Berita Pertahanan dan Keamanan, Industri Militer Indonesia dan Dunia, Wilayah Kedaulatan NKRI serta Berita Militer Negara Sahabat
Saturday, September 11, 2010
Mengenal Medan Karst Mako Daerah Latihan Gabungan TNI di Kaliorang Sangatta
Oleh Kepala Topdam VI/Mlw Letnan Kolonel Ctp NRP 32561 Drs. Ibnu Fatah, M.Sc.
Latar Belakang
Baru-baru ini Panglima TNI Jenderal TNI Joko Santosa telah meresmikan Mako Daerah Latihan Gabungan (Rahlatgab) TNI di daerah Kaliorang Sangatta Kaltim (20/9). Daerah latihan tersebut terletak di pantai timur Pulau Kalimantan seluas 27.000 hektar yang sebagian besar merupakan daerah bentang alam karst atau batuan kapur, bagian dari Pegunungan Kapur Sangkulirang. Terkait dengan itu, maka dipandang perlu bagi para prajurit untuk mengenal sedikit tentang bentang alam karst sebagai bagian dari aspek penguasaan medan. Harapannya adalah agar para prajurit TNI, terutama unsur Komandan Satuan dapat mendayagunakan semaksimal mungkin ketika berlatih dan menggunakan daerah latihan tersebut.
Di lingkungan militer, pengenalan medan merupakan langkah penting dalam operasi militer, termasuk juga ketika melaksanakan latihan. Begitu pun dengan strategi dan taktik operasi militer di wilayah Indonesia, dipastikan memerlukan penguasaan medan yang memadai. Salah satu medan yang terdapat di wilayah teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah bentang alam karst (batuan kapur). Mengingat bentang alam karst tersebar hampir di seluruh kepulauan Indonesia, pemahaman tentang bentang alam karst bagi seorang prajurit, TNI dan terutama unsur Komandan Satuan, sangat diperlukan.
Secara khusus bentang alam karst perlu dipahami mengingat bentang alam ini merupakan bentang alam yang unik yang berbeda dengan bentang alam lainya. Secara morfologi bentang alam karst dicirikan dengan keberadaan bukit-bukit dan gua kapur. Tulisan ini mencoba memberikan gambaran karakteristik medan bentang alam karst seperti halnya di Daerah Latihan Gabungan TNI Kaliorang Sangatta Kaltim. Diharapkan informasi tersebut dapat digunakan untuk kepentingan selama melaksanakan latihan rutin ataupun ketika misalnya sedang melaksanakan operasi militer di daerah batuan kapur pada umumnya.
Bentang Alam Karst
Menurut Ford dan William (2007), karst merupakan istilah dalam ilmu kebumian yang diartikan sebagai medan dengan karakteristik bentuklahan dan hidrologi (system perairan) spesifik, yang berkembang di batuan mudah larut dan mempunyai porositas sekunder yang besar (daya meloloskan air). Batuan yang dapat berkembang menjadi bentang alam karst adalah batugampingan (batugamping, dolomit, marmer), batugaram, dan gipsum. Namun demikian, sebagian karst ditemukan di kawasan berbatuan karbonat (gampingan), karena singkapan batuan karbonat lebih luas dibandingkan dengan batuan mudah larut lainnya.
Ciri morfologi dari bentang alam karst adalah adalah terdapatnya cekungan-cekungan tertutup (doline, uvala), gua, lembah buta, lembah kering, dan bukit sisa yang berbentuk kerucut atau menara. Ciri-ciri spesifik dari kondisi hidrologi karst adalah terdapatnya jaringan sungai bawah tanah, telaga, langkanya atau tidak terdapatnya sungai permukaan, dan terdapatnya mataair yang besar (Sweeting, 1972; Trudgill, 1985; White, 1985; Ford dan Williams, 1989; Gielison, 1996).
Bentang alam karst dapat dijumpai di hampir semua kepulauan di wilayan NKRI. Sebaran kawasan karst terbesar terdapat di Papua dan kepulauan di sekitarnya. Namun demikian jika dilihat dari persentasenya, luasan bentang alam karst terbesar terdapat di kepulauan Maluku yang mencapai 11,89%, sedangkan Pulau Sumatera memiliki bentang alam karst terkecil. Di Kalimantan bentang alam karst tersebar di sebelah timur dan timur laut dari Pulau Kalimantan, membentang dari Kab. Bulungan hingga Kab. Tanah Laut. Mencakup luasan sekitar 155898.6 atau (3.11% wilayah Kalimantan). Sebaran kawasan karst di wilayah NKRI ditunjukkan pada Gambar 1 di bawah ini.
Kabupaten di wilayah Kodam VI/Mlw yang memiliki kandungan Bentang alam karst adalah Kab. Bulungan, Berau, Kutai Timur, Barito Utara, Barito Selatan, Kapuas, Tabalong, Pasir, Hulu Sungai Selatan, Tapin, Banjar, Kota Baru, dan Tanah Laut.
Tinjauan Aspek Militer
Dalam sejarah militer, dicatat bahwa bentang alam karst telah dipilih dan dimanfaatkan sebagai medan tempur yang strategis. Setidak-tidaknya pengalaman selama Perang Dunia Pertama, tentara Austro-Hungaria pada saat itu telah mengambil keuntungan dari keberadaan gua di bentang alam karst Soca River. Begitu juga dengan tentara Italia yang menggunakan lembah kering untuk akses serangan. Bagi Indonesia, kita masih ingat dengan perang gerilya Pangsar Jenderal Sudirman yang mengambil tempat di wilayah pegunungan kapur selatan Pulau Jawa yang lebih dikenal dengan nama Gunung Seribu (Bahasa Jawa : Gunung Sewu).
Pasca Perang Dunia ketika kita melihat sejumlah peperangan kontemporer, sekali lagi menegaskan bahwa bentang alam karst masih menjadi salah satu pilihan untuk dijadikan medan tempur. Sulitnya tentara Amerika mengalahkan gerilyawan Al-Qaeda di Afganistan timur juga disebabkan karena gerilyawan Al-Qaeda memanfaatkan jaringan gua yang ada di bentang alam karst (Zecevic dan Jugwirth, 2007) untuk persembunyian sekaligus serangan. Peperangan di timur tengah pun tidak lepas dari strategi penguasaan sumberdaya air di bentang alam karst.
Kenampakan khas yang mencirikan bentang alam karst atau batuan kapur yang berpengaruh pada pertimbangan taktis dan teknis militer antara lain adanya gua-gua kapur sebagai tempat perlindungan, bukit-bukit kapur berbentuk menara atau kerucut, langkanya sumber air permukaan serta adanya lembah kering sebagai akses/jalan pendekat. Berikut ini penjelasan singkat tentang karakteristik tersebut.
Gua-gua Kapur
Keberadaan gua-gua kapur sebagai tempat perlindungan. Ciri morfologi bentang alam karst yang paling mudah dikenali adalah keberadaan gua. Gua merupakan hasil dari proses pelarutan batugamping sepanjang kekar (retakan batuan), bidang perlapisan batuan, dan mintakat (zone) dekat muka air tanah. Gua dapat dijumpai dalam berbagai bentuk dan ukuran. Bentuk lorong bervariasi dari mendatar, miring, hingga vertikal. Besar lorong pada umumnya sangat bervariasi. Mulut gua yang sempit tidak berarti mengindikasikan lorong gua yang sempit. Sangat sering dijumpai di lapangan, ruangan-ruangan gua yang besar (chamber) ditemukan pada gua yang mempunyai mulut yang sempit. Ruangan gua terluas yang sudah diketahui saat ini dijumpai di Sarawak (Lubang Nasib Bagus) yang mencapai luasan 28 ha atau kurang lebih 28 kali lapangan bola. Gua-gua kapur di daerah latihan gabungan TNI Kaliorang Sangatta Kaltim oleh penduduk setempat dikenal dengan nama liang, salah satunya yang terkenal adalah Liang Pe Malawan.
Gua merupakan persembunyian dan tempat perlindungan yang paling ideal dalam taktik gerilya. Keberadaan gua sering tidak dapat dikenali dari permukaan karena tertutup oleh vegetasi dan pepohonan yang lebat. Ruang gua sering berukuran sangat besar yang dapat menampung satu regu maupun satu kompi. Gua juga dapat saling berhubungan satu dengan yang lain, bahkan tembus dari satu mulut gua ke mulut gua yang lain. Di beberapa tempat, lorong gua juga memiliki sumber air dalam bentuk genangan (static pool) maupun aliran sungai bawah tanah. Static pool merupakan akumulasi air yang berasal perkolasi atau tetesan air dari atap gua. Contoh pemanfaatan gua untuk kepentingan perang ditunjukkan pada Gambar 3.
Bukit Kapur dan Medan Terbuka
Bukit-bukit kapur sebagai medan kritik. Ciri morfologi kedua yang sering dijumpai di bentang alam karst adalah bukit-bukit karst yang berbentuk kerucut atau menara. Bukit-bukit karst merupakan bagian batugamping yang belum terlarut (terkikis). Bukit-bukit di lapangan terlihat sambung-menyambung dan sangat rapat. Karena keterdapatan bukit yang rapat dan jumlah yang sangat banyak inilah, kawasan karst di beberapa daerah di Indonesia disebut dengan Gunung Seribu (Jawa : Gunung Sewu). Jika diamati dari foto udara, bukit-bukit karst pada umumnya berjajar atau melingkar mengelilingi lembah kering atau cekungan tertutup.
Medan yang terbuka relatif luas diperlukan dalam operasi militer untuk kepentingan Pos Komando Utama maupun penempatan Patobrig. Medan yang relarif luas di bentang alam karst pada umumnya berupa polje. Polje merupakan dataran di bentang alam karst yang salah satu atau kedua sisinya dibatasi oleh tebing terjal (Ford dan Williams, 2009). Di sisi-sisi tebing terjal di sisi polje pada umumnya juga terdapat pemunculan mataair atau tempat masuknya sungai permukaan ke dalam jarigan sungai bawah tanah. Polje pada umumnya mempunyai material dasar endapan aluvium, yaitu endapan hasil erosi tanah dari lereng-lereng perbukitan di sekitarnya. Air tanah di poje pada umumnya dangkal . Polje dapat dijumpai di pinggiran kawasan karst maupun di tengah-tengah kawasan karst.
Medan terbuka dengan ukuran yang lebih kecil di bentang alam karst adalah uvala. Uvala merupakan gabungan dari doline-doline. Diameter uvala dapat mencapai satu kilometer. Jika polje pada umumnya berbentuk dataran yang memanjang, uvala di daerah tropis pada umumnya berbentuk seperti bintang (tampak atas). Dasar uvala pada umumnya merupakan tempat akumulasi sedimen hasil erosi dari perbukitan di sekitarnya. Permukaan tanah relatif datar, ketebalan tanah dapat mencapai lebih dari dua meter.
Keterdapatan Sumber Air
Ciri ketiga adalah secara hidrologis bentang alam karst menampakkan langkanya sumber air permukaan. Sebagian besar air berada di bawah tanah sebagai sungai bawah tanah. Sungai permukaan jarang dijumpai di bentang alam karst. Langkanya air permukaan di bentang alam karst disebabkan oleh rongga-rongga hasil perlarutan membentuk porositas sekunder. Rongga-rongga hasil pelarutan dapat dikenali di lapangan dengan mudah melalui keberadaan singkapan batuan yang berlubang-lubang. Di dasar cekungan tertutup rongga-rongga pelarutan dapat berdiamater lebih dari satu meter membentuk gua vertikal. Rongga-rongga pelarutan tersebut merupakan tempat masuknya aliran permukaan ke dalam jaringan sungai bawah tanah. Persentase air hujan yang tertinggal sebagai aliran permukaan (koofisien runoff) di bentang alam karst hanya berkisar antara 5 hingga 28 persen (MacDonald, 1983; Setyahadi, 2003).
Mata air dijumpai sebagai pemunculan sungai bawah tanah ke permukaan. Pemunculan mataair di bentang alam karst sering berasosiasi dengan lembah kering (Haryono dkk, 2005; Kusumayuda dan Zen, 2000; Kresic, 1995; Parizek, 1976). Hal ini dikarenakan lembah kering di bentang alam karst terkontrol oleh struktur geologi yang berupa sesar atau kekar. Peluang terbesar ditemukan mataair pada umumnya di ujung-ujung lembah kering yang paling lebar dan panjang. Sumber air di bentang alam karst juga dapat dijumpai di mataair-mata air epikarst, yaitu mata air yang muncul di mintakat dekat permukaan dari bentang alam karst. Matair ini muncul di lereng-lereng atas perbukitan karst. Mataair ini bukan merupakan pemunculan sungai bawah tanah, tetapi hanya pemuculan pada bidang-bidang perlapisan, sehingga mataair ini pada umumnya mempunyai debit yang kecil dengan kualitas air yang baik. Mataair tipe ini sulit diidentifikasi dari citra penginderaan jauh.
Sumber air permukaan yang dapat dijumpai di bentang alam karst adalah telaga. Telaga terbentuk di dasar-dasar doline. Air telaga sebagian besar mempunyai kualitas air kelas III yang tidak dapat digunakan untuk bahan baku air minum. Air telaga pada umumnya sangat keruh, terutama pada saat musim penghujan. Namun demikian pada kondisi darurat air telaga dapat digunakan dengan terlebih dahulu mengendapkan material tersuspensi dengan cara mendiamkan lebih dari 24 jam.
Lembah Kering
Ciri morfologi terakhir bentang alam karst adalah adanya lembah-lembah kering sebagai jalan pendekat. Lembah dan cekungan tertutup dihasilkan oleh proses pelarutan yang lebih intensif dari daerah sekelilingnya. Lembah-lembah karst pada umumnya tidak berair. Lembah yang tidak pernah berair ini dikenal dengan sebutan lembah kering. Di beberapa tempat, lembah karst hanya dialiri air pada saat hujan. Aliran air kemudian masuk ke dalam gua dan menghilang ke sistem jaringan sungai bawah tanah. Sungai-sungai bawah tanah di kawasan karst terkadang muncul kembali di permukaan.
