Pesawat komersil bersiap mendarat di landasan pacu Bandara Polonia, di Medan, Sumut, Selasa (23/7). Bandara Polonia akan berhenti beroperasi mulai Kamis, 25 Juli 2013, menyusul akan beroperasinya Bandara Internasional Kualanamu, Deli Serdang. (Foto: ANTARA FOTO/Irsan Mulyadi/pd/Koz/13)
26 Juli 2013, Jakarta: Bandar Udara Polonia, Medan dikembalikan kepada TNI Angkatan Udara untuk pengembangan kekuatan Pangkalan TNI Angkatan Udara. Pengembalian aset ini menyusul pemindahan bandar udara dari Polonia ke Kualanamu yang secara resmi dioperasikan.
"Dalam upaya pengembangan kemampuan alat utama sistem senjata maupun personelnya dimasa depan, TNI AU akan menggunakan asetnya di Bandar Udara Polonia Medan yang semula dioperasionalkan oleh PT Angkasa Pura II (Persero)," demikian siaran pers Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Udara (Kadispenau), Marsma TNI S.B Supriyadi yang diterima Suara Karya di Jakarta, Kamis (25/7).
Sesuai dengan postur kekuatan pokok minimum (Minimum Essential Force/ MEF), kata Supriyadi, TNI AU akan melaksanakan penggelaran pesawat dan personel di Medan. Diantaranya, pembentukan satu wing Paskhas yang semula setingkat kompi menjadi Batalyon, satu Pusdiklat, dan satu satuan Bravo.
Selain itu, pengembangan kekuatan TNI AU melalui pemanfaatan aset bekas Bandar Udara Polonia, kata Kadispenau, untuk meningkatkan tugas pengamanan udara khususnya di Selat Malaka. "Karena itu akan ditambah satu Skadron Udara Intai Taktis dengan jenis pesawat CN-235 MPA," jelas Kadispenau.
Absasih pemanfaatan aset Polonia ditandai dengan penandatanganan tentang pinjam pakai aset antara PT. Angkasa Pura (Persero) dengan pihak TNI AU di Bandara Polonia Medan. TNI AU diwakili oleh Asisten Logistik Kepala Staf TNI Angkatan Udara (Aslog KSAU) Marsda TNI Ida Bagus Anom. Sedangkan, PT. Angkasa Pura II diwakili oleh Tri S Sungkono selaku Direktur Utama.
Kadispenau menjelaskan penandatanganan ini dilakukan dalam rangka penyelenggaraan, pengelolaan, pengusahaan, pengembangan, dan pengoperasian Bandar Udara Polonia Medan untuk penerbangan sipil. Karena selama ini PT. Angkasa Pura (Persero) telah menggunakan sebagian aset tanah Pangkalan TNI AU Soewondo Medan untuk penyelenggaraan Bandar Udara.
Menindaklanjuti kesepakatan tersebut, maka dilakukan penandatanganan berita acara serah terima aset dimana TNI AU diwakili oleh Kadisfaskonau Marsma TNI Mukhtar Lutfi dan pihak PT Angkasa Pura (Persero) diwakili oleh Laurensius Manurung.
Pihak Angkasa Pura menyerahkan pinjam pakai kepada TNI AU atas aset/aktiva tetap berupa tanah di ujung runway, bangunan lapangan, bangunan gedung, alat bantu navigasi, alat-alat pengangkutan, alat-alat kantor, instalasi dan jaringan, peralatan terminal dan gedung, peralatan perbengkelan, dan aktiva tetap lainnya.
Sumber: Suara Karya
Berita Pertahanan dan Keamanan, Industri Militer Indonesia dan Dunia, Wilayah Kedaulatan NKRI serta Berita Militer Negara Sahabat
Friday, July 26, 2013
Thursday, July 25, 2013
TNI AL dan RSN Gelar Latihan Peperangan Ranjau
25 Juli 2013, Surabaya: Indonesia sebagai negara kepulauan yang banyak berbatasan dengan negara tetangga, perlu menjalin kerjasama bilateral maupun multilateral khususnya dalam bidang militer agar keamanan kawasan tetap terjaga. Hal ini disebabkan wilayah perairan Indonesia memiliki potensi kerawanan terhadap berbagai bentuk dan jenis ancaman melalui laut. Salah satu ancaman yang paling berbahaya di laut adalah bahaya ranjau, terutama jika terjadi pada jalur-jalur strategis yang berhubungan dengan Alur Pelayaran Internasional.
Salah satu kerja sama bilateral tersebut adalah latihan tentang bahaya ranjau yang digelar antara TNI AL dan Republic of Singapura Navy (RSN) pada tanggal 1 hingga 8 Juli 2013 di Changi Naval Base dan Perairan timur Pulau Bintan dengan sandi Joint Minex 16/2013. Satuan Kapal Ranjau (Satran) Koarmatim yang mempunyai kemampuan dalam menyelenggarakan peperangan ranjau turut serta dan berperan aktif dalam Latma bilateral Joint Minex 16/2013 ini.
