sebuah sumber di kepolisian.
Sumber tersebut mengaku kesulitan mendata semua jaringan. Sebab, bisa jadi, sebuah sel aktif hanya sekali bertemu Noordin dan tak pernah bertemu lagi. ''Tak ada yang tahu berapa jumlahnya secara persis, dan mana saja yang aktif,'' tandasnya.
RAKYAT ACEH
No comments:
Post a Comment