C-130H Hercules A97-009. 36 Squadron dan 37 Squadron Royal Australia Air Force (RAAF), dua skuadron yang mengoperasikan C-130 Hercules. 36 Sqd mengoperasikan 12 C-130H Hercules diterima 1978 dan 37 Sqd mengoperasikan 12 C-130J Hercules diterima 1999. Kedua skuadron kemudian dimeger pada 17 November 2006. 36 Sqd menyerahkan 12 C-130H ke 37 Sqd, selanjutnya mengoperasikan 5 C-17 Globemaster. (Foto: Australia DoD)
6 Juli 2012, Jakarta: Wakil Ketua Komisi I DPR, Tubagus Hasanuddin mendesak agar pemerintah menolak hibah empat unit pesawat Hercules C 130 dari Australia. Menurut informasi empat pesawat yang dihibahkan itu tidak laik terbang.
Bahkan, pemerintah perlu melakukan perbaikan dengan biaya sekitar 60 juta dolar AS, atau 15 juta dolar AS per unit.
''Aneh memang, karena dalam waktu yang sama Australia juga menawarkan enam buah pesawat sejenis dan dalam kondisi siap operasional seharga 90 juta dolar AS atau 15 juta dolar AS per unit,'' tut dia, Jumat (6/7).
Artinya, tambah dia, harga jual dan harga hibah sama. Malah, dengan uang 150 juta dolar AS sebaiknya pemerintah membeli lima unit Hercules baru.
Dengan pertimbangan, kondisi pesawat yang baru dapat melakukan penghematan dari biaya pemeliharaan. Serta usia pakai (jam terbang) yang lebih banyak dan lebih aman digunakan.
Sebelumnya dalam kunjungannya ke Australia, Presiden SBY menerima empat pesawat hibah berjenis Hercules C 130. Hingga kini hibah itu belum mendapat restu DPR.
''Sesuai pasal 23 ayat (1) UU Nomor 17/2003 tentang keuangan negara, disebutkan hibah atau menerima hibah dari pemerintah/lembaga asing harus dengan persetujuan DPR,'' pungkas politisi PDIP itu.
Indonesia Terima Banyak Hibah Alutsista Rongsokan
Wakil Ketua Komisi I DPR RI TB Hasanuddin mensinyalir banyak hibah alutsista yang diterima Indonesia berupa 'barang rongsokan'. Politisi dari PDIP ini mengatakan selain hibah pesawat Hercules C-103 dari pemerintah Australia baru-baru ini, sebelumnya banyak hibah yang tidak laik pakai.
''Menurut informasi Indonesia juga ditawari belasan pesawat F5 yang sudah di-grounded dari Korea Selatan. Hibah-hibah seperti ini sangat tidak efisien dan ujung-ujungnya hanya akan menjadi beban untuk TNI,'' ujar Tubagus.
Sebagai contoh, ia menyebutkan puluhan kapal tempur yang diterima dari bekas angkatan laut Jerman Timur yang kini hanya menjadi beban. Padahal seharusnya, pemerintah fokus untuk memperkuat kekuatan Angkatan Laut.
''Padahal biaya membawa dari Jerman dan kemudian memeliharanya juga sangat besar. Makanya, pemerintah harus menghentikan pembelian rongsokan dengan uang rakyat,'' terang Tubagus.
Tubagus menegaskan menolak hibah empat pesawat Hercules dari Australia karena menurutnya empat pesawa itu tidak laik pakai. Indonesia justru harus mengeluarkan banyak dana untuk memperbaikinya.
Sumber: Republika
menurut wikipedia, harga hercules baru sekitar 63 juta dollar , atau setara 600 miliar rupiah per pesawat. Nah. kata pak DPR yang sangat terhormat, harga retrofit itu 15juta dollar atau sekitar 140 miliar rupiah. Kalo beli baru ya masih sangat jauh lah Pak, wong budgetnya per biji cuman 140 miliar kok mau beli 600 miliar. Lak masih jauh amat itu. Lagian herkules itu sudah tua2, kalo beli baru takutnya bakal kesulitan suku cadang. Kalo niat beli baru ya sisan beli Airbus A400M, atau C-17 Globemaster III, yang udah gede sekalian. DPR yang sangat terhormat ini kebanyakan komen. Ini juga buat kepentingan rakyat. Cuma cari muka doang, Pak2, rakyat ini sudah tidak bisa lagi kau bodohi!
ReplyDeletekayak sudah pintar aja ini orang di atas saya...
ReplyDeleteMas,om,pak,mbah..klo dari segi kualitas juga pasti jauh menang yang baru lah..klo hibah pasti bakal lebih menelan dana banyak buat repair tiap bbrp taun sekali..lagi pula ini pesawat buatan tahun 70an,sudah terlalu tua,masih layak terbang brp taun lagi??belum lagi kalo nanti jatuh gr2 usia..
