15 April 2009, Jakarta -- Manajemen maritim nasional perlu ditata ulang. Termasuk upaya penyederhanaan aktor keamanan di laut. Ke depan, cukup hanya dua, yakni Indonesia Coast Guard (Penjaga Pantai) dan TNI AL.
“Tidak seperti sekarang, ada 13 instansi yang berwenang,” kata Alman Helvas Ali dari Forum Kajian Pertahanan dan Maritim saat Seminar “Tantangan Kebijakan Pengelolaan Wilayah Maritim Indonesia” di Jakarta, Selasa (14/4). Meski pemerintah telah membentuk Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang menangani sebagian pengelolaan laut, tak berarti manajemen maritim membaik dibandingkan 10 tahun lalu.
Terbentuknya Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) berdasarkan Peraturan Presiden No 81 Tahun 2005 diharapkan mampu menyelesaikan masalah. Nyatanya tidak bisa berbuat banyak. Alman mengatakan, Bakorkamla yang awalnya bukan dirancang sebagai aktor di lapangan, malah bersikeras menjadi lembaga operasional.
Menurut dia, banyaknya instansi yang ingin berwenang di laut dikarenakan uang melimpah di sana. “Bisa dihitung mana lembaga yang memang habitatnya di laut, mana yang ada karena uang,” katanya.
Direktur Jenderal Perencanaan Pertahanan, Departemen Pertahanan, Laksda Gunadi mengakui pemikiran instansi pemerintah menangani laut masih sektoral. Masing-masing tak ingin wewenangnya dikurangi. “Sebenarnya tugas itu bisa dibebankan pada satu lembaga saja,” kata dia.
Kepemilikan kapal juga menjadi masalah tersendiri. Setiap instansi yang punya kepentingan di laut memiliki kapal patroli. “Padahal tumpang tindih,” kata dia. Indonesia itu negara dengan anggaran terbatas, tapi boros. Gunadi menjelaskan, pemikiran menyatukan lembaga-lembaga yang ada sudah bergulir sejak lama. “Namun, perkembangannya lambat sekali,” katanya.
Pengamat Kelautan Universitas Parahyangan Etty R. Agoes menambahkan, kerap kali antarinstansi berebut bantuan atau hibah dari negara lain. Dia mencontohkan, bantuan Jepang terkait pembentukan penjaga pantai. Jepang menegaskan, tidak membantu militer maupun polisi. Akhirnya, bantuan mengalir ke Bakorkamla yang dianggap sipil.
“Tapi setelah bantuan cair, instansi lain tetap minta bagian,” kata dia. Kondisi ini, kata Etty, terjadi karena ego sektoral. “Padahal, mereka sama-sama lembaga negara yang harusnya satu kesatuan,” kata mantan staf ahli menteri DKP itu.
(JurnalNasional)
No comments:
Post a Comment