Mobilisasi perlatan tempur ataupun gerilya di bentang alam karst pada umumnya sangat berat. Hal ini disebabkan oleh sedikitnya medan yang datar, sehingga melintas di bentang alam karst harus naik turun bukit yang sambung menyambung. Kondisi ini menyulitkan pergerakan peralatan perang angkatan darat. Medan yang paling mudah dilewati di bentang alam karst adalah lembah kering. Lembah kering dalam terminologi ilmu kebumian sering disebut dengan koridor, karena lembah kering dapat menghubungkan tempat satu dengan lainya. Dasar lembah kering pada umumnya datas atau landai. Pada kondisi terbuka (tidak berhutan), lembah kering dapat dilalui oleh semua kendaraan militer.
Penutup
Karakteristik medan untuk kepentingan operasi militer dalam tulisan ini hanya memberikan ciri umum yang pada umumnya dijumpai di bentang alam karst. Variasi karakteristik medan antara kawasan karst satu dengan yang lainnya dipatikan akan selalu dijumpai di lapangan. Karakteristik medan yang penting harus diperhitungkan dalam operasi militer di bentang alam karst terutama adalah langkanya air permukaan, keberadaan gua untuk kepentingan lindung, bukit-bukit kapur sebagai medan kritik dan keberadaan lembah kering untuk akses utama.
Navy to Christen USNS Washington Chambers
USNS Washington Chambers (T-AKE 11). (Photo: meetup.com)
10 September 2010, WASHINGTON (NNS) -- The Navy will christen and launch the dry cargo/ammunition ship USNS Washington Chambers (T-AKE 11), Sept. 11 during a 10 a.m. PDT ceremony at the General Dynamics NASSCO shipyard in San Diego.
The ship is named to honor naval aviation pioneer Capt. Washington Chambers.
Rear Adm. Richard J. O'Hanlon, commander, Naval Air Force Atlantic, will deliver the ceremony's principal address.
Loretta Penn, wife of former Assistant Secretary of the Navy for Installations and Environment and former Acting Secretary of the Navy, B.J. Penn, is the sponsor, and in accordance with Navy tradition, will break a bottle of champagne across the bow to formally christen the ship.
Continuing the Lewis and Clark-class tradition of honoring legendary pioneers and explorers, the Navy's newest underway replenishment ship recognizes Chambers for his major role in the early development of naval aviation. Responsible for the Navy's emerging aviation activities, Chambers arranged the world's first airplane flight from a warship. The Nov. 14, 1910, flight by aviator Eugene Ely on the light cruiser USS Birmingham (CL 2) confirmed the potential of carrier-based naval aviation.
Designated T-AKE 11, Washington Chambers is the 11th ship of the 14-ship class. As a combat logistics force ship, Washington Chambers will help the Navy maintain a worldwide forward presence by delivering ammunition, food, fuel and other dry cargo to U.S. and allied ships at sea.
T-AKE 11 is the first Navy ship named after Chambers. As part of Military Sealift Command's Naval Fleet Auxiliary Force, Washington Chambers is designated as a U.S. naval ship and will be crewed by 129 civil service mariners and 11 Navy sailors. The ship is designed to operate independently for extended periods at sea and can carry two helicopters. The ship is 689 feet in length, has an overall beam of 106 feet, has a navigational draft of 30 feet, displaces approximately 42,000 tons and is capable of reaching a speed of 20 knots using a single-shaft, diesel-electric propulsion system.
US DoD
10 September 2010, WASHINGTON (NNS) -- The Navy will christen and launch the dry cargo/ammunition ship USNS Washington Chambers (T-AKE 11), Sept. 11 during a 10 a.m. PDT ceremony at the General Dynamics NASSCO shipyard in San Diego.
The ship is named to honor naval aviation pioneer Capt. Washington Chambers.
Rear Adm. Richard J. O'Hanlon, commander, Naval Air Force Atlantic, will deliver the ceremony's principal address.
Loretta Penn, wife of former Assistant Secretary of the Navy for Installations and Environment and former Acting Secretary of the Navy, B.J. Penn, is the sponsor, and in accordance with Navy tradition, will break a bottle of champagne across the bow to formally christen the ship.
Continuing the Lewis and Clark-class tradition of honoring legendary pioneers and explorers, the Navy's newest underway replenishment ship recognizes Chambers for his major role in the early development of naval aviation. Responsible for the Navy's emerging aviation activities, Chambers arranged the world's first airplane flight from a warship. The Nov. 14, 1910, flight by aviator Eugene Ely on the light cruiser USS Birmingham (CL 2) confirmed the potential of carrier-based naval aviation.
Designated T-AKE 11, Washington Chambers is the 11th ship of the 14-ship class. As a combat logistics force ship, Washington Chambers will help the Navy maintain a worldwide forward presence by delivering ammunition, food, fuel and other dry cargo to U.S. and allied ships at sea.
T-AKE 11 is the first Navy ship named after Chambers. As part of Military Sealift Command's Naval Fleet Auxiliary Force, Washington Chambers is designated as a U.S. naval ship and will be crewed by 129 civil service mariners and 11 Navy sailors. The ship is designed to operate independently for extended periods at sea and can carry two helicopters. The ship is 689 feet in length, has an overall beam of 106 feet, has a navigational draft of 30 feet, displaces approximately 42,000 tons and is capable of reaching a speed of 20 knots using a single-shaft, diesel-electric propulsion system.
US DoD
Singapore and Australian Navies Complete Joint Maritime Exercise
Rockingham-based Anzac class frigate HMAS Arunta departs Fleet Base West, Garden Island, to take part in international maritime exercise 'KAKADU'. (Photo: Australia DoD)
10 September 2010 -- Australian and Singaporean Navies have concluded Exercise SINGAROO 10, an annual maritime activity that cultivates bilateral ties between the two nations.
Building upon the recent success of Exercise KAKADU 10, the Royal Australian Navy and Republic of Singapore Navy practiced maritime surveillance, air defence, anti-submarine warfare and defence against small boat threats during the week long exercise.
Royal Australian Navy ANZAC class frigates, HMAS Arunta with a S70B Seahawk helicopter embarked and HMAS Toowoomba, Auxiliary Oiler HMAS Success with an AS350BA Squirrel helicopter embarked, and Collins class submarine HMAS Dechaineux took part in SINGAROO 10. Republic of Singapore Navy, Formidable class frigate RSS Tenacious and Victory Class Corvette RSS Vigour together with a Fokker 50 Maritime Patrol Aircraft detachment also participated.
Royal Australian Air Force assets enhanced training outcomes with an AP-3C Aircraft from 92 Wing, three F-111 from 82 Wing and four Hawk Fighter Trainers from 78 Wing.
“Exercise SINGAROO is an important exercise in the annual calendar, strengthening professional ties, mutual understanding and improved interoperability at sea and in the air,” said the Royal Australian Navy SINGAROO 10 Exercise Director, Captain John Vandyke.
“By maintaining close and friendly defence ties, Australia and Singapore contribute to the stability of the region and develop our ability to work together in real-world operations,” said CAPT Vandyke.
“The Republic of Singapore Navy and the Royal Australian Navy regularly engage in a wide range of activities, which include bilateral and multilateral exercises as well as professional exchanges. These extensive interactions have strengthened mutual understanding and professional ties between the personnel of both navies.
The exercise marked the fourteenth iteration of the SINGAROO series.
Australia DoD
10 September 2010 -- Australian and Singaporean Navies have concluded Exercise SINGAROO 10, an annual maritime activity that cultivates bilateral ties between the two nations.
Building upon the recent success of Exercise KAKADU 10, the Royal Australian Navy and Republic of Singapore Navy practiced maritime surveillance, air defence, anti-submarine warfare and defence against small boat threats during the week long exercise.
Royal Australian Navy ANZAC class frigates, HMAS Arunta with a S70B Seahawk helicopter embarked and HMAS Toowoomba, Auxiliary Oiler HMAS Success with an AS350BA Squirrel helicopter embarked, and Collins class submarine HMAS Dechaineux took part in SINGAROO 10. Republic of Singapore Navy, Formidable class frigate RSS Tenacious and Victory Class Corvette RSS Vigour together with a Fokker 50 Maritime Patrol Aircraft detachment also participated.
Royal Australian Air Force assets enhanced training outcomes with an AP-3C Aircraft from 92 Wing, three F-111 from 82 Wing and four Hawk Fighter Trainers from 78 Wing.
“Exercise SINGAROO is an important exercise in the annual calendar, strengthening professional ties, mutual understanding and improved interoperability at sea and in the air,” said the Royal Australian Navy SINGAROO 10 Exercise Director, Captain John Vandyke.
“By maintaining close and friendly defence ties, Australia and Singapore contribute to the stability of the region and develop our ability to work together in real-world operations,” said CAPT Vandyke.
“The Republic of Singapore Navy and the Royal Australian Navy regularly engage in a wide range of activities, which include bilateral and multilateral exercises as well as professional exchanges. These extensive interactions have strengthened mutual understanding and professional ties between the personnel of both navies.
The exercise marked the fourteenth iteration of the SINGAROO series.
Australia DoD
Upgraded Aegis Weapon Systems Proven Operational on Two U.S. Navy Cruisers
USS Philippine Sea. (Photo: USN)
10 September 2010, MOORESTOWN, N.J. -- The U.S. Navy, supported by Lockheed Martin (NYSE: LMT), successfully completed Combat System Ship Qualification Trials for upgraded Aegis Combat Systems installed aboard two Navy ships.
The Navy determined that the Aegis Combat Systems aboard the cruisers USS Mobile Bay and USS Philippine Sea are fully operational. As part of the cruiser modernization program, the computer suites on these ships were upgraded with enhanced technical data collection capability and radar data display systems, as well as a new digital fire control interface between the anti-submarine warfare control system and the vertical launch system.
During the trials, the ships' Aegis Combat Systems were evaluated for combat-readiness through comprehensive surface, subsurface and anti-air warfare exercises. These included manned raids and electronic attack scenarios, as well as thorough testing of the systems' tactical data link and air defense capabilities.
"Lockheed Martin continues its legacy of working with the Navy to evolve the Aegis system,” said Jeff Bantle, Lockheed Martin’s vice president of Surface-Sea Based Missile Defense Systems. “We take great pride in our partnership as the Aegis Platform System Engineering Agent and look forward to using our experience to increase program affordability.”
The Aegis Weapon System includes the SPY-1 radar, the Navy's most advanced radar system. When paired with the MK 41 Vertical Launching System, it is capable of delivering missiles for every mission and threat environment in naval warfare.
The Aegis Weapon System is deployed on 93 ships around the globe. Aegis is the weapon system of choice for Australia, Japan, Norway, the Republic of Korea and Spain. Aegis-equipped ships have more than 1,200 years of at-sea operational experience and have launched more than 3,800 missiles in tests and actual operations.
The USS Mobile Bay and the USS Philippine Sea are both Ticonderoga-class guided-missile cruisers.
Headquartered in Bethesda, Md., Lockheed Martin is a global security company that employs about 136,000 people worldwide and is principally engaged in the research, design, development, manufacture, integration and sustainment of advanced technology systems, products and services. The Corporation’s 2009 sales from continuing operations were $44.5 billion.
Lockheed Martin
10 September 2010, MOORESTOWN, N.J. -- The U.S. Navy, supported by Lockheed Martin (NYSE: LMT), successfully completed Combat System Ship Qualification Trials for upgraded Aegis Combat Systems installed aboard two Navy ships.
The Navy determined that the Aegis Combat Systems aboard the cruisers USS Mobile Bay and USS Philippine Sea are fully operational. As part of the cruiser modernization program, the computer suites on these ships were upgraded with enhanced technical data collection capability and radar data display systems, as well as a new digital fire control interface between the anti-submarine warfare control system and the vertical launch system.
During the trials, the ships' Aegis Combat Systems were evaluated for combat-readiness through comprehensive surface, subsurface and anti-air warfare exercises. These included manned raids and electronic attack scenarios, as well as thorough testing of the systems' tactical data link and air defense capabilities.
"Lockheed Martin continues its legacy of working with the Navy to evolve the Aegis system,” said Jeff Bantle, Lockheed Martin’s vice president of Surface-Sea Based Missile Defense Systems. “We take great pride in our partnership as the Aegis Platform System Engineering Agent and look forward to using our experience to increase program affordability.”
The Aegis Weapon System includes the SPY-1 radar, the Navy's most advanced radar system. When paired with the MK 41 Vertical Launching System, it is capable of delivering missiles for every mission and threat environment in naval warfare.
The Aegis Weapon System is deployed on 93 ships around the globe. Aegis is the weapon system of choice for Australia, Japan, Norway, the Republic of Korea and Spain. Aegis-equipped ships have more than 1,200 years of at-sea operational experience and have launched more than 3,800 missiles in tests and actual operations.
The USS Mobile Bay and the USS Philippine Sea are both Ticonderoga-class guided-missile cruisers.
Headquartered in Bethesda, Md., Lockheed Martin is a global security company that employs about 136,000 people worldwide and is principally engaged in the research, design, development, manufacture, integration and sustainment of advanced technology systems, products and services. The Corporation’s 2009 sales from continuing operations were $44.5 billion.
Lockheed Martin
Friday, September 10, 2010
Dua Sukhoi Tiba di Makassar
10 September, Makassar -- Dua pesawat tempur Sukhoi SU-27 SKM dari Rusia tiba di Pangkalan Udara Sultan Hasanuddin Makassar. Satu pesawat sejenis akan menyusul tiba pada bulan ini untuk memperkuat TNI AU.
Kepala Penerangan Lanud TNI AU Sultan Hasanuddin Makassar, Mayor Mulyadi, di Makassar, Jumat, mengatakan, pesawat tempur Sukhoi tersebut melengkapi Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista) Lanud Sultan Hasanuddin Makassar.
"Pada tahun ini, sebanyak tiga unit pesawat Sukhoi yang dipesan dari Rusia. Satu unit lagi akan menyusul pada bulan ini," tuturnya.
Ia menambahkan, ketiga pesawat canggih tersebut akan memperkuat Skuadron Udara 11 Lanud Sultan Hasanuddin.
