Penandatangan kontrak kerjasama perbaikan pesawat C-130 tersebut dilaksanakan antara Kepala Badan Sarana Pertahanan (Kabaranahan) Kemhan Laksda TNI Rachmad Lubis dengan The Head of Qantas Defence Services (QDS) Mr Glen Steed, disaksikan Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, Wakil Menhan Sjafrie Sjamsoeddin dan Duta Besar Australia untuk Indonesia HE Greg Moriarty di Kantor Kemhan, Jakarta, Jumat (19/7).(Foto: DMC)
23 Juli 2013, Jakarta: Biaya sebesar 63 juta dolar Australia yang harus dikeluarkan Indonesia untuk hibah empat pesawat Hercules C-130 type H dari Australia menimbulkan pertanyaan besar bagi DPR dan masyarakat. Penyebutan hibah diduga kamuflase menutupi pembelian pesawat yang sudah tua.
Hal tersebut dikatakan anggota Komisi I DPR Helmi Fauzi, pengamat militer dan pertahanan yang juga mantan anggota Komisi I DPR Andreas Pareira, dan pengamat kedirgantaraan Alvin Lie yang dihubungi dari Jakarta, Minggu (21/7).
Seperti diketahui, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pertahanan dan Australia telah menandatangani acara serah terima hibah empat pesawat Hercules C-13 tipe H. Pesawat yang sudah dipensiunkan Angkatan Udara Australia (Royal Australian Air Force) itu akan didatangkan secara bertahap mulai Oktober 2013 hingga Desember 2014.
Kementerian Pertahanan sendiri mengakui Indonesia merogoh kocek sebesar 63 juta dolar Australia. Biaya itu mencakup pemeliharaan tingkat berat, teknisi, pelatihan pilot, hingga pengecatan pesawat.
Komisi I DPR cukup tersentak atas adanya biaya pada hibah pesawat tersebut. Pemerintah sama sekali belum pernah menjelaskannya. "Pemerintah, harus menjelaskannya. Dan kami sudah minta untuk memanggil Kemhan karena hal ini menyangkut penggunaan anggaran yang harus lebih dahulu disetujui DPR," kata Helmy.
Seharusnya, kata Andreas, musibah - musibah jatuhnya pesawat TNI AU yang sudah tua pada tahun 2012 dan 2013 menjadi pelajaran berarti bagi pemerintah maupun TNI. "Catatan ini belum termasuk musibah dalam 10 tahun terakhir," kata dia.
Alvin mengatakan pembangunan kekuatan udara harus menjadi komitmen bersama. Perlu ada niat baik politik dari pemerintah dan DPR untuk mendukung kekuatan pertahanan secara bersama - sama. Di Asia Tenggara, lanjut dia, kemampuan teknologi militer Indonesia sudah jauh tertinggal dibandingkan Singapura, Malaysia, Filipina, dan Thailand.
Sementara itu, Kepala Dinas Penerangan TNI AU (Kadispenau) Marsma TNI SB Supriyadi dalam siaran persnya mengatakan sejak 31 Desember 2012, keempat pesawat itu sudah tidak diterbangkan lagi oleh RAAF. Pasalnya, pemerintah Australia menggatikannya dengan C-130 Hercules tipe J.
Kendati demikian, kata dia, usia empat pesawat jenis angkut itu masih bisa dipergunakan hingga 30 tahun ke depan dengan rata - rata 600 jam terbang/tahun.
Empat Unit C-130H Hercules Tiba Oktober 2013
Anggota Services (QDS), Air Lift Systems Program Office (ALSPO), Headquarters Air Lift Group (HQALG) and No. 37 Squadron (37SQN) berpose di depan pesawat C-130H Hercules tail number A97-006. (Foto: Commonwealth of Australia)
Sebanyak empat unit C-130 Hercules tipe H hibah pemerintah Australia akan menjadi kekuatan TNI AU mulai oktober 2013 mendatang, dengan tail number A97-006, A97-001, A97-003 dan A97-009 yang kesemaunya milik Skadron 37 yang bermarkas di Richmond Barat Laut Sydney.
Keempat pesawat C-130 H akan didatangkan secara bertahap dan yang pertama dengan tail number A97-006 akan tiba pada Oktober 2013, pesawat kedua April 2014, ketiga Agustus 2014 dan kempat pada Desember 2014.
MoU hibah empat pesawat C-130 Hercules ditandatangani antara pemerintah Indonesia dan Australia pada 2 Juli 2012, keempat pesawat tersebut masih digunakan oleh Royal Autralian Air Force (RAAF) dan sejak 31 Desember 2012 pesawat-pesawat tersebut sudah tidak diterbangkan lagi, karena pemerintah Australia menggatikannya dengan tipe terbarunya C-130 J.
Salah satu pesawat A97-006 sudah dalam kondisi serviceable karena sudah dilaksanakan pemeriharaan tingkat berat di fasilitas Qantas Defence Service (QDS) yang dibiayai penuh oleh pemerintah Australia, dan siap dikirim ke Indonesia dengan Ferry Flight yang sebelumnya akan dilakukan pengecetan sesuai milik TNI AU.
Sedangkan ketiga pesawat lainnya akan dilakukan juga pemeliharaan tingkat berat di fasilitas QDS di Richmond Base, sehingga pesawat tersebut dapat digunakan rata-rata 600 jam pertahun dan tiap-tiap pesawat akan memiliki sisa usia pakai diatas 30 tahun.
QDS satu-satunya perusahaan yang memiliki kemapuan mengerjakan dan melaksanakan perawatan tingkat berat seluruh pesawat C-130 H milik RAAF termasuk keempat pesawat yang akan diserahkan kepada Indonesia.
Sumber: Suara Karya/Dispenau
CMIIW.
ReplyDeleteSebenarnya Indonesia dihadapkan pada permasalahan klasik, yaitu keterbatasan anggaran. Walau anggaran pertahanan sudah dinaikkan signifikan, tapi belum cukup untuk beli herkules baru. Di satu sisi, TNI butuh pesawat angkut berat secepatnya, di sisi lain tidak adanya anggaran yang memadai.
1 unit Hercules baru mencapai 1 triliun rupiah. Bila dibandingkan dengan hibah itu, yang satu unit hanya 146 miliar, tentu tawaran yang menggiurkan.
Tak bisa dipungkiri, memang pesawat ini sudah TUA, airframenya juga tua. Tapi DPR juga nggak bisa menyalahkan pemerintah begitu saja. Kalo nggak mau pake pesawat tua, KUCURKAN DANA BUAT BELI HERKULES BARU, karena karena TNI butuh pesawat itu. kelihatannya itu lebih adil.
Tipe H kykny ga jadul2 amat...dan Australia jg pny alasan knp dia jual murah Herky...krn g kuat biasa retrofitnya
ReplyDeleteMudah2an dg kepemimpinan RI 1 selanjutnya tdk usah lagi beli pesawat2 tua, hrs beli pesawat2 baru/membuat sendiri dan dg adanya UU Alutsista semua program hrs mengacu pada UU tsb dlm pengadaan alutsista. Artinya BUMN yg sdh ada hrs dipersiapkan SDMnya, tempat bekerjanya/pabrik, alat2 sbg pembantu utk menghasilkan produk dan selalu mengkaji ulang hasil produk utk mencapai pendekatan yg benar utk penggunaan produk tsb serta penekanan semangat siap bekerja. Salam NKRI..............................
ReplyDelete