Latihan dibuka oleh Commander Maritime Security Task Force (MSTF) Rear Admiral (RADM) Harris Chan dan dihadiri oleh delegasi angkatan laut Indonesia dan Singapura di Changi Naval Base (CNB).
Latihan Joint Minex 16/2013 ini melibatkan 3 KRI dari TNI AL yaitu KRI Pulau Rengat-711, KRI Pulau Rupat-712 dari Satran Koarmatim dan KRI Pulau Rangsang-727 dari Koarmabar. Sedangkan dari pihak AL Singapura melibatkan 2 kapal perangnya yaitu RSS Bedok (M-105) dan RSS Punggol (M-108).
Joint Minex 16/2013 ini bertujuan untuk memperkuat hubungan dan meningkatkan kerja sama, interoperabilitas serta pemahaman antara TNI AL dan RSN khususnya mengenai peperangan ranjau serta pertukaran informasi tentang kemampuan dan perkembangan teknologi dari masing-masing negara sekaligus sebagai wadah untuk menguji doktrin Taktik Peperangan Ranjau (TPR) dan peranjauan serta kemampuan alat utama (Alut), peralatan dan personel Satran Koarmatim dan Koarmabar secara terintegrasi untuk mendapatkan kemampuan peperangan ranjau yang optimal.
.Dalam latihan ini peserta latihan mendapatkan cakrawala baru tentang kemampuan dan peralatan peperangan ranjau yang dimiliki oleh masing-masing negara serta kesempatan praktek melaksanakan kerjasama taktis perlawanan ranjau yang meliputi kegiatan : Exploratory Hunting, Clearance Hunting, Mineshape Recovery (Diving ops) , MDC Firing antar dua negara melalui manuver lapangan.
Sumber: Dispenarmatim
Wednesday, July 24, 2013
Indonesia dan Rusia Jajaki Kerjasama Renovasi Kapal Selam
(Foto: DMC)
24 Juli 2013, Jakarta: Menteri Pertahanan RI Purnomo Yusgiantoro, Selasa (23/7) menerima kunjungan Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Mikhail Y. Galuzin, di Kementerian Pertahanan, Jakarta.
Adapun maksud kunjungan Dubes Rusia kepada Menhan ini adalah untuk membicarakan beberapa hal yang menyangkut kerjasama teknik militer antara kedua negara. Diantaranya adalah kerjasama Angkatan Laut kedua negara dalam hal penyediaan material dan renovasi untuk Kapal Selam.
Selain itu Dubes Rusia pada kesempatan tersebut juga menyampaikan bahwa pemerintahnya akan mengadakan pameran senjata “Rusian Arms Expo” yang diselenggarakan pada akhir bulan September mendatang di salah satu kota disebelah timur Moskow di Rusia. Dubes Rusia juga mengatakan bahwa pameran yang diselenggarakan saat ini merupakan pameran terbesar yang akan menampilkan persenjataan militer khususnya untuk Angkatan Darat. Dubes Rusia berharap Menhan dapat menghadiri pameran persenjataan militer tersebut.
Sumber: Kemhan
24 Juli 2013, Jakarta: Menteri Pertahanan RI Purnomo Yusgiantoro, Selasa (23/7) menerima kunjungan Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Mikhail Y. Galuzin, di Kementerian Pertahanan, Jakarta.
Adapun maksud kunjungan Dubes Rusia kepada Menhan ini adalah untuk membicarakan beberapa hal yang menyangkut kerjasama teknik militer antara kedua negara. Diantaranya adalah kerjasama Angkatan Laut kedua negara dalam hal penyediaan material dan renovasi untuk Kapal Selam.
Selain itu Dubes Rusia pada kesempatan tersebut juga menyampaikan bahwa pemerintahnya akan mengadakan pameran senjata “Rusian Arms Expo” yang diselenggarakan pada akhir bulan September mendatang di salah satu kota disebelah timur Moskow di Rusia. Dubes Rusia juga mengatakan bahwa pameran yang diselenggarakan saat ini merupakan pameran terbesar yang akan menampilkan persenjataan militer khususnya untuk Angkatan Darat. Dubes Rusia berharap Menhan dapat menghadiri pameran persenjataan militer tersebut.
Sumber: Kemhan
Tuesday, July 23, 2013
Dilema Modernisasi Alutsista TNI Beli Bekas atau Baru
Menhan Purnomo Yusgiantoro (kedua kiri) didampingi Wamenhan Syafrie Syamsudin (tengah), Sekjen Kemhan Letjen TNI Budiman (kedua kanan), Kabaranahan Kemenhan Laksda TNI Rachmad Lubis (kanan) berbincang dengan Kepala Quantas Aviation Services Glen Brown (kiri) seusai menandatangani nota kesepahaman (MoU) antara Pemerintah Indonesia dan Australia terkait hibah empat pesawat angkut jenis Hercules di Jakarta, Jumat (19/7). (Foto: ANTARA FOTO/Reno Esnir/ed/Spt/13)
23 Juli 2013, Jakarta: Di tengah semangat pemerintah Indonesia melakukan modernisasi alat utama sistem senjata (alutsista) TNI, rencana mendatangkan senjata bekas pakai dari luar negeri kembali memantik debat.
