KRI Ki Hajar Dewantara salah satu korvet milik TNI AL buatan eks Yugoslavia (Foto: Karbol1978)
19 Maret 2009, Jakarta -- Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono mengatakan, idealnya Indonesia mempunyai 52 kapal perang jenis Korvet untuk mengawal wilayah perairan Indonesia, namun karena keterbatasan anggaran kemampuan ideal itu belum bisa terwujud.
"Setiap penambahan kapal baru pasti akan mengurangi jatah untuk anggaran kesehatan dan pendidikan," kata Juwono Sudarsono di Jakarta, Kamis (19/3).
Menurut Juwono, dirinya cukup bangga dengan TNI yang bisa mempertahankan kemampuan dengan keterbatasan aspek fisik yang ada. Ia mengatakan, saat ini dengan hadirnya empat kapal Korvet jenis baru buatan Belanda maka jumlah kapal sejenis yang ada menjadi delapan, empat yang lain merupakan kapal era 1980-an, yaitu KRI Falatehan, KRI Malahayati, KRI Ki Hajar Dewantara, dan KRI Nala.
"Dari empat kapal yang dipesan dari Belanda, sudah tiga kapal yang masuk jajaran TNI AL dan satu yang terakhir yaitu KRI Frans Kasiepo akan diberangkatkan April dari Belanda dan kemungkinan baru sampai pertengahan Mei," katanya.
Ia mengatakan, kapal Korvet kelas SIGMA (Ship Integrated Geometrical Modularity Approach) yaitu KRI Diponegoro, KRI Sultan Hasanudin, KRI Iskandar Muda dan KRI Frans Kasiepo itu merupakan generasi baru dan baru sedikit negara yang mempunyai kapal jenis itu.
"Di Asia baru Indonesia yang mempunyai kapal jenis itu, bahkan Pemerintah Belanda juga memesan kapal itu bersamaan dengan pesanan Indonesia," katanya didampingi Karo TU Dephankam Laksamana Pertama Agus Purwanto.
Korvet kelas SIGMA dirancang memiliki kemampuan sebagai kapal patroli yang mampu menembus segala cuaca. Menurut Menhan, sejumlah teknisi dari Angkatan Laut dan PAL juga dikirim ke galangan kapal itu untuk bisa melakukan perbaikan kapal, agar pemeliharaan kapal itu bisa dilakukan teknisi di Indonesia. "Tingkat ketergantungan dari pemeliharaan dari luar negeri akan terus dikurangi supaya menekan biaya pemeliharaan," katanya.
Dalam jangka panjang, Menurut Menhan, Indonesia harus melakukan kerjasama dengan galangan kapal dunia agar bisa mempunyai kemampuan membuat Korvet di dalam negeri. "Korea saja bekerja sama dengan galangan kapal di Jerman untuk menguasai teknologi itu yang memerlukan waktu 10 sampai 15 tahun," katanya.
Terkait kehawatiran sulitnya suku cadang perangkat keras dan persenjataan kapal Korvet baru itu di masa mendatang, Laksamana Pertama Agus Purwanto mengatakan, teknologi perangkat keras dan persenjataan di kapal itu jika sudah rusak bisa diganti dengan teknologi yang ada di dalam negeri atau pasaran bebas di negara lain. "Ibaratnya, jika ada bagian komputer di kapal itu yang rusak maka bisa diganti dengan perangkat yang ada di Indonesia atau mencari di negara lain, demikian juga sistem senjatanya bisa diganti dengan yang lain ," katanya. (MediaIndonesia)
"Setiap penambahan kapal baru pasti akan mengurangi jatah untuk anggaran kesehatan dan pendidikan," kata Juwono Sudarsono di Jakarta, Kamis (19/3).
Menurut Juwono, dirinya cukup bangga dengan TNI yang bisa mempertahankan kemampuan dengan keterbatasan aspek fisik yang ada. Ia mengatakan, saat ini dengan hadirnya empat kapal Korvet jenis baru buatan Belanda maka jumlah kapal sejenis yang ada menjadi delapan, empat yang lain merupakan kapal era 1980-an, yaitu KRI Falatehan, KRI Malahayati, KRI Ki Hajar Dewantara, dan KRI Nala.
"Dari empat kapal yang dipesan dari Belanda, sudah tiga kapal yang masuk jajaran TNI AL dan satu yang terakhir yaitu KRI Frans Kasiepo akan diberangkatkan April dari Belanda dan kemungkinan baru sampai pertengahan Mei," katanya.
Ia mengatakan, kapal Korvet kelas SIGMA (Ship Integrated Geometrical Modularity Approach) yaitu KRI Diponegoro, KRI Sultan Hasanudin, KRI Iskandar Muda dan KRI Frans Kasiepo itu merupakan generasi baru dan baru sedikit negara yang mempunyai kapal jenis itu.
"Di Asia baru Indonesia yang mempunyai kapal jenis itu, bahkan Pemerintah Belanda juga memesan kapal itu bersamaan dengan pesanan Indonesia," katanya didampingi Karo TU Dephankam Laksamana Pertama Agus Purwanto.
Korvet kelas SIGMA dirancang memiliki kemampuan sebagai kapal patroli yang mampu menembus segala cuaca. Menurut Menhan, sejumlah teknisi dari Angkatan Laut dan PAL juga dikirim ke galangan kapal itu untuk bisa melakukan perbaikan kapal, agar pemeliharaan kapal itu bisa dilakukan teknisi di Indonesia. "Tingkat ketergantungan dari pemeliharaan dari luar negeri akan terus dikurangi supaya menekan biaya pemeliharaan," katanya.
Dalam jangka panjang, Menurut Menhan, Indonesia harus melakukan kerjasama dengan galangan kapal dunia agar bisa mempunyai kemampuan membuat Korvet di dalam negeri. "Korea saja bekerja sama dengan galangan kapal di Jerman untuk menguasai teknologi itu yang memerlukan waktu 10 sampai 15 tahun," katanya.
Terkait kehawatiran sulitnya suku cadang perangkat keras dan persenjataan kapal Korvet baru itu di masa mendatang, Laksamana Pertama Agus Purwanto mengatakan, teknologi perangkat keras dan persenjataan di kapal itu jika sudah rusak bisa diganti dengan teknologi yang ada di dalam negeri atau pasaran bebas di negara lain. "Ibaratnya, jika ada bagian komputer di kapal itu yang rusak maka bisa diganti dengan perangkat yang ada di Indonesia atau mencari di negara lain, demikian juga sistem senjatanya bisa diganti dengan yang lain ," katanya. (MediaIndonesia)
No comments:
Post a Comment