Bpk TB Hasanuddin, siapa yang tidak mau beli barang baru ? tapi uangnya siapa pak ? alutsista beda dengan beli mobil, karena mendatangkan suku cadang butuh waktu bulanan bahkan tahunan, kalau kita beli 1 pesawat baru, paling hanya bisa dipakai 2 tahun karena kalau rusak harus nunggu suku cadang, bandingkan kalau kita beli 6 pesawat bekas, pasti yang terbang bisa 3 pesawat, karena suku cadang bisa dikanibal dulu,.. sebelum ngomong dipikir dulu pak, jangan asal cuap - cuap, parlemen Indonesia jauh lebih buruk dari parlemen belanda
ReplyDelete@Anonymous. Lhoh, itu fakta kok mas/pak. Saya sependapat dengan Pak Didik Suprayitno di atas saya. Semua juga pengen beli baru. Tapi 1 lagi. Budget kita berapa.....hihihi
ReplyDeleteMending untuk memenuhi kuantitas kita pake yang second hand gapapa. baru kalo anggaran pertahanannya naik (beberapa tahun lagi dan entah itu kapan) kita beli yang baru. Masalah jam terbang, Menhan bilang masih layak 15-20 tahun lagi tuh. Baca nih:
http://beritahankam.blogspot.com/2012/07/menhan-lebih-baik-terima-hibah-hercules.html
Pemerintah Malaysia bekerja sama dengan Pemerintah Perancis untuk membuat mesin pesawat terbang
ReplyDeleteSebaiknya Pemerintah RI membeli technology dan ilmu untuk membuat mesin pesawat terbang dari USA, supaya anak anak bangsa Indonesia bisa membuat pesawat terbang dengan utuh, pesawat terbang N 250 yang gagal dan berhenti harus dilanjutkan,
Pemerintah RI belum perlu membeli pesawat bekas dari Australia dengan harga yang terlalu mahal, Pemerintah RI telah ditipu atau dirampok oleh Pemerintah Australia, karena barang bekas dijual terlalu mahal untuk Indonesia
Indonesia sudah dijadikan sapi perah oleh Australia, kemudian Australia membeli pesawat terbang Herkules terbaru dari USA, setelah menjual pesawat terbang bekas kepada TNI, perlu diingat ada batas umur pesawat terbang, jika sudah melewati batas umur, pesawat terbang harus dipensiunkan atau di-PHK-kan
@Anonim. Memang beli teknologi mudah mas? mana mau Amrik dengan serta merta alih teknologi? wong F-22 saja gak mau ngasih tu walau ke negara sekutunya. Apa lagi Indonesia,,hihihi
ReplyDeletePaling banter cuma beli mesinnya yang udah jadi. Bukan teknologinya.
Dimana2 buat pesawat gak ada yang utuh 100% dibuat dalam negeri lho. Lihat saja Airbus. Mereka menggandeng lebih dari satu juta perusahaan pendukung dari seluruh penjuru dunia. Termasuk PTDI juga kebagian membuat IOFLE sama tier.
Pesawat Boeing saja banyak tuh yang radarnya buatan Thales, Perancis, avioniknya Israel, dll.
Maka dari itu perlu diketahui bahwa tidak ada perusahaan pesawat satu pun di dunia ini yang 100% perangkatnya made in dalam negeri.
Untuk masalah hercules dari Aussie, saya yakin TNI sudah tau betul tentang kondisi pesawat dari pada kita2 yang hanya tau dari berita dalam negeri saja. Mabes TNI kan uda ngirim tim peninjau hercules tuh yang sekarang belum balik dari Australi. Tugas tim peninjau itu untuk mengecek mana2yang harus ditingkatkan kemampuannya, mana yang harus diperbaiki, dan bahkan yang perlu diganti. Kalo mengganti mesin ya memang mahal. Misal harus ganti mesin yang harganya 50 miliar rupiah per bijinya, uda berapa tuh kalo ditotal? Wong per pesawatnya bawa 4 buah mesin. Belum itu radarnya, avioniknya, maintance service-nya, dll.
Memang peralatan militer mahal mas bro.
Jalan terbaik adalah begini (mudah2an),,,,
ReplyDelete1. Untuk kebutuhan pengadaan jangka 5-10 tahun, pengadaan herkules bekas yang di-retrofit cukup ekonomis, karena jenis ini sangat bandel. Pembelian baru, emang sangat mahal, disamping pihak AS tidak mau membagi teknologi lewat TOT (transfer of technology.
2. Sambil pengadaan di atas, Indonesia kan sudah kerjasama dengan Spain untuk pengadaan dan pembuatan di dalam negeri N295. Pesawat ini masih dibawah Hercules, tapi seiring dengan adanya TOT, suatu saat kita bisa membuat sendiri pesawat angkut setara Herkules.
3. Setelah beberapa negara menerima A400M Airbus, dan menggunakannya, apabila Indonesia ada dana, bolehlah beli 2 unit, sekedar varian alat transportasi kita yang lebih mumpuni.
Terakhir kepada Bp. TB Hasanuddin : Anda itu tau apa sih tentang Hankam? koq bisanya protas protes mulu!! kapan anda mendukungnya? apa karena tidak kebagian proyek?