Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat meninjau Pulau Sebatik. (Foto: tarakankota)
31 Mei 2009, Jakarta -- Belakangan ini, perpolitikan Indonesia kembali "dimeriahkan" dengan perdebatan sikap tentang langkah yang perlu diambil terhadap negara asing, khususnya Malaysia. Hal itu disebabkan beberapa kapal perang asing, termasuk Malaysia berulang kali memasuki wilayah Indonesia seperti perairan Nunukan dan Pulau Ambalat, Kalimantan Timur serta sekitar Pulau Nipah, Kepulauan Riau (Kepri).
Berbagai pendapat muncul, ada yang menyarankan Indonesia bersikap tegas dan ada pula yang mengimbau agar ditempuh upaya perundingan. Apa motif dari pihak asing itu serta ada apa dengan pulau-pulau di nusantara ?
Berdasarkan data di Departemen Dalam Negeri, terdapat 17.504 pulau di Indonesia, 7.870 pulau di antaranya telah memiliki nama sedangkan 9.634 lainnya belum dinamai. Dari jumlah itu, provinsi yang paling banyak memiliki pulau adalah Kepri dengan 2.408 pulau, yang 1.350 pulau telah diberi nama sedangkan sisanya sebanyak 1.058 masih belum dikenal.
Prajurit TNI bersiaga di perbatasan Sebatik, perbatasan antara wilayah NKRI dan Malaysia. (Foto: tarakankota)
Namun, menurut peneliti kelautan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof. Dr. Ono Kurnaen Sumadiharga, kebanyakan pulau-pulau itu berada di daerah terluar dan dalam jarak yang sangat jauh. "Dan sebanyak 92 pulau terluar itu sangat berpeluang diambil alih pihak asing," katanya.
Selain banyak yang belum berpenghuni, peluang diambil pihak asing disebabkan 92 pulau itu jarang, bahkan sebagian tidak pernah dikunjungi pejabat pemerintahan. Ia mencontohkan dengan beberapa pulau di timur Pulau Biak, Provinsi Papua yang lokasinya sangat jauh dan jarang dikunjungi.
Demikian juga dengan beberapa pulau kecil yang berada di sekitar kepulauan Natuna, Kepri yang tidak ditempati dan juga jarang dikunjungi. "Kalau tidak (diamankan) segera, nasib 92 pulau itu akan sama dengan (Pulau) Sipadan dan Ligitan," kata Ono.
Guru besar bidang oseanografi Universitas Indonesia (UI) dan Institut Pertanian Bogor (IPB) itu pun menambahkan, ada juga pulau yang sudah berpenduduk namun tetap memiliki peluang diklaim pihak asing menjadi milik negara mereka.
Contohnya, kata dia, ada beberapa pulau di Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara yang penduduknya banyak berbahasa Tagalog, bahasa resmi Philipina dan menggunakan mata uang negara tetangga itu, Peso.
Jika tidak disikapi dengan tepat dan bijaksana, tidak tertutup kemungkinan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di pulau tersebut.
Jadi "incaran"
Kondisi lokasi yang sangat jauh, belum berpenghuni dan jarang dikunjungi itu diperkirakan banyak pulau-pulau di Indonesia menjadi incaran pihak asing. Dua di antaranya, Pulau Sipadan dan Ligitan telah berpindah ke tangan ke Malaysia.
Menurut Prof. Ono Kurnaen Sumadiharga, banyak cara yang ditempuh pihak asing untuk mencoba menduduki pulau-pulau terluar itu. Salah satunya, melalui nelayan asing yang mencuri ikan dan menggunakan pulau-pulau itu sebagai tempat tinggal.
"Setelah itu, nelayan-nelayan asing itu menancapkan bendera nasional mereka dan mengaku bagian dari negaranya," kata Ono. Dengan kondisi tersebut, banyak pihak yang menuntut pemerintah Indonesia untuk bertindak tegas terhadap kapal- kapal asing itu, termasuk Malaysia.
Mantan anggota Komisi I DPR, Permadi pernah meminta pemerintah, dalam hal ini TNI untuk menembak atau menabrak kapal-kapal asing seperti Malaysia dan Singapura yang memasuki wilayah kedaulatan RI. Namun, mantan Duta Besar RI untuk Malaysia dan Singapura, Letjen TNI (Purn) Rais Abin menganjurkan agar hal itu diselesaikan melalui ASEAN.
