(Foto: KOMPAS/Letkol (Pnb) Fajar "Redwolf" Adriyanto)
16 Januari 2010 -- Siang hari, 12 Desember 2006. Di Pameungpeuk, Garut selatan, Jawa Barat, tengah ada latihan pasukan. Tiba-tiba, radar mendeteksi adanya pesawat tak dikenal di atas mereka.
Dua pesawat F-16 segera diluncurkan mendekati pesawat asing yang ternyata adalah P3C Orion tanpa nomor registrasi dengan simbol Royal Australian Air Force (RAAF) yang dikaburkan. Pesawat itu penuh dengan sensor penerima. Dari perlengkapan dan gerakannya, diduga pesawat ini hendak memata-matai latihan yang tengah berlangsung.
Sesuai dengan tata cara dan standar operasi saat mencegat pesawat asing tak dikenal, pilot F-16 milik Indonesia berusaha untuk membuka jalur komunikasi. Namun, upaya itu tidak mendapatkan respons walau tak lama kemudian pesawat RAAF tersebut pergi.
Hingga kini, foto pesawat P3C itu dipajang di salah satu dinding Markas Skuadron 3 Pangkalan TNI Angkatan Udara (Lanud) Iswahjudi, Madiun, Jawa Timur.
Walaupun tidak seterkenal pertemuan dua F-16 milik kita dengan dua F-18 Hornet Angkatan Laut Amerika Serikat, 3 Juli 2003 di atas perairan Bawean, Jatim, insiden ini menunjukkan rentannya kedaulatan ruang udara di atas kita.
”F-16 menjadi andalan dalam memberikan efek gentar pertahanan udara kita,” kata Kepala Staf TNI AU (KSAU) Marsekal Madya Imam Sufaat, Desember 2009. Ini karena badan pesawat (airframe) yang masih banyak serta Sukhoi yang persenjataannya belum optimal.
Akibatnya, F-16 selalu sibuk sepanjang tahun. Di samping latihan rutin setiap hari, deretan misi yang diemban F-16 Fighting Falcon ini bisa mencapai 10-12 misi per tahun. Pada saat tensi politik di Ambalat mulai meningkat, para ”dragon”—begitu sebutan bagi pilot-pilotnya—terbang mondar-mandir Balikpapan-Ambalat selama lebih kurang dua bulan.
Unjuk kekuatan di depan masyarakat dan negara asing, latihan internal TNI AU, gabungan TNI ataupun latihan bersama negara-negara tetangga Elang Alusindo pada September 2009 dan Elang Indopura tahun 2008 dijalankan F-16.
Di tengah gempita kemewahan F-35 milik Singapura dan Sukhoi punya Malaysia yang bergaya, kepiawaian pilot-pilot kita di udara diakui dalam dan luar negeri. Tidak saja mereka pernah tampil dalam atraksi aerobatik sebagai Elang Biru berdampingan dengan Red Arrows (Inggris) dan The Roullete (Australia) dalam Indonesia Air Show 1996, manuver-manuver mereka dalam latihan bersama negara-negara lain juga mengundang decak kagum karena kenekatannya. ”Semua tugas yang diberikan tidak pernah meleset,” kata Komandan Skuadron 3 Letkol Fajar ”Redwolf” Adriyanto.
Genap 20 tahun
Tahun ini, genap 20 tahun pengabdian skuadron F-16 yang pertama kali mendarat 12 Desember 1989. Saat itu, kita boleh menepuk dada karena F-16 A/B block 15 OCU ini merupakan pesawat tempur yang termasuk paling disegani dan terbukti andal di berbagai pertempuran.
Usia 20 tahun adalah angka mengundang ambiguitas, apakah kita harus bangga akan kiprahnya atau harus sedih karena ketuaannya?
Fajar mengatakan, perawatan yang sesuai dengan manual serta jam terbanglah yang ”lebih berbicara” tentang usia itu. F-16 Indonesia telah beberapa kali mengalami peningkatan kemampuan, baik dari segi aviasi-elektrik (avionik), radar, maupun persenjataan, seperti Falcon Up dan pengadaan wiring system atau perkabelan.
Menurut ”Redwolf” ini, usia operasional F-16 masih bisa 10-15 tahun lagi. ”Kita usahakan tidak boros, misalnya mendarat hati-hati untuk irit ban, penggantian oli dipaskan setiap 250 jam, dan jam terbang lebih efektif, yaitu operasi dan proficiency (kecakapan) dikombinasikan,” katanya.
Seiring dengan waktu, perjalanan 12 pesawat F-16 Fighting Falcon ini telah melewati berbagai tantangan. Ada dua kecelakaan menyertai sejarahnya. Yang pertama, gagalnya sistem peringatan membuat pesawat jatuh di Tulungagung, 15 Juni 1992. Pada 10 Maret 1997, berbagai faktor yang tidak mendukung, seperti cuaca, antisipasi, dan manusia, mengakibatkan jatuhnya pesawat F-16 yang kedua di ujung Runway 24 Lanud Halim Perdanakusuma dan menewaskan Kapten (Pnb) Dwi Sasongko.
Embargo militer AS pada 1999-2005 juga menjadi tantangan berat. Suku cadang adalah bagian integral dan esensial dari perawatan pesawat tempur. Untuk mengakali hal ini, muncul pinjam-pakai antarsuku cadang F-16 itu sendiri. Konon, para teknisi mencoba membuat sendiri onderdil-onderdil yang sederhana. ”Kalau kesiapan kita sebelum embargo itu bisa 70 persen, setelah embargo maksimal tinggal 40 persen, kadang-kadang cuma 20 persen,” kata Fajar.
Selesainya embargo tidak serta-merta menyelesaikan masalah karena banyak hal yang harus dikejar. Tidak heran, Fajar masih menyebut angka 40 persen sebagai kesiapan skuadron itu. ”Tapi sekarang ini kesiapan minimal,” tukasnya.
Walaupun demikian, keamanan menjadi salah satu isu utama di dalam mekanisme yang tidak bisa menoleransi kesalahan ini. Hal ini di antaranya kerap ditegaskan dalam rapat setiap pagi yang dipimpin oleh Komandan Lanud Iswahjudi Marsekal Pertama Bambang Samoedra.
Selain pesawat, sistem senjata juga menyusut. Dua tahun yang lalu, rudal untuk sasaran di udara AIM 9P4 Sidewinder yang hampir habis masa pakainya dipergunakan dalam latihan, demikian juga rudal untuk sasaran di darat AGM 65 Maverick yang dipakai lima tahun yang lalu. ”Sepuluh tahun ke depan masih bisa, tapi memang perlu ditingkatkan lagi,” ungkapnya.
KOMPAS
No comments:
Post a Comment