USS Ronald Reagan (CVN-76) sedang melakukan latihan pengisian bahan bakar di laut dengan kapal penjelajah kawal berudal USS Chancellorsville (CG-62) di lautan Pasifik. Kedua kapal telah berlabuh di Pangkalan Angkatan Laut Singapura Changi, Rabu (24/6). (Foto: navsource.org)
26 Juni 2009, Jakarta -- Melintasnya enam kapal perang AS di perairan Natuna pada Selasa (23/6) lalu mendapat tanggapan serius. Sebab, hal ini mengindikasikan wilayah di Laut China Selatan termasuk di perairan Natuna memiliki nilai strategis dari sisi geopolitik internasional.
Anggota Komisi Pertahanan DPR, Andreas Pariera mengatakan, pemerintah sebaiknya tidak menganggap sepele melintasnya enam kapal perang AS itu. Sebab, peristiwa itu semakin menunjukkan bahwa perairan Natuna memiliki nilai geopolitik yang tinggi.
”Karena di sana ada banyak sumber energi, ada sumber daya alam yang sebenarnya menjadi incaran banyak negara. Konsentrasi kekuatan militer kita perlu diarahkan ke sana (Natuna),” cetus Pariera per telepon, Kamis (25/6).
Sebelumnya diberitakan, pada Selasa (23/6) lalu kapal induk AS USS Ronald Reagan yang diiringi lima kapal perang memasuki perairan antara Pulau Subi dan Pulau laut di wilayah Natuna. Iring-iringan kapal perang itu melintas di Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) itu terpantau oleh radar milik TNI AU, yang laungsung ditindaklanjuti dengan pesawat intai milik TNI AU.
Menurut Pariera, saat ini banyak negara yang berkepentingan di wilayah Laut China Selatan. Apalagi, lanjutnya, konflik kepemilikan Pulau Spratly yang diperebutkan China, Filipina, Vietnam dan Taiwan belum juga tuntas.
Politisi asal PDIP itu menambahkan, keberadaan enam kapal perang AS di Laut China Selatan itu sekaligus menunjukkan upaya AS untuk melakukan kontrol kekuatan China di Laut China Selatan. ”Karena China sudah mengarah kepada kekuatan adi daya. AS perlu melakukan perimbangan kekuatan di Laut China Selatan. Apalagi jalur laut ini memang jalur strategis,” lanjutnya.
Pariera justru memuji inisiatif TNI di lapangan yang sigap melakukan pencegahan. ”Kita tetap harus acung jempol, karena dibanding kekuatan Amerika yang melintas jelas berbeda jauh. Tetapi TNI tetap berani melakukan pencegahan,” cetusnya.
Meski melintasnya kapal perang AS itu mengundang kekhawatiran, namun TNI justru mennganggap hal itu bukan insiden besar. Kapuspen TNI Marsekal Muda Sagoem Tamboen menegaskan, tidak ada masalah dengan melintasnya enam kapal perang milik AS negeri Paman Sam itu. ”Karena mereka lewat ALKI. Sebagai negara kepulauan, ALKI kita memang terbuka untuk siapa saja,” ujarnya kepada Batam Pos.
Ditanya apakah pihak AS sudah melakukan komunikasi dengan pihak Indonesia sebelum enam kapak itu melintas dan sempat menerobos perairan Natuna, Sagoem mengatakan bahwa untuk melewati ALKI tidak perlu izin. ”Itu sudah risiko kita sebagai negara kepulauan. Yang penting fungsi TNI tetap berjalan. Dan kemarin kan sudah dibuktikan,” ujarnya.
Jika memang tidak bermasalah, lantas mengapa sempat ada sedikit ketegangan saat pesawat TNI AU melakukan pencegahan? Sagoem memaparkan yang terjadi sebenarnya bukanlah ketegangan. ”Karena sudah menjadi tugas TNI untuk melakukan pengawalan. Armada AS juga akhirnya menyingkir. Itu bukti kalau TNI AL dan TNI AU kita melaksanakan tugas pengawalan wilayah dengan baik,” tukasnya.
Karenanya Sagoem juga menegaskan, TNI tidak akan meminta Departemen Luar Negeri RI melayangkan nota protes ke AS. Sebab, tidak ada yang dilanggar pihak AS.
BATAM POST
Segera tempatkan 1 Skadron Su 30, Satu Stuan Radar, Satu Satuan Rudal Hanud Jarak Menegah, 4 Fregat 2 Kapal Selam untuk menjaga pintu gerbang Indonesia di Kep Natuna.
ReplyDelete