Lanud Sultan Hasanuddin sendiri merupakan home base pesawat tempur SU-27 SKM dan SU-30 MK2 buatan Komsomolsk Amure Arcraft Production Association (KNAPO).
Menurutnya, dengan tambahan pesawat tersebut, enam pesawat Sukhoi pesanan TNI AU sudah lengka., Sebelumnya Sukhoi jenis SU-30 MK2 tiba secara bertahap pada Desember 2008 dan Januari 2009.
Tiga tambahan pesawat tersebut belum dilengkapi dengan persenjataan, karena paket pembelian pesawat berbeda dengan pembelian senjata.
"Dengan tambahan tiga unit pesawat tersebut, TNI AU memiliki sebanyak 10 unit pesawat tempur Sukhoi," ungkapnya.
Pesawat Sukhoi tersebut akan menggantikan peran pesawat A-4 Sky yang berada di Skuadron Udara 11 Lanud Hasanuddin.
Pesawat Antonov AN-124-100 yang mengangkut pesawat tempur Sukhoi, tiba di Lanud Sultan Hasanuddin Makassar pada pukul 10.00 WITA dengan didampingi oleh tim personel dari Rusia sebanyak 40 orang.
ANTARA News
Thursday, September 9, 2010
HMS Ocean on Amphibious Exercise with Brazilian Marines
The Royal Navy’s amphibious helicopter carrier HMS Ocean will arrive in Rio De Janeiro on Thursday (9 September) to take part in an amphibious exercise with the Brazilian Navy and Marines and to conduct high profile diplomatic engagements.
Brazilian Marines from the 3rd Infantry Battalion, Amphibious Division, will join HMS Ocean and the Royal Marines of 539 Assault Squadron for a three-day training exercise. They will be practising amphibious drills and sharing experiences from recent operations. Meanwhile, sailors from the Brazilian warship BNS Rio De Janeiro will also embark on board HMS Ocean to build continue to build understanding and co-operation between the two navies.
HMS Ocean will then return to Rio De Janeiro to host a UK Trade and Industry exhibition, a reception for local dignitaries and a bi-lateral security seminar culminating in the signing of a UK/Brazil Defence Cooperation Agreement and a formal dinner for 150 guests onboard. The seminar will be attended by Gerald Howarth, the British Minister for International Security Strategy, who will sign the agreement on behalf of the British Government and host the dinner. During the week in Rio sailors and Royal Marines from the ship will help community projects.
Captain Keith Blount Royal Navy, HMS Ocean's Commanding Officer, said:
"This visit to Rio is very important for the Royal Navy and we are extremely proud to be working alongside the Brazilian Navy and marines, enhancing our ability to operate together anywhere in the world while also demonstrating the UK’s commitment to the region.
“Our ability to engage and work with other navies and maritime agencies worldwide is an essential part of what navies do and is vital in conflict prevention and building trust. We are looking forward to supporting Britain’s trade and industry and feel privileged to be hosting such an important security seminar and dinner. And of course, our sailors are absolutely thrilled to have the opportunity to visit such a wonderful city."
HMS Ocean’s versatility has been fully exploited since leaving the UK three months ago. The ship has just completed a maritime and security patrol in the Caribbean after a major exercise with the US Navy off North Carolina.
Royal Navy
Sukhoi Batal Didatangkan di Makassar
09 September 2010, Makassar -- Pesawat Sukhoi yang direncanakan didatangkan dari Rusia ke Pangkalan Udara Hasanuddin Makassar pada hari Kamis (9/9/2010), batal dilakukan.
Kepala Penerangan Lanud Hasanuddin Makassar, Mayor Mulyadi, di Makassar, Kamis, mengatakan, jumlah pesawat yang direncakanakan tiba adalah sebanyak dua unit. Sedangkan satu unit pesawat lainnya direncanakan akan tiba pada tanggal 15 September mendatang.
Ketiga unit pesawat Sukhoi tersebut akan didampingi oleh pesawat pengangkut Antonov dari Rusia. Sampai saat ini alasan batalnya pendaratan pesawat Sukhoi di Makassar belum diketahui.
Mulyadi menambahkan, belum diketahui dengan pasti jadwal kedatangan pesawat tersebut di Pangakalan Udara Hasanuddin Makassar. "Sebenarnya, program penambahan pesawat Sukhoi ini dilakukan pada bulan Desember mendatang, namun dimajukan," ungkapnya.
Rencananya tiga unit pesawat Sukhoi ini akan mendarat secara bersamaan. Tiga tambahan pesawat tersebut belum dilengkapi dengan persenjataan, karena paket pembelian pesawat berbeda dengan pembelian senjata.
Pesawat Sukhoi tersebut akan menggantikan peran pesawat A-4 Sky yang berada di Skuadron Udara 11 Lanud Hasanuddin. Dengan tambahan tiga unit pesawat tersebut, TNI AU memiliki sebanyak 10 unit pesawat Sukhoi.
KOMPAS.com
Anggota DPR: Hati-hati dengan Skenario Malaysia
Pembebasan 5 nelayan Indonesia itu menyusul surat permintaan bebas dari KBRI Kuala Lumpur yang telah diserahkan kepada penuntut umum. (Foto: M.Riza Damanik)
09 September 2010, Jakarta -- Anggota Komisi I DPR RI Paskalis Kossay mengingatkan pemerintah untuk mewaspadai dan berhati-hati dengan munculnya manuver atau skenario Malaysia terkait perundingan lanjutan mengenai tapal batas kedua negara.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar itu di Jakarta Kamis mengemukakan, Malaysia berhasil menekan Indonesia dalam perundingan di Kota Kinabalu, Malaysia pekan lalu.
"Secara umum kami menilai, delegasi Indonesia gagal menaikkan posisi tawar kita, sehingga segala sesuatu berjalan sesuai skenario pihak Malaysia," ujarnya kepada ANTARA.
Dia menunjuk contoh harapan publik agar Malaysia meminta maaf atas penangkapan tiga petugas Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) oleh Polisi Air Malaysia, ternyata tidak bisa dikabulkan Menlu Malaysia.
"Sebaliknya, Menlu kitalah yang mengeluarkan pernyataan bahwa RI menyesalkan perbuatan itu. Yang mesti menyesal dan minta maaf mestinya Malaysia. Kita wajib marah dan minta mereka bertanggungjawab, bukan dibalik," kata anggota komisi yang membidangi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, dan intelijen negara itu.
Paskalis Kossay juga tidak menyangka Menlu Marty Natalegawa dengan gaya bahasanya yang berlevel diplomasi tingkat tinggi, mengatakan delegasi RI berhasil mendapatkan keuntungan dari perundingan di Kota Kinabalu.
"Misalnya dengan adanya keinginan Malaysia untuk mempercepat berbagai perundingan tapal batas dan lain sebagainya, malah dalam tempo empat bulan ke depan ada empat kali pertemuan. Itu bukan kemajuan. Karena ini, baru berdasarkan keinginan Malaysia. Kita tidak tahu apa yang akan mereka ajukan lagi pada empat pertemuan itu," ujarnya.
Paskalis Kossay berkesimpulan bahwa, perundingan RI-Malaysia di Kota Kinabalu, 6 September 2010 tidak menghasilkan solusi yang tepat sesuai harapan Negara, terutama menyangkut penyelesaian masalah perbatasan kedua negara.
"Malah pihak Malaysia berhasil menekan Indonesia dengan menaikkan posisi tawar negeri jiran itu dengan berbagai dalih. Antara lain dengan terlebih dulu berhasil mengangkat sejumlah kelemahan Indonesia, seperti mau dihukum matinya ratusan WNI di sana dan mereka menawarkan bantuan hukum atau grasi," katanya.
Artinya, demikian Paskalis Kossay, diplomat RI perlu pencerahan lagi mengenai tujuan Negara RI sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 dan harus bisa menyerap aspirasi publik yang merasa kedaulatan serta martabatnya terinjak-injak.
ANTARA News
09 September 2010, Jakarta -- Anggota Komisi I DPR RI Paskalis Kossay mengingatkan pemerintah untuk mewaspadai dan berhati-hati dengan munculnya manuver atau skenario Malaysia terkait perundingan lanjutan mengenai tapal batas kedua negara.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar itu di Jakarta Kamis mengemukakan, Malaysia berhasil menekan Indonesia dalam perundingan di Kota Kinabalu, Malaysia pekan lalu.
"Secara umum kami menilai, delegasi Indonesia gagal menaikkan posisi tawar kita, sehingga segala sesuatu berjalan sesuai skenario pihak Malaysia," ujarnya kepada ANTARA.
Dia menunjuk contoh harapan publik agar Malaysia meminta maaf atas penangkapan tiga petugas Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) oleh Polisi Air Malaysia, ternyata tidak bisa dikabulkan Menlu Malaysia.
"Sebaliknya, Menlu kitalah yang mengeluarkan pernyataan bahwa RI menyesalkan perbuatan itu. Yang mesti menyesal dan minta maaf mestinya Malaysia. Kita wajib marah dan minta mereka bertanggungjawab, bukan dibalik," kata anggota komisi yang membidangi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, dan intelijen negara itu.
Paskalis Kossay juga tidak menyangka Menlu Marty Natalegawa dengan gaya bahasanya yang berlevel diplomasi tingkat tinggi, mengatakan delegasi RI berhasil mendapatkan keuntungan dari perundingan di Kota Kinabalu.
"Misalnya dengan adanya keinginan Malaysia untuk mempercepat berbagai perundingan tapal batas dan lain sebagainya, malah dalam tempo empat bulan ke depan ada empat kali pertemuan. Itu bukan kemajuan. Karena ini, baru berdasarkan keinginan Malaysia. Kita tidak tahu apa yang akan mereka ajukan lagi pada empat pertemuan itu," ujarnya.
Paskalis Kossay berkesimpulan bahwa, perundingan RI-Malaysia di Kota Kinabalu, 6 September 2010 tidak menghasilkan solusi yang tepat sesuai harapan Negara, terutama menyangkut penyelesaian masalah perbatasan kedua negara.
"Malah pihak Malaysia berhasil menekan Indonesia dengan menaikkan posisi tawar negeri jiran itu dengan berbagai dalih. Antara lain dengan terlebih dulu berhasil mengangkat sejumlah kelemahan Indonesia, seperti mau dihukum matinya ratusan WNI di sana dan mereka menawarkan bantuan hukum atau grasi," katanya.
Artinya, demikian Paskalis Kossay, diplomat RI perlu pencerahan lagi mengenai tujuan Negara RI sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 dan harus bisa menyerap aspirasi publik yang merasa kedaulatan serta martabatnya terinjak-injak.
ANTARA News
Danjen Kopassus Tutup Kursus Sustih Para dan Para Dasar
08 September 2010 -- Bertempat di Pusdikpassus Batujajar, Bandung, Selasa (7/09) Danjen Kopassus Mayjen TNI Lodewijk F. Paulus, menutup pelaksanaan pendidikan kursus para dasar Akademi militer tingkat III/Sermadatar. Latihan yang merupakan bagian dari Rencana Kerja Akmil TA. 2010, bertujuan untuk meningkatkan kemampuan serta keterampilan para taruna Akmil dalam melaksanakan penerjunan pada pagi hari dan malam hari.
Dengan kemampuan Para Dasar tersebut, Para taruna Akmil sebagai calon komandan di setiap satuan harus siap melaksanakan tugas-tugas di daerah yang sulit dan terpencil dalam rangka melaksanakan tugas taktis atau strategis untuk memelihara dan menjaga kedaulatan NKRI. Penerjunan menggunakan 1 pesawat C-130 Hercules Long Body, dilaksanakan dalam 4 sortie (sortie I 70 orang, sortie II 80 orang, sortie III 70 orang dan sortie IV 80 orang) dari Bandara Hussein Sastranegara, Kursus Para Dasar ini diikuti oleh 300 taruna tingkat III Akmil.
Pada penutupan kursus Para Dasar ini, Danjen Kopassus juga menutup sekaligus latihan Kursus pelatih Para yang diadakan juga di Pusdikpassus. Akhir acara, dilaksanakan demo terjun free fall dari anggota Kopassus.
KOPASSUS
Dengan kemampuan Para Dasar tersebut, Para taruna Akmil sebagai calon komandan di setiap satuan harus siap melaksanakan tugas-tugas di daerah yang sulit dan terpencil dalam rangka melaksanakan tugas taktis atau strategis untuk memelihara dan menjaga kedaulatan NKRI. Penerjunan menggunakan 1 pesawat C-130 Hercules Long Body, dilaksanakan dalam 4 sortie (sortie I 70 orang, sortie II 80 orang, sortie III 70 orang dan sortie IV 80 orang) dari Bandara Hussein Sastranegara, Kursus Para Dasar ini diikuti oleh 300 taruna tingkat III Akmil.
Pada penutupan kursus Para Dasar ini, Danjen Kopassus juga menutup sekaligus latihan Kursus pelatih Para yang diadakan juga di Pusdikpassus. Akhir acara, dilaksanakan demo terjun free fall dari anggota Kopassus.
KOPASSUS
Yonif L-501/18/2 KOSTRAD Gelar Latihan Rutin Jungar
08 September 2010 -- Panglima Divif 2 Kostrad (Mayjen TNI Gerhan Lantara) beserta seluruh Asisten Kasdivif 2 Kostrad menyaksikanlatiahan penyegaran penerjunan Yonif L-501/18/2 Kostrad dan pemberian sembako dalam rangka menyambut Hari Raya Idul Fitri 1 syawal 1431 H Tahun 2010 M bagi masyarakat yang kurang mampu di daerahlatihan Sambirejo-Madiun.
Sebanyak 708 prajurit Yonif Linud 501 langsung dipimpin oleh Danyonif L-501 Mayor Inf. Suharto Kegiatan Jungar ini rencananya akan dilaksanakan selama dua hari, mulai tanggal 31 Agustus s/d 1 September 2010 yang terbagi dalam 12 Surty bertempat di Bandara Iswahyudi Madiun. Latihan ini merupakan suatu kebutuhan yang mendasar bagi setiap prajurit lintas udara, agar kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya selalu terpelihara dan bahkan dapat ditingkatkan sehingga memiliki prajurit yang profesional dan setiap saat siap digerakkan untuk menjaga keutuhan wilayah NKRI.
