KRI Tarihu-829 buatan Fasilitas Pemeliharaan dan Perbaikan (Fasharkan) TNI Angkatan Laut Mentigi, Tanjung Uban. KRI Tarihu-829 memiliki panjang 40 m, lebar 7,3 m, dilengkapi dengan persenjataan meriam kaliber 20 mm dan 12,7 mm. Kapal ini terbuat dari bahan glass fiber reinforced plastic (GFRP)
7 September 2009, Palu, Sulawesi Tengah -- Tentara Nasional Indonesia (TNI) akan menambah jumlah kapal patroli cepat untuk mengintensifkan pengamanan perbatasan laut RI-Filipina.
"Ke depan, kita akan buat sejumlah kapal patroli cepat untuk ditempatkan di wilayah tersebut (perbatasan laut RI-Filipina-red)," kata Panglima TNI Jenderal TNI Djoko Santoso menjawab ANTARA di sela-sela kunjungan kerjanya di Sulawesi Tengah dan Maluku, Senin.
Ia menambahkan, pengadaan kapal-kapal patroli cepat untuk pengamanan perbatasan laut RI-Filipina itu akan mulai diadakan mulai 2010. "Ya kami inginnya ada 100 unit kapal baru, yang sebagian ditempatkan di wilayah perbatasan laut RI-Filipina," kata Djoko.
Panglima TNI mengatakan, kerja sama TNI dan Angkatan Bersenjata Filipina untuk mengamankan wilayah perbatasan laut kedua negara, telah berjalan cukup baik.
"Kami ada forum Joint Border Committe (JBC) yang membahas segala hal yang berkaitan dengan masalah perbatasan kedua negara. Ya...termasuk pengamanan di perbatasan laut dan pelaksanaan patroli bersama," ujarnya.
Sementara itu Panglima Kodam VII/Wirabuana Mayjen TNI Djoko Susilo mengatakan, situasi keamanan di wilayah perbatasan laut RI-Filipina relatif kondusif.
"Tidak ada masalah, semua berjalan aman dan terkendali, unsur-unsur patroli terus bekerja sesuai prosedur yang ditetapkan dan dan disepakati kedua pihak." katanya.
Wilayah perbatasan laut Indonesia dan Filipina minim pengawasan sehingga rentan terhadap penyelundupan dan ancaman terorisme.
Peristiwa terakhir, yaitu pengiriman senjata dari Indonesia yang ditangkap aparat keamanan Filipina, jadi bahan pemberitaan gencar media massa di Indonesia dan Filipina, Sabtu (29/8).
Wilayah perbatasan laut di Maluku Utara dan Sulawesi Utara sejatinya menjadi lintasan tradisional masyarakat perbatasan Indonesia dan Filipina. Kondisi itu dimanfaatkan oleh pihak-pihak tidak bertanggungjjawab yang kerap melakukan gangguan keamanan berupa penyelundupan dan terorisme.
Sumber di Polda Sulawesi Utara menerangkan, pada masa kerusuhan di Maluku dan juga rangkaian aksi bom di Bali dan Jakarta, diketahui sejumlah orang yang diduga teroris kerap melintas di Filipina Selatan dari Balut, Sarangani, General Santos, dan transit di sekitar Talaud seperti di Pulau Marore sebelum melanjutkan perjalanan ke Maluku Utara dan Maluku.
Jarak itu membentang sekitar 550 kilometer atau setara Jakarta-Semarang di Pulau Jawa.
ANTARA News
No comments:
Post a Comment