Dalam rancangan Kementrian Pertahanan hingga 2014, mulanya akan datang enam pesawat jet F16 asal AS. Tetapi saat negosiasi berjalan, rencana berubah.
"(Anggaran) yang tadinya kita pakai untuk membeli enam pesawat F16, sekarang kita pakai meng-upgrade yang 24, ini belum tapi sekarang kita di-offer 10 lagi ," kata Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro.
Pilihan mendatangkan pesawat bekas pakai menurut Menhan tak berisiko sebesar klaim pengkritik kebijakan ini.
"Kalau pesawat itu dia tidak brand new pun kalau dia sudah di-upgrade engine-nya ya bagus, avionic dan airframe bagus, itu sudah cukup," tegas Purnomo.
Bagaimanapun para pengkritik beralasan rekondisi belum tentu mengatrol kemampuan pesawat seperti kualitas baru.
Selain itu usia pesawat bekas pakai yang sudah uzur justru merugikan TNI karena ongkos pemeliharaan yang lebih besar.
"Pemeliharaan dan rekondisinya kan besar juga biayanya. Bukan canggih dipakai, nanti malah membebani," kata TB Hasanuddin, anggota Komisi Pertahanan DPR dari PDI Perjuangan.
Hasanuddin mencontohkan dalam kasus rencana pembelian pesawat F16 itu, anggaran justru melampaui pagu karena tiba-tiba banting setir pada pesawat bekas.
"Anggarannya untuk 6 pesawat kan US$600 juta, sekarang rekondisi untuk 24 pesawat malah jadi $700 juta," kritik Hasanuddin.
Tetapi saat diwawancarai BBC Indonesia, juru bicara Kementrian Pertahanan Klik menyatakan biaya upgrade hanya mencapai US$460 juta.
Pilihan hibah
TNI sendiri juga beberapa kali dikabarkan menolak keputusan membeli alat perang bekas pakai negara lain.
"Mabes TNI dan Dephan sekarang saya kira sudah profesional, kalau tidak cocok ya ditolak," kata Djoko Susilo, mantan anggota Komisi Pertahanan DPR yang kini menjadi Duta Besar untuk Swiss.
Saat duduk di parlemen antara 2004-2009, Djoko mengatakan praktik beli alutsista bekas pakai juga terjadi beberapa kali dengan alasan mengirit anggaran.
Tahun 2008 menurut Djoko ada tawaran menggiurkan dari Jerman Timur: pesawat heli BO-108 hanya dilego dengan harga US$70 ribu.
"Usut punya usut ternyata umurnya sudah 25 tahunan dengan ongkos rekondisinya sampai US$2 juta," kata Djoko sambil tertawa.
Tahun ini tawaran satu skuadron pesawat murah bekas pakai asal Korea Selatan, jenis F5, juga ditolak TNI AU.
Meski juga memiliki F5 sejenis, Kepala Staf TNI AU, Marsekal Putu Dunia, mengatakan variannya tak seragam dengan versi Korea.
"Sebagusnya kita tidak terima, tapi terserah. Karena berbeda dengan pesawat (F5) yang kita miliki, kita sudah modifikasi banyak. Dia masih yang lama," tegas Putu.
Putu mengatakan penolakan bukan karena skema pembeliannya, hibah atau bukan, tetapi perbedaan tipe pesawat dianggap akan memboroskan anggaran.
Meski demikian dengan alasan keterbatasan anggaran, skema hibah nampaknya masih akan jadi pilihan penting TNI.
Tujuannya mengejar kuantitas alat guna memastikan Indonesia benar-benar memenuhi kuota Kekuatan Pertahanan Minimum pada 2024.
Pesawat uzur
Pesawat CN 295 saat tiba di Lanud Wiriadinata, Cibeureum, Tasikmalaya, Jabar, Selasa (11/6). Pesawat CN 295 merupakan pesawat angkut taktis menengah hasil kerjasama Airbus Military Spayol dan PT Dirgantara Indonesia. Kedatangan pesawat pertama di Lanud Wiriadinata tersebut sebagai uji coba ladasan pendek. (Foto: FOTO ANTARA/Adeng Bustomi/ed/mes/13)
Pemerintah misalnya telah menerima tawaran Australia untuk empat pesawat Hercules dengan skema hibah ditambah enam lagi dengan tawaran harga murah.
"Tadinya kita cukup punya CN295, yang bekerjasama dengan Airbus Military Industry (dan PTDI). Kita mau beli 9-10 (pesawat). Tadinya," kata Menhan Purnomo Yusgiantoro.
Tawaran alternatif dari Australia segera disambar Kemhan karena kekuatan Hercules TNI AU yang sudah sangat memprihatinkan saat ini.
Menurut mantan KASAU Marsekal Imam Syufaat, negara sebesar Indonesia sangat membutuhkan alat angkut udara serbaguna seperti Hercules.
Tetapi dengan anggaran hanya Rp8 triliun untuk TNI AU tahun ini, pilihan pesawat bekas pakai nampaknya dianggap cukup masuk akal.