Kikavtai 2 KOSTRAD Uji Siap Tempur
Asisten operasi Kasdivif 2 Kostrad Letkol Inf Ainur Rahman) membuka latihan UST Kikavtai Divif 2 Kostrad di daerah latihan Jabung-Malang. Sebanyak 145 prajurit Kikavtai 2 langsung dipimpin oleh Dankikavtai 2 Kapten Kav Hari Bhakti. Kegiatan latihan UST ini dilaksanakan selama 3 hari, mulai tanggal 3 s/d 6 September 2010.
Latihan Uji Siap Tempur Kompi ini, untuk melatihkan dan mengukur kemampuan teknis dan taktis serta komando dan pengendalian satuan setingkat kompi dalam suatu dinamika pertempuran, sehinggaakanterbentuk satuan Kompi yang siap tempur dan teruji, serta kemampuan dalam perencanaan dan persiapan dalam pelaksanaan operasi.UST ini hendaknya dapat menjadi pendorong tekad untuk senantiasa dapat hadir dan tampil sebagai prajurit yang profesional sejati yang dibanggakan rakyat, prajurit yang siap memberikan dharma bhakti terbaik kepada bangsa dan negara.
Penkostrad
Sebanyak 708 prajurit Yonif Linud 501 langsung dipimpin oleh Danyonif L-501 Mayor Inf. Suharto Kegiatan Jungar ini rencananya akan dilaksanakan selama dua hari, mulai tanggal 31 Agustus s/d 1 September 2010 yang terbagi dalam 12 Surty bertempat di Bandara Iswahyudi Madiun. Latihan ini merupakan suatu kebutuhan yang mendasar bagi setiap prajurit lintas udara, agar kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya selalu terpelihara dan bahkan dapat ditingkatkan sehingga memiliki prajurit yang profesional dan setiap saat siap digerakkan untuk menjaga keutuhan wilayah NKRI.
Kikavtai 2 KOSTRAD Uji Siap Tempur
Asisten operasi Kasdivif 2 Kostrad Letkol Inf Ainur Rahman) membuka latihan UST Kikavtai Divif 2 Kostrad di daerah latihan Jabung-Malang. Sebanyak 145 prajurit Kikavtai 2 langsung dipimpin oleh Dankikavtai 2 Kapten Kav Hari Bhakti. Kegiatan latihan UST ini dilaksanakan selama 3 hari, mulai tanggal 3 s/d 6 September 2010.
Latihan Uji Siap Tempur Kompi ini, untuk melatihkan dan mengukur kemampuan teknis dan taktis serta komando dan pengendalian satuan setingkat kompi dalam suatu dinamika pertempuran, sehinggaakanterbentuk satuan Kompi yang siap tempur dan teruji, serta kemampuan dalam perencanaan dan persiapan dalam pelaksanaan operasi.UST ini hendaknya dapat menjadi pendorong tekad untuk senantiasa dapat hadir dan tampil sebagai prajurit yang profesional sejati yang dibanggakan rakyat, prajurit yang siap memberikan dharma bhakti terbaik kepada bangsa dan negara.
Penkostrad
Danwing Udara 1 Lepas Tim Satgas Udara Maritim Task Force TNI Konga XXVIII-B UNIFIL
08 September 2010, Surabaya -- Komandan Wing Udara 1 Kolonel Laut (P) Subariyoto melepas keberangkatan Crew Pesud NV – 414 yang akan melaksanakan Satgas Maritime Task Force TNI Konga XXVIII-B UNIFIL Tahun 2010 dan bergabung dengan KRI Frans Kaisepo 368 sebagai Duta Bangsa dengan membawa nama bangsa Indonesia dalam misi perdamaian PBB.
Acara pelepasan yang dilaksanakan di Hanggar Lanudal Juanda dan dihadiri oleh para Direktur Puspenerbal, Kafasharkan Pesud, Perwira Staf Wing Udara 1 berjalan dengan hikmad. Satgas ini mengemban misi yang sangat penting bagi Bangsa dan Negara, sekaligus sebagai wakil negara Indonesia dalam keikutsertaannya menjaga perdamaian dunia.
Dalam sambutan Danpuspenerbal Laksamana Pertama TNI H. Sipahutar, M.Sc yang dibacakan oleh Komandan Wing Udara 1 Kolonel Laut (P) Subariyoto mengatakan, Tugas ini merupakan kehormatan yang memberikan nilai kebanggaan tersendiri bagi wakil dari keluarga besar Penerbangan TNI Angkatan Laut yang mewakili bangsa Indonesia dalam misi sebagai pasukan Perdamaian di Timur Tengah. Tidak semua anggota TNI AL memiliki kesempatan baik seperti ini. Personil yang ditunjuk adalah mereka yang benar-benar memenuhi berbagai persyaratan dengan seleksi ketat, baik dari segi kondisi fisik, mental, pengetahuan, ketrampilan maupun jiwa kejuangannya. Diharapkan dengan bekal kemampuan dan pengalaman yang dimiliki para `crew yang bertugas tersebut akan dapat mengemban tugas ini dengan baik.
Penugasan dalam misi internasional di bawah bendera PBB juga merupakan kehormatan bagi Bangsa Indonesia umumnya, khususnya TNI, yang telah menunjukkan kinerja yang baik dalam beberapa misi serupa sebelumnya. Keikutsertaan TNI dalam misi perdamaian PBB juga merupakan bentuk komitmen Bangsa Indonesia yang cinta damai tetapi lebih suka perdamaian. Diakhir acara pelepasan Satgas Maritime Task Force TNI Konga XXVIII-B UNIFIL Tahun 2010 seluruh peserta memberi ucapan Selamat pada Crew Pesud NV – 414 yang mewakili keluarga besar Penerbangan TNI Angkatan Laut.
Puspenerbal
Future Missile System for Gripen
08 September 2010 -- Defence and security company Saab has received an order from FMV (the Swedish Defence Materiel Administration) regarding the integration of the active radar-guided Beyond Visual Range (BVR) missile, Meteor. The order is worth MSEK 312 spread over four years.
The integration means that Meteor will be adapted to other Gripen systems, such as the radar and displays. The order includes test flights and test firing, as well as the integration of Meteor with support and maintenance systems such as simulators and planning computers. The Swedish Gripen C/D aircraft will also have a two-way datalink for communication between the aircraft and the missile once it has been fired.
"Meteor has substantially better performance than any other BVR missile existing today, which will obviously increase Gripen's ability to defend against other aircraft," says Lennart Sindahl, Head of business area Aeronautics within Saab. "The fact that Gripen is also being used internationally as an airborne platform in the development of Meteor shows that we have a technical level in Sweden that few other countries can match."
Gripen has been used since 2006 as the test aircraft for the development of Meteor. Multiple missiles have been fired from Gripen to date. This experience can now be utilised for a more cost-effective integration of Meteor with the Swedish Armed Forces' Gripen C/D.
The order mainly concerns Saab's operations in Linköping and to some extent Gothenburg.
Saab serves the global market with world-leading products, services and solutions ranging from military defence to civil security. Saab has operations and employees on all continents and constantly develops adapts and improves new technology to meet customers’ changing needs. Meteor has been designed to defeat current and future threats at beyond visual range, with an understanding performance that will totally redefine an aircraft's air combat capability. Meteor has the largest No Escape Zone of any air-to-air weapon, resulting in a long stand-off range and high kill probability that ensures air superiority and pilot survivability. The programme is on schedule to deliver the first production deliveries in 2012 and is the result of a successful six-nation European collaboration, in which Saab Dynamics of Sweden is a partner of the prime contractor, MBDA. The Gripen is the first of the new generation fighter aircraft to enter service and the first to be used for firing Meteor, the high-tech beyond visual range missiles of the future. Using the latest available technology it is capable of performing an extensive range of air-to-air and air-to-surface operational missions and employing the latest weapons. Gripen, designed to meet the demands of current and future threats, is in service with the Swedish, Czech Republic, Hungarian and South African Air Forces and has also been ordered by the Royal Thai Air Force. The UK Empire Test Pilots´ School (ETPS) is also operating Gripen as its advanced fast jet platform for test pilots world wide.
SAAB
DPR Anggap Saatnya TNI Modernisasi Alutsista
09 September 2010, Jakarta -- Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat, Mahfudz Siddiq mengakui alat utama sistem persenjataan Indonesia saat ini sudah tertinggal jauh dari negara lain, bahkan negara tetangga. Oleh karena itu, dia setuju untuk memaksimalkan anggaran TNI yang mengacu pada pemenuhan minimun essential forces TNI.
Menurut Mahfudz, ketertinggalan alutsista serta pertahanan ini disebabkan alokasi anggarannya selalu sangat minim. Kecilnya anggaran untuk sistem pertahanan itu sebagai akibat dari kebutuhan anggaran untuk sektor lain yang juga besar. Karena itulah dia mengaku setuju dengan pidato Presiden semalam yang berharap agar DPR bisa memperbesar anggaran pertahanan supaya memenuhi minimum essential forces TNI.
“Kalau Indonesia mau diperhitungkan kekuatan militerisya, sudah mendesak untuk mengalokasikan anggaran yang sesuai untuk pertahanan, yakni harus mengacu pada pemenuhan minimum essential forces,” kata Mahfudz melalui sambungan telepon, Kamis (9/9).
Mahfudz mengatakan, kebutuhan anggaran untuk memenuhi minimum essential forces TNI dari 2010 hingga 2014 adalah sebesarRp 150 triliun. Itulah gambaran kebutuhan anggaran yang menurut Mahfudz dibutuhkan negara agar dapat menuntaskan modernisasi alutsista Indonesia. Dia yakin total kebutuhan anggaran itu dapat terpenuhi.
Terlebih, kata dia, dengan adanya insiden dengan Malaysia terkait perbatasan beberapa waktu silam. Insiden itu membuat pemerintah serta DPR sepakat untuk menggeledah ulang masalah pertahanan dan keamanan Indonesia. Misalnya, kemampuan Indonesia dalam mengontrol laut yang dinilai kurang, lalu terlihat juga ternyata akibat kurangnya kontrol ini terdapat kerugian ekonomi yang sangat besar.
Mahfudz mencontohkan, kerugian karena ilegal fishing yang diperkirakan per tahun mencapai Rp 20 triliun, ilegal logging sekitar Rp 18 triliun, belum lagi penyelundupan BBM, dan lainnya. Sehingga dia merasa saat ini kebutuhan meningkatkan pertahanan sangat penting.
Terlepas dari ada tidaknya insiden penangkapan tiga petugas Dinas Kelautan Agustus lalu, alutsista tentara Indonesia memang sangat tertinggal. "Dulu kita ini negara militer terkuat di ASEAN sekarang keadaan jauh berbeda. Makanya mau tidak mau, meski posisi ekonomi belum maksimal tapi anggaran untuk mencapai minimum essential forces perlu diprioritaskan,” ujarnya.
TEMPO Interaktif
Wednesday, September 8, 2010
Presiden Lula Putuskan Pemenang Tender Jet Tempur Sebelum Lengser
Jet tempur Rafale. (Foto: AP)
08 September 2010 -- Presiden Brasilia Luiz Inacio Lula da Silva akan memutuskan pemenang tender milyaran dolar untuk pembelian jet tempur, setelah pemilu bulan Oktober, tetapi sebelum beliau meninggalkan istana pada 1 Januari, diungkapkan Menteri Pertahanan Brasilia Nelson Jobim, Selasa (7/9), setelah menghadiri perayaan HUT Kemerdekaan Brasilia, kutip kantor berita Agencia Brasil.
Brasilia membuka tender membeli 36 jet tempur baru, peserta tender Dassault Perancis Rafale, Saab Swedia Gripen NG dan Boeing Amerika Serikat F/A-18 Super Hornet.
Kesepakatan pembelian diperkirakan antara empat dan tujuh milyar dolar, tergantung jenis persenjataan, perawatan dan keterlibatan industri pertahanan Brasilia. Brasilia dapat membeli hingga 100 jet tempur dalam jangka panjang.
Lula cenderung memilih jet tempur buatan Perancis Rafale.
Perancis berharap pembelian Rafale oleh Brasilia terwujud, hingga saat ini hanya Perancis pengguna Rafale.
AFP/Berita HanKam
08 September 2010 -- Presiden Brasilia Luiz Inacio Lula da Silva akan memutuskan pemenang tender milyaran dolar untuk pembelian jet tempur, setelah pemilu bulan Oktober, tetapi sebelum beliau meninggalkan istana pada 1 Januari, diungkapkan Menteri Pertahanan Brasilia Nelson Jobim, Selasa (7/9), setelah menghadiri perayaan HUT Kemerdekaan Brasilia, kutip kantor berita Agencia Brasil.
Brasilia membuka tender membeli 36 jet tempur baru, peserta tender Dassault Perancis Rafale, Saab Swedia Gripen NG dan Boeing Amerika Serikat F/A-18 Super Hornet.
Kesepakatan pembelian diperkirakan antara empat dan tujuh milyar dolar, tergantung jenis persenjataan, perawatan dan keterlibatan industri pertahanan Brasilia. Brasilia dapat membeli hingga 100 jet tempur dalam jangka panjang.
Lula cenderung memilih jet tempur buatan Perancis Rafale.
Perancis berharap pembelian Rafale oleh Brasilia terwujud, hingga saat ini hanya Perancis pengguna Rafale.
AFP/Berita HanKam
Ganyang Malaysia?
Anggota Laskar Merah Putih memberi cap jempol darah sebagai simbol dukungan untuk NKRI saat aksi menentang Malaysia di depan Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (7/9). Mereka menuntut kepada Pemerintah RI untuk tetap melindungi dan menjaga kedaulatan NKRI. (Foto: ANTARA/Fanny Octavianus/ama/10)
08 September 2010 -- Unjuk rasa menentang Malaysia mengenai masalah perbatasan masih terus saja bermunculan di banyak tempat. Para pengunjuk rasa umumnya terdiri dari generasi muda.
Pola unjuk rasa mereka umumnya membakar bendera Malaysia sembari menuntut agar Pemerintah Indonesia bersikap lebih ”tegas” karena menganggap bahwa harga diri dan kedaulatan bangsa telah diinjak oleh negeri jiran tersebut.
