KRI Dewa Ruci (kanan), yang sejak 12 Maret lalu melakukan muhibah ke 29 kota di 21 negara, Jumat (19/11), tiba kembali di Jakarta dan berlabuh di Komando Lintas Laut Militer, Tanjung Priok, Jakarta. Dalam muhibah itu, kapal legendaris yang sudah berusia 58 tahun tersebut mengikuti dua perlombaan dan tiga festival kapal layar serta menyabet 23 penghargaan. (Foto: KOMPAS/C Wahyu Haryo PS)
20 November 2010 -- "Rasanya tidak sabar lagi ingin bertemu istri dan anak di Surabaya.” Sersan Kepala (Navigasi) Adrian Alexander mengungkapkan perasaannya itu sesaat setelah KRI Dewa Ruci merapat di dermaga Komando Lintas Laut Militer, Jakarta Utara, Jumat (19/11).
Terhitung sudah 254 hari awak KRI Dewa Ruci, yang sehari-hari bertugas mengabadikan momen di kapal itu, turut dalam pelayaran muhibah keliling Eropa. Jika dihitung lama perjalanan hingga kembali ke pangkalannya di Surabaya, muhibah kali ini yang membutuhkan waktu sekitar 260 hari merupakan rekor terlama dalam 58 tahun pelayaran Dewa Ruci.
Komandan KRI Dewa Ruci Letnan Kolonel Laut (Pelaut) Suharto lebih puitis dalam mengungkapkan kerinduannya. ”Sejauh 27.537 mil adalah jarak rasa rindu terhadap istri, anak, keluarga, dan para sahabat. Jarak yang terbentang dari Surabaya hingga Kristiansand (Norwegia), yang berhiaskan kibaran Sang Merah Putih dan nyanyian ’Indonesia Raya’,” katanya.
Perasaan kangen itu hampir pasti melingkupi 88 prajurit TNI Angkatan Laut yang mengawaki KRI Dewa Ruci. Sejak diberangkatkan dari Surabaya pada 12 Maret 2010, KRI Dewa Ruci telah menyinggahi 29 kota di 21 negara di Benua Asia, Afrika, dan Eropa. Dalam menjalankan misi persahabatan dan duta wisata budaya, KRI Dewa Ruci mengikuti dua perlombaan dan tiga festival kapal layar.
Tentu banyak pengalaman dan suka-duka yang dirasakan awak Dewa Ruci, termasuk 83 kadet Akademi Angkatan Laut serta puluhan orang yang sempat onboard di Dewa Ruci. Mulai dari kenangan bergaul dengan warga dunia, mengunjungi tempat wisata di luar negeri, pengalaman menghadapi badai terparah sepanjang 25 tahun terakhir pelayaran Dewa Ruci, hingga kenangan melewatkan Idul Fitri dan Idul Adha di laut.
”Semua serasa terbayar lunas saat semua awak menyelesaikan tugasnya dan kembali ke Tanah Air,” kata Suharto.
Dosen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Edy Prasetyono, dalam diskusi peluncuran buku Sebuah Kisah Nyata Dewa Ruci — Pelayaran Pertama Menaklukkan Tujuh Samudra terbitan Penerbit Buku Kompas di Toko Buku Gramedia Matraman, Jakarta, kemarin, mengatakan, perjalanan KRI Dewa Ruci merupakan diplomasi yang luar biasa. Ini wujud diplomasi yang efektif dan berinteraksi langsung dengan masyarakat negeri yang dikunjungi. Diplomasi budaya berlangsung baik karena KRI Dewa Ruci dan awaknya berhubungan dengan masyarakat yang dikunjungi.
”Perjalanan KRI Dewa Ruci merupakan simbol eksistensi bangsa Indonesia,” kata Edy, yang aktif dalam pelbagai kajian maritim untuk pertahanan.
Penulis buku itu, Letnan Kolonel (Purn) Cornelis Kowaas, mengingatkan, keberadaan Dewa Ruci telah membentuk banyak pimpinan TNI AL sejak tahun 1953 hingga sekarang. ”Generasi muda harus sadar akan kebanggaan nasional kita lewat kedaulatan di lautan,” ujar Kowaas.
KOMPAS
No comments:
Post a Comment