Menurut dia, Indonesia mulai kurang memberdayakan dan memanfaatkan ASEAN untuk mengatasi masalah regional, seperti masuknya kapal negara tetangga ke perairan nasional. Akibatnya, permasalahan yang muncul seperti itu sering tidak terselesaikan dan berpeluang terjadi lagi di kemudian hari.
Padahal, ASEAN sengaja dibentuk para pemimpin negara di kawasan Asia Tenggara masa lalu agar dapat menjadi wadah berdiskusi dan bermusyawarah untuk menyelesaikan persoalan yang mungkin muncul antar negara di daerah itu.
ASEAN juga didirikan dengan tujuan agar negara-negara di Asia Tenggara dapat saling menghormati dan bekerja sama untuk kemajuan.
"Untuk apa ada ASEAN kalau tidak bisa menyelesaikan masalah-masalah seperti itu. Buat apa juga ada ASEAN kalau tidak saling menghormati," katanya. Rais Abin yang juga Ketua Umum Legiun Veteran RI itu juga mengimbau pemerintah Indonesia tidak perlu bersikap reaktif, seperti mengerahkan TNI untuk menembaki kapal-kapal asing yang dapat menyulut perang.
Memang, kata dia, fungsi TNI tidak bisa ditawar lagi sebagai penjaga dan pengaman kedaulatan wilayah Indonesia tapi harus berpikir matang jika menyulut perang. "Nggak mampu kita (berperang)," katanya. Pendapat yang hampir sama juga disampaikan pengamat Hubungan Internasional, Bantarto Bandoro yang mengimbau agar Indonesia tidak terpancing dengan apa yang dilakukan oleh Malaysia yang mengirimkan beberapa kapal patroli ke perairan nasional, khususnya Ambalat.
"Mereka saya kira hanya mengetes kesiapan Indonesia dalam mengamankan Ambalat. Selama ini Indonesia kurang bereaksi jika kasus ini mencuat," katanya.
Namun, Permadi mungkin tidak sependapat dengan Rais Abin. Politisi dari PDI Perjuangan itu mengakui jika alat persenjataan militer Singapura dan Malaysia memang kuat tapi keberanian prajuritnya tidak seperti personil TNI.
Prof. Ono menyatakan, kondisi itu dapat diatasi dengan cara melakukan penjagaan seperti menempatkan personil Angkatan Laut di pulau-pulau terluar tersebut. Jika kurang mampu, pemerintah dapat menjalin kerja sama dengan pihak swasta agar pulau-pulau itu dimanfaatkan seperti dijadikan tempat wisata.
Apabila sudah ada kegiatan di pulau-pulau terluar itu, maka pihak mana pun tidak berani untuk melakukan kegiatan lain, apalagi jika sampai mengklaimnya sebagai milik mereka. Pemerintah juga dapat memasukkan pihak asing untuk mengelola pulau-pulau itu. "Namun harus ada perjanjian dulu yang tidak merugikan Indonesia dalam segala hal," katanya
Rais Abin juga mengatakan, permasalah yang timbul belakangan ini diakibatkan kurangnya komunikasi antar pejabat Indonesia dan Malaysia. "Berbeda dengan dulu, hubungan pejabat Indonesia-Malaysia sangat akrab karena sering berkomunikasi. Semua persoalan pun menjadi mudah," kata Abin yang juga mantan Sekjen KTT Non Blok itu.
Dulu, kata dia, hubungan kekerabatan antara pejabat Indonesia-Malaysia sangat baik karena sering berkomunikasi, baik secara formal mau pun informal. Hal itu menyebabkan pejabat Indonesia sangat akrab dengan pejabat Malaysia pada masa itu seperti Mahathir Mohammad, Datuk Musa Hitam dan Anwar Ibrahim.
Efeknya, semua urusan dengan pemerintahan Malaysia menjadi sangat mudah, baik itu menyangkut TKI mau pun wilayah perbatasan. "Kalau ada masalah, saya tinggal angkat telepon dan menghubungi Datuk Musa Hitam atau Anwar Ibrahim, semuanya selesai," kata diplomat senior yang pernah menjadi Panglima Pasukan Perdamaian PBB itu.
(KOMPAS)
No comments:
Post a Comment