Cukup banyak yang bahkan menuntut agar kita kembali ”mengganyang” Malaysia seperti pada tahun 1960-an, malah kalau perlu berperang. Apa yang sebenarnya kita ketahui tentang zaman konfrontasi itu?
Istilah ”konfrontasi” dipopulerkan Menteri Luar Negeri Soebandrio pada 20 Januari 1963. Sikap bermusuhan terhadap Malaysia kemudian dipertegas oleh Presiden Soekarno lewat diumumkannya perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) pada 3 Mei 1963.
Isinya, selain perintah untuk memperkuat ketahanan revolusi Indonesia, seluruh rakyat juga diperintahkan membantu perjuangan rakyat Malaya, Singapura, Sarawak, dan Sabah untuk menghancurkan Malaysia. Indonesia menganggap pembentukan Federasi Malaysia yang didalangi Inggris sebagai upaya nekolim (neokolonialisme dan imperialisme) membentuk sebuah negara boneka.
Adapun istilah ”Ganyang Malaysia” dilahirkan Bung Karno. Presiden pertama RI itu sangat gusar ketika dalam demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur pada 17 Desember 1963 para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek- robek foto Soekarno, dan membawa lambang Garuda Pancasila ke hadapan PM Malaysia waktu itu, Tunku Abdul Rahman, dan memaksanya menginjak lambang Garuda tersebut.
Insiden itu membuat Bung Karno murka. Ia pun berpidato:
”Kalau kita lapar itu biasa. Kalau kita malu, itu juga biasa. Namun, kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang ajar! Kerahkan pasukan ke Kalimantan, hajar cecunguk Malayan itu! Pukul dan sikat, jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak Malaysian keparat itu.”
”Doakan aku, aku akan berangkat ke medan juang sebagai patriot bangsa, sebagai martir bangsa, dan sebagai peluru bangsa yang tak mau diinjak-injak harga dirinya.”
”Serukan, serukan ke seluruh pelosok negeri bahwa kita akan bersatu untuk melawan kehinaan ini. Kita akan membalas perlakuan ini dan kita tunjukkan bahwa kita masih memiliki gigi yang kuat dan kita juga masih memiliki martabat.”
”Yoo... ayooo... kita ganyang. Ganyang Malaysia! Ganyang Malaysia! Bulatkan tekad. Semangat kita baja. Peluru kita banyak. Nyawa kita banyak. Bila perlu satoe- satoe!”
Rencana nekolim
Dibakar oleh pidato Bung Karno melalui radio itu (waktu itu radio merupakan media utama informasi), gerakan Ganyang Malaysia pun meledak ke seluruh negeri. Pendaftaran sukarelawan terjadi di mana-mana. Semangat bangsa saat itu memang sedang melambung setelah keberhasilan kita membebaskan Irian Barat pada tahun 1962.
Waktu itu, secara militer Indonesia merupakan negara terkuat di Asia Tenggara, terutama berkat persenjataan yang dibeli dari Uni Soviet. Semangat antinekolim juga sangat tinggi. Inggris pada tahun 1960-an itu masih merupakan kekuatan global.
Sebenarnya, Indonesia (dan Filipina) secara resmi setuju menerima pembentukan Federasi Malaysia apabila mayoritas rakyat di daerah yang akan dilakukan dekolonisasi menyetujui lewat referendum yang diorganisasi PBB. Namun, sebelum hasil referendum diumumkan, pembentukan Malaysia sudah diresmikan pada 16 September 1963, sesuatu yang dianggap Indonesia sebagai bukti rencana nekolim untuk terus mengangkangi Asia Tenggara.
Dari segi militer konfrontasi Indonesia-Malaysia, umum disebut sebagai undeclared war karena perang terjadi tanpa pernah didahului pernyataan perang. Inggris dan sekutunya (Malaysia, Australia, dan Selandia Baru) waktu itu memiliki sekitar 17.000 anggota pasukan di Kalimantan serta 10.000 anggota pasukan yang ada di Semenanjung Melayu.
Pertempuran kecil-kecilan (skirmishes) tentara Indonesia dengan Inggris terutama terjadi di perbatasan Kalimantan. Ada juga penyusupan tentara Indonesia di Semenanjung Malaysia.
Konfrontasi berakhir setelah Presiden Soekarno digantikan oleh Presiden Soeharto. Jumlah korban tewas di kedua belah pihak lebih besar berada di pihak Indonesia (sekitar 590 orang dibandingkan dengan Inggris, Australia, Selandia Baru yang hanya 114 jiwa).
Dalam rangkaian konfrontasi ini, sebuah insiden pernah terjadi antara Indonesia dan Singapura tatkala Singapura tetap menggantung dua prajurit marinir Indonesia yang tertangkap waktu menyusup ke Singapura meski Presiden Soeharto sudah mengirim utusan khusus agar hukuman itu diperingan.
Insiden itu lama terekam dalam ingatan kolektif bangsa, antara lain lewat syair yang dinyanyikan dalam permainan kim (main tebak angka berhadiah ala Minang yang kemudian dilarang karena dianggap judi). Bunyinya ”Lee Kuan Yew sangat kejam, membunuh dua pahlawan, nama Harun dan Usman”.
Semua peserta tebak-tebakan pun langsung mafhum, angka yang keluar adalah 68, yakni tahun terjadinya penggantungan itu.
Kini kedua pemerintah, Indonesia dan Malaysia, sepakat menyelesaikan insiden perbatasan melalui jalur diplomasi (soft power). Pemakaian kekerasan atau hard power dianggap tidak akan dapat memecahkan masalah.
Namun, perlu diingat, dalam penyelesaian suatu sengketa perbatasan, hard power sering diperlukan sebagai back-up dari diplomasi. Sengketa Irian Barat (Papua) dengan Belanda juga bisa dimenangkan dengan perpaduan kedua hal itu.
Publik mestinya masih ingat, sewaktu penyelesaian kasus sengketa Sipadan-Ligitan dengan Malaysia pada 2002, melalui Mahkamah Internasional pemerintah berusaha meyakinkan masyarakat bahwa kans kita menang fifty-fifty karena kita mempunyai bukti-bukti yang sahih tentang kepemilikan dua pulau tersebut.
Ternyata hasilnya jeblok. Kita kalah karena hanya satu hakim yang memenangkan dalih-dalih kita dan 16 lainnya menolak. (Susanto Pudjomartono, Wartawan Senior)
KOMPAS.com
08 September 2010 -- Unjuk rasa menentang Malaysia mengenai masalah perbatasan masih terus saja bermunculan di banyak tempat. Para pengunjuk rasa umumnya terdiri dari generasi muda.
Pola unjuk rasa mereka umumnya membakar bendera Malaysia sembari menuntut agar Pemerintah Indonesia bersikap lebih ”tegas” karena menganggap bahwa harga diri dan kedaulatan bangsa telah diinjak oleh negeri jiran tersebut.
Cukup banyak yang bahkan menuntut agar kita kembali ”mengganyang” Malaysia seperti pada tahun 1960-an, malah kalau perlu berperang. Apa yang sebenarnya kita ketahui tentang zaman konfrontasi itu?
Istilah ”konfrontasi” dipopulerkan Menteri Luar Negeri Soebandrio pada 20 Januari 1963. Sikap bermusuhan terhadap Malaysia kemudian dipertegas oleh Presiden Soekarno lewat diumumkannya perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) pada 3 Mei 1963.
Isinya, selain perintah untuk memperkuat ketahanan revolusi Indonesia, seluruh rakyat juga diperintahkan membantu perjuangan rakyat Malaya, Singapura, Sarawak, dan Sabah untuk menghancurkan Malaysia. Indonesia menganggap pembentukan Federasi Malaysia yang didalangi Inggris sebagai upaya nekolim (neokolonialisme dan imperialisme) membentuk sebuah negara boneka.
Adapun istilah ”Ganyang Malaysia” dilahirkan Bung Karno. Presiden pertama RI itu sangat gusar ketika dalam demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur pada 17 Desember 1963 para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek- robek foto Soekarno, dan membawa lambang Garuda Pancasila ke hadapan PM Malaysia waktu itu, Tunku Abdul Rahman, dan memaksanya menginjak lambang Garuda tersebut.
Insiden itu membuat Bung Karno murka. Ia pun berpidato:
”Kalau kita lapar itu biasa. Kalau kita malu, itu juga biasa. Namun, kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang ajar! Kerahkan pasukan ke Kalimantan, hajar cecunguk Malayan itu! Pukul dan sikat, jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak Malaysian keparat itu.”
”Doakan aku, aku akan berangkat ke medan juang sebagai patriot bangsa, sebagai martir bangsa, dan sebagai peluru bangsa yang tak mau diinjak-injak harga dirinya.”
”Serukan, serukan ke seluruh pelosok negeri bahwa kita akan bersatu untuk melawan kehinaan ini. Kita akan membalas perlakuan ini dan kita tunjukkan bahwa kita masih memiliki gigi yang kuat dan kita juga masih memiliki martabat.”
”Yoo... ayooo... kita ganyang. Ganyang Malaysia! Ganyang Malaysia! Bulatkan tekad. Semangat kita baja. Peluru kita banyak. Nyawa kita banyak. Bila perlu satoe- satoe!”
Rencana nekolim
Dibakar oleh pidato Bung Karno melalui radio itu (waktu itu radio merupakan media utama informasi), gerakan Ganyang Malaysia pun meledak ke seluruh negeri. Pendaftaran sukarelawan terjadi di mana-mana. Semangat bangsa saat itu memang sedang melambung setelah keberhasilan kita membebaskan Irian Barat pada tahun 1962.
Waktu itu, secara militer Indonesia merupakan negara terkuat di Asia Tenggara, terutama berkat persenjataan yang dibeli dari Uni Soviet. Semangat antinekolim juga sangat tinggi. Inggris pada tahun 1960-an itu masih merupakan kekuatan global.
Sebenarnya, Indonesia (dan Filipina) secara resmi setuju menerima pembentukan Federasi Malaysia apabila mayoritas rakyat di daerah yang akan dilakukan dekolonisasi menyetujui lewat referendum yang diorganisasi PBB. Namun, sebelum hasil referendum diumumkan, pembentukan Malaysia sudah diresmikan pada 16 September 1963, sesuatu yang dianggap Indonesia sebagai bukti rencana nekolim untuk terus mengangkangi Asia Tenggara.
Dari segi militer konfrontasi Indonesia-Malaysia, umum disebut sebagai undeclared war karena perang terjadi tanpa pernah didahului pernyataan perang. Inggris dan sekutunya (Malaysia, Australia, dan Selandia Baru) waktu itu memiliki sekitar 17.000 anggota pasukan di Kalimantan serta 10.000 anggota pasukan yang ada di Semenanjung Melayu.
Pertempuran kecil-kecilan (skirmishes) tentara Indonesia dengan Inggris terutama terjadi di perbatasan Kalimantan. Ada juga penyusupan tentara Indonesia di Semenanjung Malaysia.
Konfrontasi berakhir setelah Presiden Soekarno digantikan oleh Presiden Soeharto. Jumlah korban tewas di kedua belah pihak lebih besar berada di pihak Indonesia (sekitar 590 orang dibandingkan dengan Inggris, Australia, Selandia Baru yang hanya 114 jiwa).
Dalam rangkaian konfrontasi ini, sebuah insiden pernah terjadi antara Indonesia dan Singapura tatkala Singapura tetap menggantung dua prajurit marinir Indonesia yang tertangkap waktu menyusup ke Singapura meski Presiden Soeharto sudah mengirim utusan khusus agar hukuman itu diperingan.
Insiden itu lama terekam dalam ingatan kolektif bangsa, antara lain lewat syair yang dinyanyikan dalam permainan kim (main tebak angka berhadiah ala Minang yang kemudian dilarang karena dianggap judi). Bunyinya ”Lee Kuan Yew sangat kejam, membunuh dua pahlawan, nama Harun dan Usman”.
Semua peserta tebak-tebakan pun langsung mafhum, angka yang keluar adalah 68, yakni tahun terjadinya penggantungan itu.
Kini kedua pemerintah, Indonesia dan Malaysia, sepakat menyelesaikan insiden perbatasan melalui jalur diplomasi (soft power). Pemakaian kekerasan atau hard power dianggap tidak akan dapat memecahkan masalah.
Namun, perlu diingat, dalam penyelesaian suatu sengketa perbatasan, hard power sering diperlukan sebagai back-up dari diplomasi. Sengketa Irian Barat (Papua) dengan Belanda juga bisa dimenangkan dengan perpaduan kedua hal itu.
Publik mestinya masih ingat, sewaktu penyelesaian kasus sengketa Sipadan-Ligitan dengan Malaysia pada 2002, melalui Mahkamah Internasional pemerintah berusaha meyakinkan masyarakat bahwa kans kita menang fifty-fifty karena kita mempunyai bukti-bukti yang sahih tentang kepemilikan dua pulau tersebut.
Ternyata hasilnya jeblok. Kita kalah karena hanya satu hakim yang memenangkan dalih-dalih kita dan 16 lainnya menolak. (Susanto Pudjomartono, Wartawan Senior)
KOMPAS.com
Menhan : Untuk Menangani Konflik Atau Insiden di Perbatasan Solusinya Bisa Bermacam-Macam
(Foto: Dispenau)
06 September 2010, Jakarta -- Meski permasalahan perbatasan wilayah NKRI dengan beberapa Negara tetangga cukup kompleks dan kerap timbul adanya suatu Konflik, namun penanganan konflik ataupun insiden di perbatasan itu sendiri solusinya dapat bermacam-macam.
“Suatu saat jika ada insiden terjadi dengan Negara tetangga, pada dasarnya kita memiliki segmen-segmen beberapa peraturan yang dapat dilaksanakan. Apakah melalui jalan diplomasi, mengirimkan nota protes ataupun kita melakukan langkah-langkah lain. Untuk itu dalam penanganan dalam menyikapi pelanggaran kedaulatan di perbatasan, solusinya bisa bermacam-macam,” Ungkap Menhan RI
Demikian diungkapkan Menteri Pertahanan, Purnomo Yusgiantoro pada kesempatan acara Dialog Aktivis Muda Indonesia yang diselenggarakan oleh Pengurus Pusat Angkatan Muda Partai Gokar (AMPG), Minggu (5/9) di Jakarta.