"Seperti hercules kita hanya punya 13 pesawat. Kalau kita ada uang jadi ada tambahan 10 Hercules nanti dari Australia," kata Imam kepada media, sesaat setelah TNI merayakan hari jadi Oktober lalu.
Seperti juga dalam kasus F16, Hercules eks Australia ini memerlukan rekondisi sebelum bisa dikirim ke Jakarta.
Tujuannya mengejar kuantitas alat guna memastikan Indonesia benar-benar memenuhi kuota Kekuatan Pertahanan Minimum pada 2024.
Pemerintah misalnya telah menerima tawaran Australia untuk empat pesawat Hercules dengan skema hibah ditambah enam lagi dengan tawaran harga murah.
"Tadinya kita cukup punya CN295, yang kita kerjasama dengan Airbus Military Industry (dan PTDI). Kita mau beli 9-10 (pesawat). Tadinya," kata Menhan Purnomo Yusgiantoro.
Tawaran alternatif dari Australia segera disambar Kemhan karena kekuatan Hercules TNI AU yang sangat memprihatinkan saat ini karena minim dan uzur.
Beberapa kali Klik kecelakaan pesawat milik TNI disebut-sebut akibat peralatan yang sudah terlalu tua.
Menurut mantan KASAU Marsekal Imam Syufaat, negara sebesar Indonesia sangat membutuhkan alat angkut udara serbaguna seperti Hercules.
Tetapi dengan anggaran hanya Rp8 triliun untuk TNI AU tahun ini, pilihan pesawat bekas pakai nampaknya dianggap cukup masuk akal.
"Seperti Hercules kita hanya punya 13 pesawat. Kalau kita ada uang jadi ada tambahan 10 Hercules nanti dari Australia," kata Imam kepada media, sesaat setelah TNI merayakan hari jadi Oktober lalu.
Seperti juga dalam kasus F16, Hercules eks Australia ini memerlukan rekondisi sebelum bisa dikirim ke Jakarta.
Peluang makelar
Yang juga kerap dipersoalkan dalam belanja alutsista bekas pakai menurut Djoko Susilo adalah lebih terbukanya peluang ketidakberesan.
"Transaksi senjata baru yang dalam kontrak disebut brand new saja dulu kita sering diakali, apalagi bekas. Lebih sulit mengeceknya, kelaikan dan kualitasnya," kata mantan pengurus PAN ini.
Senjata-senjata ini ditawarkan agen, atau lebih sering disebut makelar senjata swasta, yang menurut Djoko bukan berasal dari internal TNI maupun Kementrian, tetapi punya hubungan dekat dengan dua lembaga itu.
"Misalnya mungkin saudaranya Menteri atau Dirjen atau kalangan politik gitu lah."
Praktek para makelar ini menurut Djoko beberapa kali terjadi sampai dengan tahun 2008.
DPR juga sempat dituding jadi sarang calo alutsista di tengah pembahasan anggaran pertahanan tahun 2007, karena masuknya beberapa item senjata yang sebelumnya tak direncanakan.
Komisi I DPR waktu itu menuding Menhan Juwono Sudarsono menebar fitnah tanpa bukti.
Adalah Juwono juga yang kemudian menetapkan pakta integritas dan menyusun Buku Putih Pertahanan 2008, sebagai acuan pengadaan alutsista hingga 2024 agar tidak muncul pembelian senjata di luar rencana.
"Saya kira Dephan sudah jauh lebih baik setelah itu," kata Djoko yang sempat menyebut Juwono 'kurang ajar' akibat kontroversi itu.
Tetapi boleh jadi sepak terjang makelar senjata belum benar-benar berakhir.
Saat membuka Sidang Kabinet Terbatas bidang Politik, Hukum dan Keamanan Februari lalu, Presiden Yudhoyono tiba-tiba menyebut soal kebiasaan penggelembungan anggaran dan 'kongkalikong' pengadaan alutsista.
Tiga bulan kemudian -saat menerima KASAD baru pengganti Jendral Pramono Edhie Wibowo, Presiden berpesan agar Jendral Moeldoko membereskan urusan kongkalikong itu.
"Langkah-langkah dalam penertiban pengadaan alutsista dan keuangannya harus dilaksanakan secara transparan, terbuka, sehinggga tidak ada kesan penggunaan anggara yang kurang tepat," kata Pramono menirukan pesan SBY. (Dewi Safitri/Produser BBC Indonesia)
Sumber: BBC Indonesia
23 Juli 2013, Jakarta: Di tengah semangat pemerintah Indonesia melakukan modernisasi alat utama sistem senjata (alutsista) TNI, rencana mendatangkan senjata bekas pakai dari luar negeri kembali memantik debat.
Dalam rancangan Kementrian Pertahanan hingga 2014, mulanya akan datang enam pesawat jet F16 asal AS. Tetapi saat negosiasi berjalan, rencana berubah.
"(Anggaran) yang tadinya kita pakai untuk membeli enam pesawat F16, sekarang kita pakai meng-upgrade yang 24, ini belum tapi sekarang kita di-offer 10 lagi ," kata Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro.
