Untuk menjaga daerah perbatasan Kalimantan, Skuadron Udara I Elang Kathulistiwa Pontianak mengoperasikan jet tempur jenis Hawk buatan British Aerospace (BAe). Pesawat ini siap siaga di Lanud Supadio, Pontianak, Kalimantan Barat. Pesawat tersebut didatangkan ke Indonesia sepanjang tahun 1999 hingga 2000. (Foto: detikFoto/Ramadhian Fadillah)
22 Juni 2009, Jakarta -- Perbatasan darat RI dengan tiga negara, yakni Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste masih minim sarana dan prasarana pendukung, termasuk keberadaan prajurit TNI. Total panjang yang mencapai 3.137 kilometer (km) hanya memiliki 207 pos perbatasan.
Garis batas RI dengan Malaysia di Kalimantan sepanjang 2004 km baru didukung 54 pos penjagaan. Di Timor Leste, perbatasan sepanjang 316 km dijaga 39 pos. Sedangkan di Papua, perbatasan 817 km memiliki 114 pos penjaga.
Pengamat militer Jaleswari Pramodhawardani mengatakan, di tengah minimnya anggaran pertahanan, Departemen Pertahanan dan TNI harus kreatif mencari kerja sama dengan pihak lain. Misalnya, banyak daerah di perbatasan Kalimantan yang memiliki anggaran besar.
Pemerintah daerah bisa menghibahkan bantuan, baik dana maupun logistik. Timbal baliknya, keamanan wilayah di batas darat dengan negara tetangga. "Tentu dengan tidak menabrak koridor hukum dan aturan yang ada," kata Jaleswari saat dihubungi Jurnal Nasional di Jakarta, Minggu (21/6).
Kepala Pusat Penerangan TNI Marsda Sagom Tamboen mengatakan, selama ini anggaran pertahanan, termasuk perbatasan, dikucurkan secara terpusat. Kekurangan prajurit dan pos di perbatasan, masih belum dapat diselesaikan karena kucuran anggaran sangat minim.
"Kami harus menentukan prioritas dan memaksimalkan yang sudah ada," katanya. Bahkan, tahun ini, pos operasional rutin militer guna mendukung operasi pengamanan daerah rawan, perbatasan, dan pengamanan pulau terluar dipotong sekitar Rp460 miliar.
Meski awal Mei lalu, Departemen Keuangan dan DPR telah menyetujui mengembalikan anggaran operasional sebesar Rp200 miliar, TNI mengaku masih kesulitan menutupi dana operasionalnya.
Kondisi geografis di perbatasan banyak juga tidak mendukung. "Medannya sangat berat," kata Sagom. Misalnya, di Papua yang wilayahnya masih sebagaian besar hutan dan akses transportasinya sangat minim.
Staf Ahli Komisi I (bidang pertahanan) DPR, Begi Hersutanto mengatakan, minimnya sarana pendukung membuat perbatasan rawan dengan pergeseran patok dan kejahatan transnasional. "Tak heran jika penyelundupan dan pencurian sumber daya masih marak," katanya.
JURNAL NASIONAL
No comments:
Post a Comment