Lebih lanjut Menhan menjelaskan, terkadang didalam proses pelanggaran kedaulatan di daerah perbatasan yang dilakukan pihak tetangga bisa dilakukan secara sengaja ataupun tidak sengaja. Untuk itu harus dilihat dan diteliti kembali bagaimana kualitas dan kuantitas dari setiap bentuk peristiwa yang terjadi didaerah perbatasan.
“Kalau terjadi sesuatu diperbatasan kita juga harus melihat kadar dan eskalasinya seperti apa, dan seberapa besar komponen yang ingin menggangu dan melewati kedaulatan kita hingga memiliki dampak langsung terhadap negara dan bangsa,” jelas Menhan.
Menurut Menhan, dari sektor Pertahanan sudah memiliki aturan-aturan yang tersendiri, terlebih lagi personel yang ada dilapangan juga sudah mempunyai Rule Engagement dalam hal menjaga kedaulatan wilayah negara dan mengelola daerah perbatasan.
“Kalau kita berbicara TNI kita punya pengalaman banyak, contohnya kalau ada pelanggaran di wilayah udara kita, kita langsung intercept dengan pesawat tempur kita, atau kita juga peringatkan terlebih dahulu, “ tutur Menhan.
Pada kesempatan acara tersebut Menhan juga mengharapkan kepada generasi muda dari bangsa yang arif, dalam menyikapi perkembangan era global pada saat ini agar mengesampingkan kondisi emosi dan lebih memahami langkah-langkah yang harus diambil dalam menangani permasalahannya yang ada.
Acara dialog aktivis Muda Indonesia yang berlangsung selama 1 hari tersebut menghadirkan beberapa pembicara dari kalangan pemerintah serta beberapa kalangan pakar dan pengamat, seperti, Wakil Menteri Luar Negeri, Triono Wibowo dan pengamat politik Universitas Paramadina, Yudi Latife dan pakar hukum internasional, Hikmahanto Juwana. Beberapa peserta yang hadir dari beberapa lembaga kemasyarakatan kita mahasiswa dari beberapa universitas di Indonesia turut menyaksikan sesi diskusi tersebut yang dipandu oleh Tantowi Yahya.
DMC
06 September 2010, Jakarta -- Meski permasalahan perbatasan wilayah NKRI dengan beberapa Negara tetangga cukup kompleks dan kerap timbul adanya suatu Konflik, namun penanganan konflik ataupun insiden di perbatasan itu sendiri solusinya dapat bermacam-macam.
“Suatu saat jika ada insiden terjadi dengan Negara tetangga, pada dasarnya kita memiliki segmen-segmen beberapa peraturan yang dapat dilaksanakan. Apakah melalui jalan diplomasi, mengirimkan nota protes ataupun kita melakukan langkah-langkah lain. Untuk itu dalam penanganan dalam menyikapi pelanggaran kedaulatan di perbatasan, solusinya bisa bermacam-macam,” Ungkap Menhan RI
Demikian diungkapkan Menteri Pertahanan, Purnomo Yusgiantoro pada kesempatan acara Dialog Aktivis Muda Indonesia yang diselenggarakan oleh Pengurus Pusat Angkatan Muda Partai Gokar (AMPG), Minggu (5/9) di Jakarta.
Lebih lanjut Menhan menjelaskan, terkadang didalam proses pelanggaran kedaulatan di daerah perbatasan yang dilakukan pihak tetangga bisa dilakukan secara sengaja ataupun tidak sengaja. Untuk itu harus dilihat dan diteliti kembali bagaimana kualitas dan kuantitas dari setiap bentuk peristiwa yang terjadi didaerah perbatasan.
“Kalau terjadi sesuatu diperbatasan kita juga harus melihat kadar dan eskalasinya seperti apa, dan seberapa besar komponen yang ingin menggangu dan melewati kedaulatan kita hingga memiliki dampak langsung terhadap negara dan bangsa,” jelas Menhan.
Menurut Menhan, dari sektor Pertahanan sudah memiliki aturan-aturan yang tersendiri, terlebih lagi personel yang ada dilapangan juga sudah mempunyai Rule Engagement dalam hal menjaga kedaulatan wilayah negara dan mengelola daerah perbatasan.
“Kalau kita berbicara TNI kita punya pengalaman banyak, contohnya kalau ada pelanggaran di wilayah udara kita, kita langsung intercept dengan pesawat tempur kita, atau kita juga peringatkan terlebih dahulu, “ tutur Menhan.
Pada kesempatan acara tersebut Menhan juga mengharapkan kepada generasi muda dari bangsa yang arif, dalam menyikapi perkembangan era global pada saat ini agar mengesampingkan kondisi emosi dan lebih memahami langkah-langkah yang harus diambil dalam menangani permasalahannya yang ada.
Acara dialog aktivis Muda Indonesia yang berlangsung selama 1 hari tersebut menghadirkan beberapa pembicara dari kalangan pemerintah serta beberapa kalangan pakar dan pengamat, seperti, Wakil Menteri Luar Negeri, Triono Wibowo dan pengamat politik Universitas Paramadina, Yudi Latife dan pakar hukum internasional, Hikmahanto Juwana. Beberapa peserta yang hadir dari beberapa lembaga kemasyarakatan kita mahasiswa dari beberapa universitas di Indonesia turut menyaksikan sesi diskusi tersebut yang dipandu oleh Tantowi Yahya.
DMC
Dua Kapal Perang Berjaga di Laut Anambas
Korvet kelas Parchim KRI Cut Nyak Dhien-375. (Foto: Dispenal)
08 September 2010, Anambas -- Komandan Pangkalan TNI Angkatan Laut (Danlanal) Tarempa, Letkol Laut (P) Azwan Yusuf mengatakan, saat ini ada dua kapal perang milik RI yang berjaga-jaga di wilayah perbatasan perairan Anambas. Penempatan dua kapal perang ini menyusul krisis hubungan RI-Malaysia yang mencuat belakangan ini.
"Pusat mengirimkan dua kapal perang jenis Parchim Class, untuk berjaga di wilayah perairan kita (Anambas)," kata Letkol Laut (P) Azwan Yusuf, usai menghadiri sidang paripurna DPRD Anambas, Selasa (7/9).
Azwan menjelaskan, sejauh ini belum ada perintah khusus untuk jajaran TNI AL, terkait memanasnya hubungan Indonesia dan Malaysia. Yang jelas, kata dia, jajaran TNI AL akan selalu siap menjaga kedaulatan NKRI dari serangan bangsa manapun.
Lebih lanjut Azwan menegaskan, sejauh ini belum pernah terjadi konfrontasi antara TNI dan tentara Malaysia, khususnya di wilayah perbatasan Anambas. Para prajurit yang saat ini bertugas di dua kapal perang itu, kata Azwan, juga belum pernah menyaksikan adanya manuver-manuver dari jajaran tentara angkatan laut negeri jiran itu.
"Mungkin karena kita berdekatan dengan Ibukota Kuantan. Dan di kota itu kekuatan angkatan lautnya kecil," kata Azwan.
Selain untuk berjaga-jaga di wilayah perbatasan, kehadiran dua kapal perang ini merupakan bagian dari patroli rutin yang digelar oleh jajaran TNI AL, untuk mengamankan wilayah alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) dan kawasan perbatasan. Azwan belum memastikan, kapan kedua kapal perang ini akan ditarik dari perairan Anambas.
Dalam kesempatan tersebut, Azwan menghimbau supaya masyarakat Anambas tidak mudah terprovokasi, terkait isu memanasnya hubungan Indonesia-Malaysia. Terutama misalnya dengan melakukan aksi-aksi yang cenderung destruktif dan menimbulkan suasana tidak aman.
JPNN
08 September 2010, Anambas -- Komandan Pangkalan TNI Angkatan Laut (Danlanal) Tarempa, Letkol Laut (P) Azwan Yusuf mengatakan, saat ini ada dua kapal perang milik RI yang berjaga-jaga di wilayah perbatasan perairan Anambas. Penempatan dua kapal perang ini menyusul krisis hubungan RI-Malaysia yang mencuat belakangan ini.
"Pusat mengirimkan dua kapal perang jenis Parchim Class, untuk berjaga di wilayah perairan kita (Anambas)," kata Letkol Laut (P) Azwan Yusuf, usai menghadiri sidang paripurna DPRD Anambas, Selasa (7/9).
Azwan menjelaskan, sejauh ini belum ada perintah khusus untuk jajaran TNI AL, terkait memanasnya hubungan Indonesia dan Malaysia. Yang jelas, kata dia, jajaran TNI AL akan selalu siap menjaga kedaulatan NKRI dari serangan bangsa manapun.
Lebih lanjut Azwan menegaskan, sejauh ini belum pernah terjadi konfrontasi antara TNI dan tentara Malaysia, khususnya di wilayah perbatasan Anambas. Para prajurit yang saat ini bertugas di dua kapal perang itu, kata Azwan, juga belum pernah menyaksikan adanya manuver-manuver dari jajaran tentara angkatan laut negeri jiran itu.
"Mungkin karena kita berdekatan dengan Ibukota Kuantan. Dan di kota itu kekuatan angkatan lautnya kecil," kata Azwan.
Selain untuk berjaga-jaga di wilayah perbatasan, kehadiran dua kapal perang ini merupakan bagian dari patroli rutin yang digelar oleh jajaran TNI AL, untuk mengamankan wilayah alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) dan kawasan perbatasan. Azwan belum memastikan, kapan kedua kapal perang ini akan ditarik dari perairan Anambas.
Dalam kesempatan tersebut, Azwan menghimbau supaya masyarakat Anambas tidak mudah terprovokasi, terkait isu memanasnya hubungan Indonesia-Malaysia. Terutama misalnya dengan melakukan aksi-aksi yang cenderung destruktif dan menimbulkan suasana tidak aman.
JPNN
Northrop Grumman Distributed Aperture System (DAS) for F-35 Demonstrates Ballistic Missile Defense Capabilities
07 September 2010, BALTIMORE -- Northrop Grumman Corporation's (NYSE:NOC) AN/AAQ-37 Electro-Optical Distributed Aperture System (DAS) for the F-35 Lightning II Joint Strike Fighter successfully detected and tracked a two-stage rocket launch at a distance exceeding 800 miles during a routine flight test conducted aboard the company's BAC 1-11 test bed aircraft.
"The DAS could fill critical capability gaps in the area of ballistic missile defense (BMD)," said Dave Bouchard, program director for F-35 sensors at Northrop Grumman. "We have only scratched the surface on the number of functions the F-35's DAS is capable of providing. With DAS, we've combined instantaneous 360-degree spherical coverage, high frame refresh rates, high resolution, high sensitivity powerful processors and advanced algorithms into a single system. The number of possibilities is endless."
An operational DAS system is comprised of multiple DAS sensors whose images are fused together to create one seamless picture. DAS successfully detected and tracked the rocket during a nine minute, two-stage, flight period from horizon break until final burnout through multiple sensor fields of regard. Unlike other sensors, DAS picks up targets without assistance from an external cue. Because DAS is passive, an operator does not have to point the sensor in the direction of a target to gain a track.
"The DAS software architecture already includes missile detection and tracking algorithms that can be applied to the BMD mission," Bouchard added. "The results of the flight test were extraordinary. We found that the data gathered during this flight validated our performance predictions. In fact, we knew we could have seen the rocket at a longer distance."
The AN/AAQ-37 DAS is a high resolution omni-directional infrared sensor system that provides advanced spherical situational awareness capability, including missile and aircraft detection, track and warning capabilities for the F-35 Joint Strike Fighter. DAS also gives a pilot 360 degree spherical day/night vision, with the capability of seeing through the floor of the aircraft. Northrop Grumman is now exploring how the existing DAS technology could assist in several additional mission areas, including Ballistic Missile Defense and irregular warfare operations.
Northrop Grumman's Electronic Systems sector designed and produces the F-35 Joint Strike Fighter AN/AAQ-37 DAS. The DAS F-35 software that includes algorithms for all JSF functions was delivered to Lockheed Martin Corporation earlier this year. Northrop Grumman also designed and produced the AN/APG-81 AESA radar system, and designed and produces the F-35's Communications, Navigation and Identification (CNI) system.
Northrop Grumman Corporation is a leading global security company whose120,000 employees provide innovative systems, products, and solutions in aerospace, electronics, information systems, shipbuilding and technical services to government and commercial customers worldwide. Please visit www.northropgrumman.com for more information.
Northrop Grumman Corporation
TNI AU: Keterlambatan Sukhoi Karena Pesawat Pengangkut Rusak
Sukhoi Su-27MK. (Foto: Dispenau)
07 September 2010, Jakarta -- Kepala Dinas Penerangan TNI AU, Marsekal Pertama Bambang Samoedro telah memastikan, keterlambatan dua unit pesawat jet tempur Sukhoi yang dijadwalkan tiba di Lanud Sultan Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (7/9) pagi adalah akibat masalah teknis pesawat pengangkutnya.
"Sukhoi pesanan kita tidak ada masalah. Barangnya sudah ada, sudah selesai dirakit," kata Bambang ketika dihubungi Tempo. Bambang mengaku sudah memastikan langsung ke pabrik Sukhoi di Rusia.
Pengiriman dua unit Sukhoi jenis SU 27 SKM tersebut diundur menjadi 9 September mendatang. Sedangkan satu unit Sukhoi lagi yang dijadwalkan tiba 15 September juga diundur menjadi 16 September.
Ketiga Sukhoi tersebut akan melengkapi tujuh unit yang sudah ada di Lanud Sultan Hasanuddin saat ini. Penyerahannya dari Menteri Pertahanan kepada Panglima TNI dan TNI AU direncanakan dilakukan di Makassar, 27 September mendatang.
Sejak tahun 2003, Indonesia memesan sepuluh unit pesawat jet tempur Sukhoi dari Rusia. Bambang mengaku tidak tahu persis anggaran pembelian kesepuluh Sukhoi tersebut, sebab menurutnya, hal itu merupakan wewenang Kementerian Pertahanan.
