Tenda peleton TNI produksi CV. Maju Mapan. (Foto: CV Maju Mapan)
8 Oktober 2010, Jakarta -- Pemerintah berupaya meniadakan keterlibatan subkontraktor dalam pengadaan komponen produk nonspesifikasi industri pertahanan. Sebab, keberadaan subkontraktor berpotensi membuka mark-up anggaran pembiayaan.
"Kita usahakan subkontrak untuk produk non spesifik industri pertahanan dihindari. Karena industri di mana pun masih dilakukan seperti itu, misal pesawat boing kita menerima penugasan buat bagian produk sayap," kata Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Mustafa Abubakar usai sidang pertama Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) di Kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta, Kamis (7/10). Sebaliknya, produk komponen pertahanan yang memiliki spesifikasi bisa dilakukan melalui order.
Sidang KKIP dipimpin oleh Ketua KKIP yang juga Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro dihadiri Wakil Menteri Pertahanan yang juga Sekretaris KKIP Letjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin, serta beberapa anggota KKIP, antara lain Menteri BUMN Mustafa Abubakar, Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Suharna Surapranata, Panglima TNI Laksamana TNI Agus Suhartono dan para Kepala Staf (KAS) TNI. Sidang KKIP untuk menghasilkan rumusan pelaksanaan dan penegndalian kebijakan industri pertahanan nasional.
Sementara itu, tiga Badan Usaha Milik Negera Indusri Pertahanan (BUMNIP), seperti PT Pindad, PT PAL dan PTDI masih mengembangkan joint operation melalui order komponen yang bersifat spesifik. Misalnya, PT PAL menjalin kerja sama dengan industri dalam negeri dan luar negeri.
Mustafa mengatakan, mengembangkan jaringan kerjasama di dalam dan luar negeri akan dikembangkan Indonesia untuk meningkatkan produksi industri dalam negeri. Selain itu, Indonesia akan menguatkan sistem menejemen dan evaluasi pengelolaan industri pertahanan. "Konsep-konsep seperti inilah yang nantinya kita, kembangkan," ujarnya.
Purnomo mengatakan, KKIP punya tugas dan tanggung jawab untuk mengoordinasikan kerja sama luar negeri dalam rangka mengembangkan industri pertahanan. Selain itu, KKIP melaksanakan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan industri pertahanan, seperti yang diatur dalam Perpres Nomor 42/2010. "Saat ini KKIP telah mulai operasional, pembentukan kelompok-kelompok kerja sudah dapat dibentuk sesuai kebutuhan," katanya.
Sementara itu, Sjafrie menjelaskan, fokus KKIP untuk memantapkan strategi pembangunan industri prtahanan dalam negeri, antara lain, kemampuan dan pengembangan kapasitas produksi untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri, baik bagi TNI, Polri maupun aparat pemerintah lain.
Ia menyatakan, pemerintah akan selalu berupaya mendorong kemandirian alat utama sistem senjata (alutsista) dalam negeri. Caranya, pemerintah menyertakan industri strategis nasional milik BUMN maupun swasta untuk satu sinergi memproduksi alutsista maupun nonalutsista.
Namun begitu, dikatakan Sjafrie, dalam setiap pengadaan hendaknya mengikutsertakan beberapa syarat lainnya untuk diajukan kepada para penyedia barang, antara lain, lisensi menjadi milik Kemhan dan manajemennya dikendalikan oleh Kemenhan. "Dengan kebijakan itu, kemandirian industri pertahanan dalam negeri tersebut, akan dapat berlangsung dalam waktu cepat," katanya.
Kualitas persenjataan
Secara terpisah, anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Golkar Fayakhun Andriadi menyatakan, persenjataan milik TNI dari tahun ke tahun mengalami penurunan dan bahkan tidak ada pembaruan sama sekali.
"Pertahanan kita mulai menurun sejak TNI dipimpin oleh Jenderal (Purn) Leonardus Benyamin Moerdani. MEF menurun karena hanya Moerdani mengatakan berapapun TNI dikasih dana, TNI siap. Di situlah mulai terjadi penurunan alutsista TNI. Sekarang ada target yang harus diberikan oleh pemerintah kepada TNI soal MEF," ujarnya.
Dengan adanya Minimum Essential Force TNI sebear Rp 150 triliun untuk periode 2011-2015, maka sudah saatnya untuk memperbaharui persenjataan TNI.
Suara Karya
No comments:
Post a Comment