Pilihan mendatangkan pesawat bekas pakai menurut Menhan tak berisiko sebesar klaim pengkritik kebijakan ini.
"Kalau pesawat itu dia tidak brand new pun kalau dia sudah di-upgrade engine-nya ya bagus, avionic dan airframe bagus, itu sudah cukup," tegas Purnomo.
Bagaimanapun para pengkritik beralasan rekondisi belum tentu mengatrol kemampuan pesawat seperti kualitas baru.
Selain itu usia pesawat bekas pakai yang sudah uzur justru merugikan TNI karena ongkos pemeliharaan yang lebih besar.
"Pemeliharaan dan rekondisinya kan besar juga biayanya. Bukan canggih dipakai, nanti malah membebani," kata TB Hasanuddin, anggota Komisi Pertahanan DPR dari PDI Perjuangan.
Hasanuddin mencontohkan dalam kasus rencana pembelian pesawat F16 itu, anggaran justru melampaui pagu karena tiba-tiba banting setir pada pesawat bekas.
"Anggarannya untuk 6 pesawat kan US$600 juta, sekarang rekondisi untuk 24 pesawat malah jadi $700 juta," kritik Hasanuddin.
Tetapi saat diwawancarai BBC Indonesia, juru bicara Kementrian Pertahanan Klik menyatakan biaya upgrade hanya mencapai US$460 juta.
Pilihan hibah
TNI sendiri juga beberapa kali dikabarkan menolak keputusan membeli alat perang bekas pakai negara lain.
"Mabes TNI dan Dephan sekarang saya kira sudah profesional, kalau tidak cocok ya ditolak," kata Djoko Susilo, mantan anggota Komisi Pertahanan DPR yang kini menjadi Duta Besar untuk Swiss.
Saat duduk di parlemen antara 2004-2009, Djoko mengatakan praktik beli alutsista bekas pakai juga terjadi beberapa kali dengan alasan mengirit anggaran.
Tahun 2008 menurut Djoko ada tawaran menggiurkan dari Jerman Timur: pesawat heli BO-108 hanya dilego dengan harga US$70 ribu.
"Usut punya usut ternyata umurnya sudah 25 tahunan dengan ongkos rekondisinya sampai US$2 juta," kata Djoko sambil tertawa.
Tahun ini tawaran satu skuadron pesawat murah bekas pakai asal Korea Selatan, jenis F5, juga ditolak TNI AU.
Meski juga memiliki F5 sejenis, Kepala Staf TNI AU, Marsekal Putu Dunia, mengatakan variannya tak seragam dengan versi Korea.
"Sebagusnya kita tidak terima, tapi terserah. Karena berbeda dengan pesawat (F5) yang kita miliki, kita sudah modifikasi banyak. Dia masih yang lama," tegas Putu.
Putu mengatakan penolakan bukan karena skema pembeliannya, hibah atau bukan, tetapi perbedaan tipe pesawat dianggap akan memboroskan anggaran.
Meski demikian dengan alasan keterbatasan anggaran, skema hibah nampaknya masih akan jadi pilihan penting TNI.
Tujuannya mengejar kuantitas alat guna memastikan Indonesia benar-benar memenuhi kuota Kekuatan Pertahanan Minimum pada 2024.
Pesawat uzur
Pesawat CN 295 saat tiba di Lanud Wiriadinata, Cibeureum, Tasikmalaya, Jabar, Selasa (11/6). Pesawat CN 295 merupakan pesawat angkut taktis menengah hasil kerjasama Airbus Military Spayol dan PT Dirgantara Indonesia. Kedatangan pesawat pertama di Lanud Wiriadinata tersebut sebagai uji coba ladasan pendek. (Foto: FOTO ANTARA/Adeng Bustomi/ed/mes/13)
Pemerintah misalnya telah menerima tawaran Australia untuk empat pesawat Hercules dengan skema hibah ditambah enam lagi dengan tawaran harga murah.
"Tadinya kita cukup punya CN295, yang bekerjasama dengan Airbus Military Industry (dan PTDI). Kita mau beli 9-10 (pesawat). Tadinya," kata Menhan Purnomo Yusgiantoro.
Tawaran alternatif dari Australia segera disambar Kemhan karena kekuatan Hercules TNI AU yang sudah sangat memprihatinkan saat ini.
Menurut mantan KASAU Marsekal Imam Syufaat, negara sebesar Indonesia sangat membutuhkan alat angkut udara serbaguna seperti Hercules.
Tetapi dengan anggaran hanya Rp8 triliun untuk TNI AU tahun ini, pilihan pesawat bekas pakai nampaknya dianggap cukup masuk akal.
"Seperti hercules kita hanya punya 13 pesawat. Kalau kita ada uang jadi ada tambahan 10 Hercules nanti dari Australia," kata Imam kepada media, sesaat setelah TNI merayakan hari jadi Oktober lalu.
Seperti juga dalam kasus F16, Hercules eks Australia ini memerlukan rekondisi sebelum bisa dikirim ke Jakarta.