Sayangnya, Juru Bicara Kementerian Pertahanan, Brigjen I Wayan Midho ketika dihubungi mengaku tidak ingat nominalnya. "Masuknya ke anggaran tahun 2008-2009," ujarnya.
TEMPO Interaktif
07 September 2010, Jakarta -- Kepala Dinas Penerangan TNI AU, Marsekal Pertama Bambang Samoedro telah memastikan, keterlambatan dua unit pesawat jet tempur Sukhoi yang dijadwalkan tiba di Lanud Sultan Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (7/9) pagi adalah akibat masalah teknis pesawat pengangkutnya.
"Sukhoi pesanan kita tidak ada masalah. Barangnya sudah ada, sudah selesai dirakit," kata Bambang ketika dihubungi Tempo. Bambang mengaku sudah memastikan langsung ke pabrik Sukhoi di Rusia.
Pengiriman dua unit Sukhoi jenis SU 27 SKM tersebut diundur menjadi 9 September mendatang. Sedangkan satu unit Sukhoi lagi yang dijadwalkan tiba 15 September juga diundur menjadi 16 September.
Ketiga Sukhoi tersebut akan melengkapi tujuh unit yang sudah ada di Lanud Sultan Hasanuddin saat ini. Penyerahannya dari Menteri Pertahanan kepada Panglima TNI dan TNI AU direncanakan dilakukan di Makassar, 27 September mendatang.
Sejak tahun 2003, Indonesia memesan sepuluh unit pesawat jet tempur Sukhoi dari Rusia. Bambang mengaku tidak tahu persis anggaran pembelian kesepuluh Sukhoi tersebut, sebab menurutnya, hal itu merupakan wewenang Kementerian Pertahanan.
Sayangnya, Juru Bicara Kementerian Pertahanan, Brigjen I Wayan Midho ketika dihubungi mengaku tidak ingat nominalnya. "Masuknya ke anggaran tahun 2008-2009," ujarnya.
TEMPO Interaktif
Trinidad & Tobago Ship Successfully Completes Sea Trials
Scarborough (CG51). (Photo: shipspotting.com)
07 September 2010 -- Glasgow, United Kingdom: Scarborough, the second of three Offshore Patrol Vessels built by BAE Systems for the Trinidad & Tobago Coast Guard, has successfully completed sea trials off the west coast of Scotland and is on track to be delivered in October.
Named after Tobago's capital, Scarborough embarked on an extensive programme of trials in July, with a combined BAE Systems and Trinidad & Tobago Coast Guard crew on board, ready to put the ship through her paces.
Scott Jamieson, International Programmes Director at BAE Systems' Surface Ships division, said: "Scarborough exceeded her contracted 25 knot speed during sea trials and outperformed manoeuvrability requirements set out by the Government of the Republic of Trinidad & Tobago. This outstanding capability will undoubtedly be a valuable asset to the Trinidad & Tobago Coast Guard, helping to support its ongoing battle to beat the drugs trade in the region."
During sea trials, the Scarborough achieved a speed of 25. 38 knots and completed turning circles in 3. 5 ship lengths and a stopping distance of 3. 7 ship lengths. In addition, the crew tested the ship's main platform systems, power and propulsion, and components of the combat system, including the guns and the main surveillance radar, which is vital in the fight against the drugs trade.
Scarborough is part of a contract to build three 90m Offshore Patrol Vessels for the Trinidad & Tobago Coast Guard which will be used for a range of Economic Exclusion Zone management tasks, from disaster relief operations to tackling drug runners. Under the agreement, the UK Ministry of Defence is providing technical advice, quality assurance and operational sea training for the 60 man crews.
BAE Systems will also provide maintenance and in-service support to the ships for the next five years. This follows the work the Company's engineers have been undertaking for the past three years to the support the two interim vessels that BAE Systems provided to the Trinidad & Tobago Coast Guard in 2007.
The design of these highly versatile offshore patrol vessels is based on the proven River Class ships in service with the Royal Navy. Their ability to accommodate a diversity of roles makes them an attractive option to Trinidad & Tobago Coast Guard as well as navies around the world. BAE Systems is already working with Bangkok Dock in Thailand, which is using the same core platform design to build a similar vessel for the Royal Thai Navy.
About BAE Systems
BAE Systems is a global defence, security and aerospace company with approximately 107,000 employees worldwide. The Company delivers a full range of products and services for air, land and naval forces, as well as advanced electronics, security, information technology solutions and customer support services. In 2009 BAE Systems reported sales of £22. 4 billion (US$ 36. 2 billion).
BAE Systems
07 September 2010 -- Glasgow, United Kingdom: Scarborough, the second of three Offshore Patrol Vessels built by BAE Systems for the Trinidad & Tobago Coast Guard, has successfully completed sea trials off the west coast of Scotland and is on track to be delivered in October.
Named after Tobago's capital, Scarborough embarked on an extensive programme of trials in July, with a combined BAE Systems and Trinidad & Tobago Coast Guard crew on board, ready to put the ship through her paces.
Scott Jamieson, International Programmes Director at BAE Systems' Surface Ships division, said: "Scarborough exceeded her contracted 25 knot speed during sea trials and outperformed manoeuvrability requirements set out by the Government of the Republic of Trinidad & Tobago. This outstanding capability will undoubtedly be a valuable asset to the Trinidad & Tobago Coast Guard, helping to support its ongoing battle to beat the drugs trade in the region."
During sea trials, the Scarborough achieved a speed of 25. 38 knots and completed turning circles in 3. 5 ship lengths and a stopping distance of 3. 7 ship lengths. In addition, the crew tested the ship's main platform systems, power and propulsion, and components of the combat system, including the guns and the main surveillance radar, which is vital in the fight against the drugs trade.
Scarborough is part of a contract to build three 90m Offshore Patrol Vessels for the Trinidad & Tobago Coast Guard which will be used for a range of Economic Exclusion Zone management tasks, from disaster relief operations to tackling drug runners. Under the agreement, the UK Ministry of Defence is providing technical advice, quality assurance and operational sea training for the 60 man crews.
BAE Systems will also provide maintenance and in-service support to the ships for the next five years. This follows the work the Company's engineers have been undertaking for the past three years to the support the two interim vessels that BAE Systems provided to the Trinidad & Tobago Coast Guard in 2007.
The design of these highly versatile offshore patrol vessels is based on the proven River Class ships in service with the Royal Navy. Their ability to accommodate a diversity of roles makes them an attractive option to Trinidad & Tobago Coast Guard as well as navies around the world. BAE Systems is already working with Bangkok Dock in Thailand, which is using the same core platform design to build a similar vessel for the Royal Thai Navy.
About BAE Systems
BAE Systems is a global defence, security and aerospace company with approximately 107,000 employees worldwide. The Company delivers a full range of products and services for air, land and naval forces, as well as advanced electronics, security, information technology solutions and customer support services. In 2009 BAE Systems reported sales of £22. 4 billion (US$ 36. 2 billion).
BAE Systems
S-70iTM BLACK HAWK Helicopter Debuts at MSPO Exhibition Program Continues on Schedule with Launch into Global Market
PZL Mielec plant workers stand beside the first Black Hawk S-70i helicopter ever produced outside the U.S. , in Mielec, March 11, 2010. PZL Mielec was acquired by Sikorsky Aircraft Corp, an arm of United Technologies, in 2007 and the first Black Hawk S-70i, an international variant of the Black Hawk helicopter, was officially presented on March 15, 2010. Picture taken March 11, 2010. (Foto: Reuters)
07 September 2010, KIELCE, Poland -- The S-70i™ BLACK HAWK helicopter, the international variant of the BLACK HAWK helicopter, is on public display for the first time. Built at PZL Mielec, Sikorsky Aircraft’s company in Poland, the aircraft will be on static display at the MSPO exhibition through Sept. 9. Sikorsky Aircraft is a subsidiary of United Technologies Corp. (NYSE:UTX).
The display aircraft is the second to be produced at PZL Mielec. The first S-70i BLACK HAWK helicopter built at PZL Mielec is nearing completion of flight testing in the U.S. A production flight hangar at PZL Mielec is expected to be ready for flight test operations by the end of 2010.
“This begins a new chapter for the S-70i BLACK HAWK helicopter being offered on the international market,” said Debra A. Zampano, S-70i Program Manager, International Military Programs. “From its inception, the
S-70i helicopter program has moved forward smoothly, consistently achieving all of its key milestones. This is a global product for a global marketplace, and we are pleased that the public is able to view this new S-70i BLACK HAWK helicopter at the MSPO.”
Production flight tests will be conducted at the flight hangar at PZL Mielec beginning with the second aircraft.
Since its initial flight at the Sikorsky Development Flight Center in West Palm Beach, Florida, USA, the first S-70i BLACK HAWK helicopter has flown approximately 38 hours in test flight. It is expected to complete production flight testing in the fourth quarter.
“In test flight, the S-70i helicopter is light and has been flying remarkably fast,” said Chief Test Pilot Rick Becker. “It has been performing very well. It’s just a joy to fly.”
Delivery of the first S-70i BLACK HAWK aircraft to the S-70i helicopter program launch customer is scheduled for early 2011.
“The S-70i BLACK HAWK helicopter will support the global demand for the advanced technology available in this aircraft,” said Janusz Zakrecki, President of PZL Mielec. “Built in Poland, this aircraft exemplifies Polish craftsmanship and American technology, but more importantly, it is ready for the missions to come.”
The S-70i BLACK HAWK helicopter is the first BLACK HAWK aircraft designed specifically for international customers, and utilizes a global supply chain. It is the first BLACK HAWK helicopter to be assembled in Europe as well as the first helicopter to be produced by PZL Mielec in Poland.
The S-70i BLACK HAWK helicopter incorporates the latest technology with advanced features such as a fully integrated digital cockpit with a dual digital automatic flight control system and coupled flight director. It also features an active vibration control system that will smooth the overall ride of the aircraft. The dual GPS/INS system with digital map provides accurate and redundant navigation for the most demanding of tactical environments. Customers around the world will benefit from the aircraft’s modern, robust aircraft configuration and ability to leverage existing interoperability with Sikorsky’s worldwide fleet of BLACK HAWK helicopters.
Plans call for at least 20 S-70i BLACK HAWK helicopters to be produced per year, beginning in 2012.
Sikorsky Aircraft Corp., based in Stratford, Conn., USA, is a world leader in helicopter design, manufacture and service. United Technologies Corp., based in Hartford, Conn., USA, provides a broad range of high technology products and support services to the aerospace and building systems industries.
This press release contains forward-looking statements concerning potential production and sale of helicopters. Actual results may differ materially from those projected as a result of certain risks and uncertainties, including but not limited to changes in government procurement priorities and practices, budget plans or availability of funding or in the number of aircraft to be built; challenges in the design, development, production and support of advanced technologies; as well as other risks and uncertainties, including but not limited to those detailed from time to time in United Technologies Corporation’s Securities and Exchange Commission filings.
Sikorsky Aircraft Corp
07 September 2010, KIELCE, Poland -- The S-70i™ BLACK HAWK helicopter, the international variant of the BLACK HAWK helicopter, is on public display for the first time. Built at PZL Mielec, Sikorsky Aircraft’s company in Poland, the aircraft will be on static display at the MSPO exhibition through Sept. 9. Sikorsky Aircraft is a subsidiary of United Technologies Corp. (NYSE:UTX).
The display aircraft is the second to be produced at PZL Mielec. The first S-70i BLACK HAWK helicopter built at PZL Mielec is nearing completion of flight testing in the U.S. A production flight hangar at PZL Mielec is expected to be ready for flight test operations by the end of 2010.
“This begins a new chapter for the S-70i BLACK HAWK helicopter being offered on the international market,” said Debra A. Zampano, S-70i Program Manager, International Military Programs. “From its inception, the
S-70i helicopter program has moved forward smoothly, consistently achieving all of its key milestones. This is a global product for a global marketplace, and we are pleased that the public is able to view this new S-70i BLACK HAWK helicopter at the MSPO.”
Production flight tests will be conducted at the flight hangar at PZL Mielec beginning with the second aircraft.
Since its initial flight at the Sikorsky Development Flight Center in West Palm Beach, Florida, USA, the first S-70i BLACK HAWK helicopter has flown approximately 38 hours in test flight. It is expected to complete production flight testing in the fourth quarter.
“In test flight, the S-70i helicopter is light and has been flying remarkably fast,” said Chief Test Pilot Rick Becker. “It has been performing very well. It’s just a joy to fly.”
Delivery of the first S-70i BLACK HAWK aircraft to the S-70i helicopter program launch customer is scheduled for early 2011.
“The S-70i BLACK HAWK helicopter will support the global demand for the advanced technology available in this aircraft,” said Janusz Zakrecki, President of PZL Mielec. “Built in Poland, this aircraft exemplifies Polish craftsmanship and American technology, but more importantly, it is ready for the missions to come.”
The S-70i BLACK HAWK helicopter is the first BLACK HAWK aircraft designed specifically for international customers, and utilizes a global supply chain. It is the first BLACK HAWK helicopter to be assembled in Europe as well as the first helicopter to be produced by PZL Mielec in Poland.
The S-70i BLACK HAWK helicopter incorporates the latest technology with advanced features such as a fully integrated digital cockpit with a dual digital automatic flight control system and coupled flight director. It also features an active vibration control system that will smooth the overall ride of the aircraft. The dual GPS/INS system with digital map provides accurate and redundant navigation for the most demanding of tactical environments. Customers around the world will benefit from the aircraft’s modern, robust aircraft configuration and ability to leverage existing interoperability with Sikorsky’s worldwide fleet of BLACK HAWK helicopters.
Plans call for at least 20 S-70i BLACK HAWK helicopters to be produced per year, beginning in 2012.
Sikorsky Aircraft Corp., based in Stratford, Conn., USA, is a world leader in helicopter design, manufacture and service. United Technologies Corp., based in Hartford, Conn., USA, provides a broad range of high technology products and support services to the aerospace and building systems industries.
