25 Maret 2009, Jakarta -- Perjanjian Pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA) RI dengan Singapura yang selama ini dipaketkan dengan Perjanjian Ekstradisi harus dipisah agar pembahasan berlanjut.
"Tidak ada substansinya dibahas dalam satu paket," kata pengamat militer Universitas Nasional Singapura Bilveer Singh kepada Jurnal Nasional di Jakarta, Senin (23/3) petang. Dengan pembahasan tersendiri, kedua perjanjian malah lebih cepat diimplementasikan.
Alasannya, Singapura sebenarnya tidak terlalu membutuhkan DCA dalam konteks mendapat daerah latihan militer. "Kami punya banyak tempat latihan di negara lain," kata Singh. Singapura juga ingin menyelesaikan ekstradisi karena tidak ingin dicap melindungi teroris ekonomi.
"Anggapan itu merugikan kami sebagai negara yang menggantungkan pada sektor jasa," kata dia. Jika dalam proses pembahasan ada tarik menarik merupakan hal wajar. Apalagi, wacana ekstradisi sudah bergulir sejak lama. "Tapi ujung-ujungnya pasti selesai," kata Singh menambahkan.
Itu yang terjadi dengan perjanjian batas laut bagian barat RI-Singapura, yang sudah dibahas sejak 1973. Pembahasan DCA lambat karena sudah dipolitikkan. "Tapi pasti akan ada perbaikan," kata dia. Alasannya, secara strategis Singapura menganggap Indonesia mitra penting.
Juru Bicara Kedutaan Besar Singapura di Indonesia Rajpal Singh menyatakan kesiapan Pemerintah Singapura melanjutkan pembahasan DCA. Kebuntuan pembahasan DCA dengan Indonesia disebabkan tidak ada kesepahaman terutama menyangkut perubahan substansi aturan pelaksana (Implementing Arrangement) di daerah latihan.
"Singapura siap melanjutkan bahasan paket DCA dan Perjanjian Ekstradisi yang telah disepakati jika Indonesia bersedia," kata Rajpal. Sebelumnya, Menteri Pertahanan (Menhan) Juwono Sudarsono mengungkapkan, Singapura menghentikan pembahasan DCA. Otomatis, Ekstradisi yang menjadi satu paket juga belum berlaku. Ia mengaku tidak tahu alasan penghentian dua kesepakatan itu. "Tanya mereka (Singapura)," katanya. (JurnalNasional)
"Tidak ada substansinya dibahas dalam satu paket," kata pengamat militer Universitas Nasional Singapura Bilveer Singh kepada Jurnal Nasional di Jakarta, Senin (23/3) petang. Dengan pembahasan tersendiri, kedua perjanjian malah lebih cepat diimplementasikan.
Alasannya, Singapura sebenarnya tidak terlalu membutuhkan DCA dalam konteks mendapat daerah latihan militer. "Kami punya banyak tempat latihan di negara lain," kata Singh. Singapura juga ingin menyelesaikan ekstradisi karena tidak ingin dicap melindungi teroris ekonomi.
"Anggapan itu merugikan kami sebagai negara yang menggantungkan pada sektor jasa," kata dia. Jika dalam proses pembahasan ada tarik menarik merupakan hal wajar. Apalagi, wacana ekstradisi sudah bergulir sejak lama. "Tapi ujung-ujungnya pasti selesai," kata Singh menambahkan.
Itu yang terjadi dengan perjanjian batas laut bagian barat RI-Singapura, yang sudah dibahas sejak 1973. Pembahasan DCA lambat karena sudah dipolitikkan. "Tapi pasti akan ada perbaikan," kata dia. Alasannya, secara strategis Singapura menganggap Indonesia mitra penting.
Juru Bicara Kedutaan Besar Singapura di Indonesia Rajpal Singh menyatakan kesiapan Pemerintah Singapura melanjutkan pembahasan DCA. Kebuntuan pembahasan DCA dengan Indonesia disebabkan tidak ada kesepahaman terutama menyangkut perubahan substansi aturan pelaksana (Implementing Arrangement) di daerah latihan.
"Singapura siap melanjutkan bahasan paket DCA dan Perjanjian Ekstradisi yang telah disepakati jika Indonesia bersedia," kata Rajpal. Sebelumnya, Menteri Pertahanan (Menhan) Juwono Sudarsono mengungkapkan, Singapura menghentikan pembahasan DCA. Otomatis, Ekstradisi yang menjadi satu paket juga belum berlaku. Ia mengaku tidak tahu alasan penghentian dua kesepakatan itu. "Tanya mereka (Singapura)," katanya. (JurnalNasional)
No comments:
Post a Comment