Tujuannya mengejar kuantitas alat guna memastikan Indonesia benar-benar memenuhi kuota Kekuatan Pertahanan Minimum pada 2024.
Pemerintah misalnya telah menerima tawaran Australia untuk empat pesawat Hercules dengan skema hibah ditambah enam lagi dengan tawaran harga murah.
"Tadinya kita cukup punya CN295, yang kita kerjasama dengan Airbus Military Industry (dan PTDI). Kita mau beli 9-10 (pesawat). Tadinya," kata Menhan Purnomo Yusgiantoro.
Tawaran alternatif dari Australia segera disambar Kemhan karena kekuatan Hercules TNI AU yang sangat memprihatinkan saat ini karena minim dan uzur.
Beberapa kali Klik kecelakaan pesawat milik TNI disebut-sebut akibat peralatan yang sudah terlalu tua.
Menurut mantan KASAU Marsekal Imam Syufaat, negara sebesar Indonesia sangat membutuhkan alat angkut udara serbaguna seperti Hercules.
Tetapi dengan anggaran hanya Rp8 triliun untuk TNI AU tahun ini, pilihan pesawat bekas pakai nampaknya dianggap cukup masuk akal.
"Seperti Hercules kita hanya punya 13 pesawat. Kalau kita ada uang jadi ada tambahan 10 Hercules nanti dari Australia," kata Imam kepada media, sesaat setelah TNI merayakan hari jadi Oktober lalu.
Seperti juga dalam kasus F16, Hercules eks Australia ini memerlukan rekondisi sebelum bisa dikirim ke Jakarta.
Peluang makelar
Yang juga kerap dipersoalkan dalam belanja alutsista bekas pakai menurut Djoko Susilo adalah lebih terbukanya peluang ketidakberesan.
"Transaksi senjata baru yang dalam kontrak disebut brand new saja dulu kita sering diakali, apalagi bekas. Lebih sulit mengeceknya, kelaikan dan kualitasnya," kata mantan pengurus PAN ini.
Senjata-senjata ini ditawarkan agen, atau lebih sering disebut makelar senjata swasta, yang menurut Djoko bukan berasal dari internal TNI maupun Kementrian, tetapi punya hubungan dekat dengan dua lembaga itu.
"Misalnya mungkin saudaranya Menteri atau Dirjen atau kalangan politik gitu lah."
Praktek para makelar ini menurut Djoko beberapa kali terjadi sampai dengan tahun 2008.
DPR juga sempat dituding jadi sarang calo alutsista di tengah pembahasan anggaran pertahanan tahun 2007, karena masuknya beberapa item senjata yang sebelumnya tak direncanakan.
Komisi I DPR waktu itu menuding Menhan Juwono Sudarsono menebar fitnah tanpa bukti.
Adalah Juwono juga yang kemudian menetapkan pakta integritas dan menyusun Buku Putih Pertahanan 2008, sebagai acuan pengadaan alutsista hingga 2024 agar tidak muncul pembelian senjata di luar rencana.
"Saya kira Dephan sudah jauh lebih baik setelah itu," kata Djoko yang sempat menyebut Juwono 'kurang ajar' akibat kontroversi itu.
Tetapi boleh jadi sepak terjang makelar senjata belum benar-benar berakhir.
Saat membuka Sidang Kabinet Terbatas bidang Politik, Hukum dan Keamanan Februari lalu, Presiden Yudhoyono tiba-tiba menyebut soal kebiasaan penggelembungan anggaran dan 'kongkalikong' pengadaan alutsista.
Tiga bulan kemudian -saat menerima KASAD baru pengganti Jendral Pramono Edhie Wibowo, Presiden berpesan agar Jendral Moeldoko membereskan urusan kongkalikong itu.
"Langkah-langkah dalam penertiban pengadaan alutsista dan keuangannya harus dilaksanakan secara transparan, terbuka, sehinggga tidak ada kesan penggunaan anggara yang kurang tepat," kata Pramono menirukan pesan SBY. (Dewi Safitri/Produser BBC Indonesia)
Sumber: BBC Indonesia
Monday, July 22, 2013
Legislator Anggap Hibah C-130H Hercules Kamuflase dari Pembelian Pesawat Tua
Penandatangan kontrak kerjasama perbaikan pesawat C-130 tersebut dilaksanakan antara Kepala Badan Sarana Pertahanan (Kabaranahan) Kemhan Laksda TNI Rachmad Lubis dengan The Head of Qantas Defence Services (QDS) Mr Glen Steed, disaksikan Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, Wakil Menhan Sjafrie Sjamsoeddin dan Duta Besar Australia untuk Indonesia HE Greg Moriarty di Kantor Kemhan, Jakarta, Jumat (19/7).(Foto: DMC)
23 Juli 2013, Jakarta: Biaya sebesar 63 juta dolar Australia yang harus dikeluarkan Indonesia untuk hibah empat pesawat Hercules C-130 type H dari Australia menimbulkan pertanyaan besar bagi DPR dan masyarakat. Penyebutan hibah diduga kamuflase menutupi pembelian pesawat yang sudah tua.
