LONG BAWAN, 7/4 - PERBAIKAN PESAWAT. Sejumlah anggota TNI AL yang tergabung dalam Base Maintenance Team (BMT) Wing Udara-1 Puspenerbal, melakukan perbaikan pada pesawat intai Nomad yang mengalami kerusakan di wilayah perbatasan dengan Malaysia, Long Bawan, Nunukan, Kaltim, Jumat (3/4). BMT Wing Udara-1 Puspenerbal dilatih khusus dalm hal perbaikan pesawat yang mengalami kerusakan dalam kondisi darurat dan di daerah terpencil dengan kecepatan waktu perbaikan sangat singkat. (Foto: ANTARA/Letkol Laut (P) Imam Musani/Koz/hp/09)
KERAYAN PERLU DI PERHATIKAN LEBIH SERIUS OLEH PEMERENTAH PUSAT.
ReplyDeletePEMERINTAH Pusat perlu turut bersikap dan memberikan solusi atas permasalahan isolasi, keterbelakangan dan kemiskinan yang dihadapi masyarakat perbatasan di wilayah utara Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim). Sudah 63 tahun Indonesia merdeka, namun hingga kini mereka masih saja kesulitan mendapatkan barang dan bahan kebutuhan pokok dari dalam negeri. Selain angkutan pesawat terbatas, harganya pun melambung tinggi. Warga Long Nawang, Malinau misalnya, terpaksa mendatangkan secara ilegal dari Tapak Mega, Malaysia dengan terlebih dulu memberikan uang sogokan kepada oknum-oknum Askar Malaysia. Begitu pula warga Long Midang dan Krayan di Nunukan. Untuk mempercepat pembangunan di perbatasan, pemerintah pernah membentuk Badan Pengendali Pelaksana Pembangunan Wilayah Perbatasan Kalimantan. Tetapi, badan yang dibentuk lewat Keppres 44 Tahun 1994 dan diketuai Menhankam itu tak kunjung bergerak. Warga setempat kemudian berkeinginan membentuk Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) sejak lima tahun lalu, sebagai salah satu upaya mempercepat pembangunan di wilayah itu, tapi lagi-lagi mengalami kendala. Pusat belum kunjung memberinya izin. Lalu sampai kapan keadaan ini berakhir?
PATUTKAH menyebut warga Desa Long Bawan, Kabupaten Nunukan, Kaltim sebagai orang kaya? Bayangkan saja, setiap kali mereka membeli barang kebutuhan pokok selalu dengan harga jauh lebih tinggi dibanding masyarakat dari daerah lain di Indonesia. Garam dapur, mereka beli seharga Rp 35.000 per kilo gram, gula pasir Rp 13.500 per bungkus (8 ons), dan bensin premium Rp 15.000 per liter.
Patut pulakah menyebut masyarakat Desa Long Nawang di Malinau sebagai orang kaya ketika mereka harus mengeluarkan duit hingga Rp 1,4 juta untuk 1 sak semen ukuran 50 kg yang dibelinya dari Malinau atauTarakan? Karena keterbatasan angkutan pesawat, harganya memang jadi melambung. Jika barang yang sama itu dibeli dari Malaysia, harganya bisa lebih "murah" (meski tetap saja tidak bisa disebut murah), hanya Rp 700 ribu.
Barang-barang ini harus melewati get-get (semacam pintu-pintu pemeriksaan tidak resmi) yang sengaja dipasang oleh Askar Malaysia agar mereka mendapatkan upeti dari barang tersebut. Ingkong Ala, tokoh masyarakat Desa Long Nawang mengatakan, harga diri bangsa memang dipermainkan di sini.
Namun kita tidak punya pilihan lain sebab bila menunggu bantuan pemerintah pusat dan provinsi, kenyataannya tidak pernah ada. Ada memang subsidi ongkos angkutan barang, tetapi tetap volumenya tidak bisa memenuhi kebutuhan warga perbatasan selama satu tahun, sehingga harganya masih saja tinggi.
"Semenjak dahulu kita sudah ambil barang di Malayisa secara ilegal karena hanya Tapak Mega saja yang menjadi harapan kita untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di tiga kecamatan perbatasan. Sebab bila menunggu bantuan pusat dan provinsi, kapan lagi," ucapnya.
Ketika bepergian ke luar daerah, mereka pun selalu naik pesawat, kendati itu hanya menuju ibukota kabupaten. Bahkan, sekedar membeli rokok saja, kadang harus terbang ke Tarakan. Tapi patutkah kita menyebut warga di dua desa ini sebagai orang terkaya? Jawabnya: tidak!
masjonly
jl.langesuko no 09 salatiga
JATENG-Indonesia