Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Mayjen TNI Harry Purdianto melepaskan tanda peserta latihan gabungan Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) dalam upacara penutupan di Desa Tanjung, Kecamatan Bunguran Timur Laut, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, Jumat (7/9). Latihan gabungan PPRC digelar sejak Selasa (4/9) dengan melibatkan 2.500 personel TNI gabungan, baik TNI AU, TNI AD maupun TNI AL. (Foto: ANTARA/Rusdianto/ed/mes/12)
12 September 2012, Jakarta: Eskalasi konflik yang meningkat di kawasan Laut China Selatan disikapi dingin Tentara Nasional Indonesia (TNI).TNI belum berencana untuk memperkuat pertahanan di daerah yang berbatasan langsung dengan wilayah sengketa tersebut,yakni di Kepulauan Natuna, sebagai langkah antisipasi adanya dampak konflik.
Kepala Pusat Penerangan TNI Laksamana Muda TNI Iskandar Sitompul mengungkapkan, sejauh ini TNI masih mengandalkan kekuatan militer yang sudah ada di Kepulauan Natuna. “Sampai sekarang kita belum ada kajian ke sana (pemekaran),” ujarnya di sela-sela peluncuran buku Indonesia Mengukir Sejarah Selam Dunia di Jakarta, Senin (10/9) malam.
Kekuatan militer TNI di wilayah tersebut sebenarnya terbilang minim, karena hingga sekarang pangkalan yang ada di sana hanya Pangkalan Udara TNI Angkatan Udara. Adapun untuk TNI Angkatan Darat dan Angkatan Laut sejauh ini berada di bawah komando kodim setempat.“Kita tidak ada perubahan.Lanal tetap tidak ada pemekaran dan sebagainya, ”bebernya.
Meski demikian, Iskandar meyakinkan bahwa kekuatan yang ada saat ini sudah cukup untuk menyikapi perkembangan eskalasi konflik. Menurut dia,TNI memiliki kesiapan untuk mengantisipasi dampak konflik di Laut Cina Selatan terhadap wilayah Indonesia yang berada di seputarannya.
“Kita mempunyai komunikasi dan intelijen yang sangat baik. Pengindraan kita juga sangat baik, sehingga kalau ada sesuatu, kita bisa dengan yang terdekat, misalnya di sana ada Tanjung Pinang, Dumai, dan sebagainya,”katanya Pada awal September lalu, TNI memusatkan latihan Pasukan Pemukul Reaksi Cepat di daerah tersebut.
Sebanyak 2.500 personel TNI terlibat di dalamnya.TNI juga menyertakan 5 KRI, 4 pesawat tempur Hawk, 6 pesawat angkut Hercules C-130, 1 CN-235, dan 2 helikopter SA-332 pada latihan gabungan tersebut. Meski demikian, TNI menampik bahwa pemilihan lokasi latihan di Natuna ada kaitannya dengan konflik Laut China Selatan ataupun ancaman yang bisa mengganggu stabilitas keamanan nasional.“Ini hanya pilihan yang telah dirancang jauh-jauh hari,” kata Kepala Staf Umum TNI Marsekal Madya TNI Daryatmo.
Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menerangkan, pemekaran armada laut bergantung pada strategi pertahanan dan postur. Setiap pengembangan kekuatan selalu berorientasi pada ancaman yang ada. Akan tetapi, lanjut dia,Kementerian Pertahanan selaku pembuat regulasi dan pembuat kebijakan,pemekaran itu tidak bisa serta-merta dilaksanakan. Harus dilakukan kajian-kajian yang komprehensif secara strategis.
Apalagi dilihat dari segi anggaran,sekarang ini 42% anggaran pertahanan terserap untuk belanja pegawai. Padahal, adanya pemekaran bakal membutuhkan anggaran tidak sedikit, sehingga pemekaran jika dipaksakan dikhawatirkan akan gagal.“Jadi setinggi-tingginya anggaran,kalau itu untuk belanja pegawai, nanti pembangunan kekuatan jadi turun,” papar Sjafrie.
Lantaran penguatan armada laut dibutuhkan, maka perlu dicarikan solusi. Sjafrie menilai, menanggulangi ancaman tidak harus serta-merta dengan pemekaran kekuatan. Dia menuturkan, mobilitas yang tinggi didukung kualitas alutsista yang canggih bisa menjadi solusi.
Sumber: SINDO
No comments:
Post a Comment