Hal tersebut dikatakan anggota Komisi I DPR Helmi Fauzi, pengamat militer dan pertahanan yang juga mantan anggota Komisi I DPR Andreas Pareira, dan pengamat kedirgantaraan Alvin Lie yang dihubungi dari Jakarta, Minggu (21/7).
Seperti diketahui, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pertahanan dan Australia telah menandatangani acara serah terima hibah empat pesawat Hercules C-13 tipe H. Pesawat yang sudah dipensiunkan Angkatan Udara Australia (Royal Australian Air Force) itu akan didatangkan secara bertahap mulai Oktober 2013 hingga Desember 2014.
Kementerian Pertahanan sendiri mengakui Indonesia merogoh kocek sebesar 63 juta dolar Australia. Biaya itu mencakup pemeliharaan tingkat berat, teknisi, pelatihan pilot, hingga pengecatan pesawat.
Komisi I DPR cukup tersentak atas adanya biaya pada hibah pesawat tersebut. Pemerintah sama sekali belum pernah menjelaskannya. "Pemerintah, harus menjelaskannya. Dan kami sudah minta untuk memanggil Kemhan karena hal ini menyangkut penggunaan anggaran yang harus lebih dahulu disetujui DPR," kata Helmy.
Seharusnya, kata Andreas, musibah - musibah jatuhnya pesawat TNI AU yang sudah tua pada tahun 2012 dan 2013 menjadi pelajaran berarti bagi pemerintah maupun TNI. "Catatan ini belum termasuk musibah dalam 10 tahun terakhir," kata dia.
Alvin mengatakan pembangunan kekuatan udara harus menjadi komitmen bersama. Perlu ada niat baik politik dari pemerintah dan DPR untuk mendukung kekuatan pertahanan secara bersama - sama. Di Asia Tenggara, lanjut dia, kemampuan teknologi militer Indonesia sudah jauh tertinggal dibandingkan Singapura, Malaysia, Filipina, dan Thailand.
Sementara itu, Kepala Dinas Penerangan TNI AU (Kadispenau) Marsma TNI SB Supriyadi dalam siaran persnya mengatakan sejak 31 Desember 2012, keempat pesawat itu sudah tidak diterbangkan lagi oleh RAAF. Pasalnya, pemerintah Australia menggatikannya dengan C-130 Hercules tipe J.
Kendati demikian, kata dia, usia empat pesawat jenis angkut itu masih bisa dipergunakan hingga 30 tahun ke depan dengan rata - rata 600 jam terbang/tahun.
Empat Unit C-130H Hercules Tiba Oktober 2013
Anggota Services (QDS), Air Lift Systems Program Office (ALSPO), Headquarters Air Lift Group (HQALG) and No. 37 Squadron (37SQN) berpose di depan pesawat C-130H Hercules tail number A97-006. (Foto: Commonwealth of Australia)
Sebanyak empat unit C-130 Hercules tipe H hibah pemerintah Australia akan menjadi kekuatan TNI AU mulai oktober 2013 mendatang, dengan tail number A97-006, A97-001, A97-003 dan A97-009 yang kesemaunya milik Skadron 37 yang bermarkas di Richmond Barat Laut Sydney.
Keempat pesawat C-130 H akan didatangkan secara bertahap dan yang pertama dengan tail number A97-006 akan tiba pada Oktober 2013, pesawat kedua April 2014, ketiga Agustus 2014 dan kempat pada Desember 2014.
MoU hibah empat pesawat C-130 Hercules ditandatangani antara pemerintah Indonesia dan Australia pada 2 Juli 2012, keempat pesawat tersebut masih digunakan oleh Royal Autralian Air Force (RAAF) dan sejak 31 Desember 2012 pesawat-pesawat tersebut sudah tidak diterbangkan lagi, karena pemerintah Australia menggatikannya dengan tipe terbarunya C-130 J.
Salah satu pesawat A97-006 sudah dalam kondisi serviceable karena sudah dilaksanakan pemeriharaan tingkat berat di fasilitas Qantas Defence Service (QDS) yang dibiayai penuh oleh pemerintah Australia, dan siap dikirim ke Indonesia dengan Ferry Flight yang sebelumnya akan dilakukan pengecetan sesuai milik TNI AU.
Sedangkan ketiga pesawat lainnya akan dilakukan juga pemeliharaan tingkat berat di fasilitas QDS di Richmond Base, sehingga pesawat tersebut dapat digunakan rata-rata 600 jam pertahun dan tiap-tiap pesawat akan memiliki sisa usia pakai diatas 30 tahun.
QDS satu-satunya perusahaan yang memiliki kemapuan mengerjakan dan melaksanakan perawatan tingkat berat seluruh pesawat C-130 H milik RAAF termasuk keempat pesawat yang akan diserahkan kepada Indonesia.
Sumber: Suara Karya/Dispenau
23 Juli 2013, Jakarta: Biaya sebesar 63 juta dolar Australia yang harus dikeluarkan Indonesia untuk hibah empat pesawat Hercules C-130 type H dari Australia menimbulkan pertanyaan besar bagi DPR dan masyarakat. Penyebutan hibah diduga kamuflase menutupi pembelian pesawat yang sudah tua.
