Sandung, patung tua sepasang enggang, dan patung orang-orangan di bawahnya di permukiman penduduk di Melenggang, Kecamatan Sekayam, Sanggau, Kalbar. Patung ini penanda lokasi tersebut sebagai pusat aktivitas sosial warga Dayak Iban serta tempat ritual atau gawai yang masih tersisa. (Foto: KOMPAS/C Wahyu Haryo)
13 Agustus 2009, Sanggau -- Perikehidupan dan kondisi kampung halaman Panglima Abio (68) dan Panglima Nayau (82) boleh jadi mirip situasi dua patung ”Sandung” yang kami temukan di pedalaman Kecamatan Melengang. Patung di Dusun Melenggang dan Miru tersebut kepanasan di bawah sengatan matahari.
Jalanan desa hancur total dan memicu pusaran debu saat kendaraan lewat.
”Kita berhenti dulu. Minum dululah, terik sekali,” ujar Nimus Mulyadi, Kepala Desa Balai Karangan, Kabupaten Sanggau, yang memandu kami ke perbatasan Kalimantan Barat (Kalbar)-Serawak di Desa Lubuk Sabuk, Kecamatan Melenggang, Sanggau, Kalbar.
Permintaan untuk berhenti jadi kebutuhan karena sudah tiga jam terguncang-guncang di jalan dengan semburan debu mengganggu pernapasan.
Mamak Nyiam (62), pemilik warung kelontong yang kami singgahi, ternyata adik kandung Panglima Nayau yang kami cari.
Panglima Nayau dan Panglima Abio adalah dua dari lima panglima perang Dayak yang pernah berjasa kepada Republik Indonesia (RI) pada kurun 1965-1972, saat berkonfrontasi dengan Malaysia dan saat Indonesia menghadapi Parako (Partai Komunis China di perbatasan Serawak). Nayau bertugas di front sekitar Balai Karangan, sedangkan Abio bertugas di sekitar Entikong sampai Suruh Tembawang.
Bersama tiga rekannya yang lain—dan semuanya orang Dayak—kelimanya memperoleh gelar kehormatan Panglima Perang Dayak dari pemerintah dan masyarakat Kalbar. Kelimanya dihormati dan disegani karena jasa-jasa mereka. Tiga panglima yang lain adalah Panglima Bugun yang bertanggung jawab di daerah Sekayam Hulu, Panglima Burung (Meliau, Sanggau), serta Panglima Langgan (Sekadau).
Wanita tua itu menunjukkan rumah papan sederhana milik keluarga Nayau di seberang rumahnya. Rumah papan sederhana itu berukuran sekitar 5 meter x 10 meter, berderet dengan rumah tetangga lain, dan di depannya tumbuh pohon rambutan. Seperti warga lainnya, keluarga Nayau terpaksa mandi di sungai berlumpur dan bercampur zat merkuri di seberang jalan karena sejak sekitar lima tahun terakhir, daerah itu mengalami kelangkaan air bersih. Air minum harus digali dari tanah dengan kedalaman 15-20 meter dan kondisinya kotor. Sementara untuk mandi, mereka terpaksa ke sungai yang sudah tercemar merkuri karena penambangan emas di mana-mana.
Sebagai veteran, Nayau rupanya tak lagi mendapat pensiun—sebagaimana nasib Panglima Abio di Dusun Punti Tapou, Desa Nekan, Kecamatan Entikong.
Namun, sebagai ”pahlawan”, sebagai teladan yang sejak muda mengobarkan nasionalisme, keadaan mereka pahit dalam kenyataan hidup. Jalan di Desa Abio hanya bisa ditempuh dengan ojek setelah turun-naik gunung terjal, melewati jembatan yang hampir runtuh, dan di sanalah kampung tanpa listrik dengan babi, anjing, dan ayam yang berkeliaran di jalan-jalan. Ia masih hidup dengan prasarana desa yang jauh di bawah standar. Namun, bekas Kepala Desa Punti Tapou—saat ia muda—itu tak mengeluh untuk dirinya sendiri. ”Buat apa meminta. Rasanya Ema (Kakek) malu,” katanya.
Kalau untuk orang kampung, ia memang titip agar desa yang jaraknya 5 kilometer dari Kecamatan Entikong itu segera diberi aliran listrik. ”Sudah merdeka 64 tahun kita nii. Malaysia yang dulu hutan, di ujung situ pun sudah ada hospital bagus,” kata Panglima Abio. Ia mengenang perang konfrontasi dan perang Parako ”perang yang menyenangkan”. ”Tak ada perasaan takut mati karena kami gembira mencari musuh,” kata Abio yang hanya bisa bersekolah sampai kelas II sekolah dasar. Di rumahnya yang dindingnya terbuat dari campuran batang kayu, tempelan papan, serta anyaman bambu, lima dari enam anaknya tinggal di situ, bersama dua cucu. Dari enam anaknya, cuma si bungsu Erwin yang lulus SMA.
Abio dan Nayau, karena ketidakmampuan ekonomi mereka, hingga kini masih tinggal di tanah dusun kelahiran mereka. Uang pensiun dan jatah beras tak lagi mereka terima, kecuali pangkat Pembantu Letnan Dua (Pelda) tituler karena jasanya. Padahal, mereka pernah terbang kian kemari Jakarta-Pontianak, atau kota-kota lain di Indonesia dengan pesawat terbang di masa lalu.
Rumah Panglima Nayau di Lubuk Sabuk jaraknya sekitar 160 kilometer (km) dari ibu kota Kabupaten Sanggau. Sekadar informasi, jarak Sanggau-Pontianak lewat Ambawang jaraknya sekitar 267 km,
40 km di antaranya jalan rusak parah dan gelap gulita pada malam hari.
Saat ngobrol di toko kelontong Mak Nyiam, diam-diam kami mencatat rak toko itu penuh dengan barang produksi Malaysia. Elpiji dalam tabung warna hijau-coklat ukuran 15 kilogram, air mineral, gula pasir, sepatu bot karet, berjenis minuman kaleng, sampai bir. Bahkan, helm motor buatan Malaysia dijualnya.
Rombongan penambang emas dan intan muncul dari gang dan semak di menjelang senja, dari dusun-dusun di Melenggang. Pakaian dan tubuh mereka lusuh dan basah karena lumpur sungai, tetapi wajah berbedak debu jalanan.
Suasana nyaris sama ditemukan di pegunungan Punti Tapou, desa Panglima Abio. Orang-orang desa mencari nafkah ke sungai atau membakar hutan dengan hati ringan untuk bercocok tanam. Perikehidupan subsistem yang tak beranjak, dan sebenarnya pilihan yang sangat pahit.
KOMPAS
No comments:
Post a Comment