Hal tersebut dikatakan anggota Komisi I DPR Helmi Fauzi, pengamat militer dan pertahanan yang juga mantan anggota Komisi I DPR Andreas Pareira, dan pengamat kedirgantaraan Alvin Lie yang dihubungi dari Jakarta, Minggu (21/7).
Seperti diketahui, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pertahanan dan Australia telah menandatangani acara serah terima hibah empat pesawat Hercules C-13 tipe H. Pesawat yang sudah dipensiunkan Angkatan Udara Australia (Royal Australian Air Force) itu akan didatangkan secara bertahap mulai Oktober 2013 hingga Desember 2014.
Kementerian Pertahanan sendiri mengakui Indonesia merogoh kocek sebesar 63 juta dolar Australia. Biaya itu mencakup pemeliharaan tingkat berat, teknisi, pelatihan pilot, hingga pengecatan pesawat.
Komisi I DPR cukup tersentak atas adanya biaya pada hibah pesawat tersebut. Pemerintah sama sekali belum pernah menjelaskannya. "Pemerintah, harus menjelaskannya. Dan kami sudah minta untuk memanggil Kemhan karena hal ini menyangkut penggunaan anggaran yang harus lebih dahulu disetujui DPR," kata Helmy.
Seharusnya, kata Andreas, musibah - musibah jatuhnya pesawat TNI AU yang sudah tua pada tahun 2012 dan 2013 menjadi pelajaran berarti bagi pemerintah maupun TNI. "Catatan ini belum termasuk musibah dalam 10 tahun terakhir," kata dia.
Alvin mengatakan pembangunan kekuatan udara harus menjadi komitmen bersama. Perlu ada niat baik politik dari pemerintah dan DPR untuk mendukung kekuatan pertahanan secara bersama - sama. Di Asia Tenggara, lanjut dia, kemampuan teknologi militer Indonesia sudah jauh tertinggal dibandingkan Singapura, Malaysia, Filipina, dan Thailand.
Sementara itu, Kepala Dinas Penerangan TNI AU (Kadispenau) Marsma TNI SB Supriyadi dalam siaran persnya mengatakan sejak 31 Desember 2012, keempat pesawat itu sudah tidak diterbangkan lagi oleh RAAF. Pasalnya, pemerintah Australia menggatikannya dengan C-130 Hercules tipe J.
Kendati demikian, kata dia, usia empat pesawat jenis angkut itu masih bisa dipergunakan hingga 30 tahun ke depan dengan rata - rata 600 jam terbang/tahun.
Empat Unit C-130H Hercules Tiba Oktober 2013
Anggota Services (QDS), Air Lift Systems Program Office (ALSPO), Headquarters Air Lift Group (HQALG) and No. 37 Squadron (37SQN) berpose di depan pesawat C-130H Hercules tail number A97-006. (Foto: Commonwealth of Australia)
Sebanyak empat unit C-130 Hercules tipe H hibah pemerintah Australia akan menjadi kekuatan TNI AU mulai oktober 2013 mendatang, dengan tail number A97-006, A97-001, A97-003 dan A97-009 yang kesemaunya milik Skadron 37 yang bermarkas di Richmond Barat Laut Sydney.
Keempat pesawat C-130 H akan didatangkan secara bertahap dan yang pertama dengan tail number A97-006 akan tiba pada Oktober 2013, pesawat kedua April 2014, ketiga Agustus 2014 dan kempat pada Desember 2014.
MoU hibah empat pesawat C-130 Hercules ditandatangani antara pemerintah Indonesia dan Australia pada 2 Juli 2012, keempat pesawat tersebut masih digunakan oleh Royal Autralian Air Force (RAAF) dan sejak 31 Desember 2012 pesawat-pesawat tersebut sudah tidak diterbangkan lagi, karena pemerintah Australia menggatikannya dengan tipe terbarunya C-130 J.
Salah satu pesawat A97-006 sudah dalam kondisi serviceable karena sudah dilaksanakan pemeriharaan tingkat berat di fasilitas Qantas Defence Service (QDS) yang dibiayai penuh oleh pemerintah Australia, dan siap dikirim ke Indonesia dengan Ferry Flight yang sebelumnya akan dilakukan pengecetan sesuai milik TNI AU.
Sedangkan ketiga pesawat lainnya akan dilakukan juga pemeliharaan tingkat berat di fasilitas QDS di Richmond Base, sehingga pesawat tersebut dapat digunakan rata-rata 600 jam pertahun dan tiap-tiap pesawat akan memiliki sisa usia pakai diatas 30 tahun.
QDS satu-satunya perusahaan yang memiliki kemapuan mengerjakan dan melaksanakan perawatan tingkat berat seluruh pesawat C-130 H milik RAAF termasuk keempat pesawat yang akan diserahkan kepada Indonesia.
Sumber: Suara Karya/Dispenau
Subscribe to:
Posts (Atom)