This press release contains forward-looking statements concerning potential production and sale of helicopters. Actual results may differ materially from those projected as a result of certain risks and uncertainties, including but not limited to changes in government procurement priorities and practices, budget plans or availability of funding or in the number of aircraft to be built; challenges in the design, development, production and support of advanced technologies; as well as other risks and uncertainties, including but not limited to those detailed from time to time in United Technologies Corporation’s Securities and Exchange Commission filings.
Sikorsky Aircraft Corp
Batas Maritim Indonesia-Timor Leste Belum Dibicarakan
(Foto: clubsuzukikupang.blogspot)
07 September 2010, Kupang -- Komandan Pangkalan Utama Angkatan Laut (Lantamal) VII Kupang, NTT Laksamana Pertama Amri Husaini mengatakanmasalah batas maritim antara Indonesia dengan Timor Leste belum dibicarakan oleh kedua negara karena masih menunggu penyelesain batas darat.
"Batas laut dengan Timtim sampai sekarang belum karena masih menunggu selesainya pembicaraan mengenai masalah batas darat," kata Komandan Pangkalan Utama Angkatan Laut (Lantamal) VII Kupang, NTT Laksamana Pertama Amri Husaini di Kupang, Selasa.
Dia mengemukakan hal itu berkaitan dengan masalah tapal batas laut antara Indonesia-Australia dan Timor Leste karena sampai sejauh ini pemerintah pusat belum mengembil sebuah sikap tegas untuk melakukan perundingan dengan dua negara yang berbatasan itu soal penetapan batas maritim secara permanen.
Menurut dia, walaupun belum ada penetapan batas maritim secara permanen tetapi sama sekali tidak menyulitkan atau menggangu TNI AL dalam menjaga keamanan di wilayah perairan yang berbatasan dengan dua negara itu.
Mengenai batas maritim dengan Australia, dia mengatakan konsekwensi dari lepasnya Timor Timur dari pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah batas-batas harus dibicarakan kembali.
"Kalau dengan Australia sementara ini tidak ada masalah kecuali dengan lepasnya Timtim karena konsekwensinya batas harus dibicarakan kembali.
Jadi kalau soal batas laut, kita masih tetap menunggu penyelesain batas darat," katanya.
Dia menambahkan untuk wilayah perbatasan maritim antara Indonesia- Australia tidak terlalu rawan karena hubungan baik antara Lantamal VII Kupang dengan angkatan laut Australia dalam menangani berbagai persoalan.
Hubungan baik itu selalu dibina dengan memberi kesempatan kepada kedua angkatan untuk melakukan latihan dan patroli bersama di wilayah perbatasan kedua negara, katanya.
"Bulan April lalu kami melakukan patroli bersama dengan angkatan laut Australia dan Mei kami melakukan latihan bersama. Ini untuk meningkatkan hubungan baik kedua negara," katanya.
Dia juga berharap agar gejolak perbatasan laut antara Indonesia-Malaysia tidak terjadi di daerah perbatasan dengan Australia maupun Timor Leste.
ANTARA News
07 September 2010, Kupang -- Komandan Pangkalan Utama Angkatan Laut (Lantamal) VII Kupang, NTT Laksamana Pertama Amri Husaini mengatakanmasalah batas maritim antara Indonesia dengan Timor Leste belum dibicarakan oleh kedua negara karena masih menunggu penyelesain batas darat.
"Batas laut dengan Timtim sampai sekarang belum karena masih menunggu selesainya pembicaraan mengenai masalah batas darat," kata Komandan Pangkalan Utama Angkatan Laut (Lantamal) VII Kupang, NTT Laksamana Pertama Amri Husaini di Kupang, Selasa.
Dia mengemukakan hal itu berkaitan dengan masalah tapal batas laut antara Indonesia-Australia dan Timor Leste karena sampai sejauh ini pemerintah pusat belum mengembil sebuah sikap tegas untuk melakukan perundingan dengan dua negara yang berbatasan itu soal penetapan batas maritim secara permanen.
Menurut dia, walaupun belum ada penetapan batas maritim secara permanen tetapi sama sekali tidak menyulitkan atau menggangu TNI AL dalam menjaga keamanan di wilayah perairan yang berbatasan dengan dua negara itu.
Mengenai batas maritim dengan Australia, dia mengatakan konsekwensi dari lepasnya Timor Timur dari pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah batas-batas harus dibicarakan kembali.
"Kalau dengan Australia sementara ini tidak ada masalah kecuali dengan lepasnya Timtim karena konsekwensinya batas harus dibicarakan kembali.
Jadi kalau soal batas laut, kita masih tetap menunggu penyelesain batas darat," katanya.
Dia menambahkan untuk wilayah perbatasan maritim antara Indonesia- Australia tidak terlalu rawan karena hubungan baik antara Lantamal VII Kupang dengan angkatan laut Australia dalam menangani berbagai persoalan.
Hubungan baik itu selalu dibina dengan memberi kesempatan kepada kedua angkatan untuk melakukan latihan dan patroli bersama di wilayah perbatasan kedua negara, katanya.
"Bulan April lalu kami melakukan patroli bersama dengan angkatan laut Australia dan Mei kami melakukan latihan bersama. Ini untuk meningkatkan hubungan baik kedua negara," katanya.
Dia juga berharap agar gejolak perbatasan laut antara Indonesia-Malaysia tidak terjadi di daerah perbatasan dengan Australia maupun Timor Leste.
ANTARA News
RI Berhak Tegas
Anggota Laskar Merah Putih berunjuk rasa menentang Malaysia di depan Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (7/9). Mereka menuntut kepada Pemerintah RI untuk tetap melindungi dan menjaga kedaulatan NKRI. (Foto: ANTARA/Fanny Octavianus/ama/10)
08 September 2010 -- Dalam sengketa perbatasan wilayah dengan Malaysia, Indonesia tidak selayaknya bersikap lembek. Karena kuncinya ada dalam Konvensi Hukum Laut PBB atau UNCLOS, yang justru merupakan hasil perjuangan para diplomat kawakan kita pada masa lalu.
Mengherankan bila dalam ingar-bingar masalah penangkapan tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan dan sengketa perbatasan RI-Malaysia tidak cukup terdengar suara keras dari jajaran Pemerintah Indonesia mengenai konvensi yang dihasilkan para diplomat Indonesia dengan susah payah.
Salah satu pokok persoalan terkait sengketa perbatasan laut itu adalah keengganan Malaysia memperbaiki kembali peta wilayah tahun 1979-nya dengan ketentuan UNCLOS 1982. Padahal, Malaysia juga meratifikasi kesepakatan hukum laut internasional (UNCLOS) itu. Dengan demikian, dari sisi ini saja, Indonesia berada di ”atas angin” dan sudah seharusnya menekan Malaysia segera menyesuaikan diri dengan ketentuan hukum laut PBB itu.
Peta Malaysia bermasalah
Perlu diingat kembali, ketika Malaysia mengumumkan peta wilayahnya pada tahun 1979, negara-negara tetangga Malaysia, termasuk Indonesia, langsung memprotes peta wilayah itu yang seenaknya saja mencaplok wilayah negara-negara mereka.
Menurut kebiasaan hukum internasional, sebagaimana disampaikan Direktur Jenderal Perjanjian Internasional, Keamanan, dan Kewilayahan Kementerian Luar Negeri RI Arif Havas Oegroseno, jika klaim atas sebuah wilayah oleh sebuah negara tidak mendapatkan protes dari negara lain, setelah dua tahun klaim itu dinyatakan sah.
Dalam kasus peta Malaysia 1979, Indonesia, Singapura, Filipina, Vietnam, dan beberapa negara lainnya langsung memprotes. Dengan demikian, peta Malaysia 1979 tidak punya kekuatan secara internasional.
Oleh karena itulah, tidak ada alasan bagi Indonesia untuk tunduk apalagi mengakui peta Malaysia yang bermasalah itu.
Sebaliknya, setelah berlakunya UNCLOS, Indonesia segera menyesuaikan peta wilayah sesuai ketentuan hukum laut internasional. Sebagaimana negara kepulauan, menurut UNCLOS, Indonesia mendapatkan sejumlah keistimewaan untuk menarik garis batas wilayahnya sehingga wilayah negara kepulauan berada dalam satu kesatuan.
Sebagai negara kepulauan, menurut UNCLOS, Indonesia berhak menarik garis di pulau-pulau terluar sebagai patokan untuk garis batas wilayah kedaulatannya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 47 UNCLOS. Hal yang sama tidak berlaku untuk Malaysia, yang tidak termasuk kategori negara kepulauan, tetapi berusaha menempatkan diri sebagai negara kepulauan sehingga bisa menggunakan keistimewaan sebagai negara kepulauan itu. (Rakaryan Sukarjaputra)
KOMPAS
08 September 2010 -- Dalam sengketa perbatasan wilayah dengan Malaysia, Indonesia tidak selayaknya bersikap lembek. Karena kuncinya ada dalam Konvensi Hukum Laut PBB atau UNCLOS, yang justru merupakan hasil perjuangan para diplomat kawakan kita pada masa lalu.
Mengherankan bila dalam ingar-bingar masalah penangkapan tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan dan sengketa perbatasan RI-Malaysia tidak cukup terdengar suara keras dari jajaran Pemerintah Indonesia mengenai konvensi yang dihasilkan para diplomat Indonesia dengan susah payah.
Salah satu pokok persoalan terkait sengketa perbatasan laut itu adalah keengganan Malaysia memperbaiki kembali peta wilayah tahun 1979-nya dengan ketentuan UNCLOS 1982. Padahal, Malaysia juga meratifikasi kesepakatan hukum laut internasional (UNCLOS) itu. Dengan demikian, dari sisi ini saja, Indonesia berada di ”atas angin” dan sudah seharusnya menekan Malaysia segera menyesuaikan diri dengan ketentuan hukum laut PBB itu.
Peta Malaysia bermasalah
Perlu diingat kembali, ketika Malaysia mengumumkan peta wilayahnya pada tahun 1979, negara-negara tetangga Malaysia, termasuk Indonesia, langsung memprotes peta wilayah itu yang seenaknya saja mencaplok wilayah negara-negara mereka.
Menurut kebiasaan hukum internasional, sebagaimana disampaikan Direktur Jenderal Perjanjian Internasional, Keamanan, dan Kewilayahan Kementerian Luar Negeri RI Arif Havas Oegroseno, jika klaim atas sebuah wilayah oleh sebuah negara tidak mendapatkan protes dari negara lain, setelah dua tahun klaim itu dinyatakan sah.
Dalam kasus peta Malaysia 1979, Indonesia, Singapura, Filipina, Vietnam, dan beberapa negara lainnya langsung memprotes. Dengan demikian, peta Malaysia 1979 tidak punya kekuatan secara internasional.
Oleh karena itulah, tidak ada alasan bagi Indonesia untuk tunduk apalagi mengakui peta Malaysia yang bermasalah itu.
Sebaliknya, setelah berlakunya UNCLOS, Indonesia segera menyesuaikan peta wilayah sesuai ketentuan hukum laut internasional. Sebagaimana negara kepulauan, menurut UNCLOS, Indonesia mendapatkan sejumlah keistimewaan untuk menarik garis batas wilayahnya sehingga wilayah negara kepulauan berada dalam satu kesatuan.
Sebagai negara kepulauan, menurut UNCLOS, Indonesia berhak menarik garis di pulau-pulau terluar sebagai patokan untuk garis batas wilayah kedaulatannya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 47 UNCLOS. Hal yang sama tidak berlaku untuk Malaysia, yang tidak termasuk kategori negara kepulauan, tetapi berusaha menempatkan diri sebagai negara kepulauan sehingga bisa menggunakan keistimewaan sebagai negara kepulauan itu. (Rakaryan Sukarjaputra)
KOMPAS
Presiden Perkuat Maritim
07 September 2010, Jakarta -- Penunjukan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Agus Suhartono dinilai upaya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memperkuat pertahanan di wilayah maritim.
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Lukman Hakim Saifuddin menilai langkah Presiden sesuai dengan kondisi saat ini, yaitu masih lemahnya pengawasan kawasan maritim. “Saya pikir ini bagus, setidaknya momentumnya pas kalau panglimanya dari Angkatan Laut,”kata Lukman di Gedung DPR, Jakarta, kemarin. Penunjukan Agus merupakan simbol Pemerintah SBY ingin mengangkat dan menunjukkan bahwa pemerintah memiliki perhatian serius untuk membenahi pertahanan dan keamanan. Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu setuju dengan pemilihan Agus sebagai panglima TNI.
“Semoga membawa harapan yang lebih baik,”katanya. Isu lemahnya pertahanan kawasan perairan mencuat menyusul menghangatnya hubungan antara Indonesia dan Malaysia, terutama setelah insiden penangkapan tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Wakil Ketua DPR Pramono Anung memprediksi pengajuan KSAL Laksamana TNI Agus Suhartono bakal mulus menuju jabatan tertinggi sebagai panglima TNI menggantikan Jenderal TNI Djoko Santoso. ”Presiden pasti memilih yang terbaik yang saat ini dimiliki TNI AL.Karenaitu,kamiharapnanti tidak ada voting. Apalagi ini menyangkut lembaga yang ada embelembelnya Indonesia,”kata Pramono Anung di Jakarta kemarin.
Pramono juga mengapresiasi Presiden SBY yang hanya mengusulkan satu nama ke DPR.Dipilihnya Agus, yang merupakan KSAL, juga dilihat positif karena setidaknya terjadi rotasi dalam kepemimpinan TNI. Meski tidak diatur harus ada giliran berdasarkan matra, tetapi pola itu sudah berjalan sejak dipilihnya Widodo AS (AL) pada zaman pemerintahan Abdurrahman Wahid. “Ini hal baik di dalam tubuh TNI sendiri,ada giliran,”ujarnya. Partai oposisi lainnya, Partai Gerindra, pun tampaknya tidak akan menolak pencalonan Agus.
Sekretaris Jenderal DPP Partai Gerindra yang juga anggota Komisi 1 DPR, Ahmad Muzani, mengatakan bahwa jabatan panglima TNI bukan arisan yang harus digilir oleh setiap angkatan.Tetapi Gerindra menghargai bahwa penunjukan Agus oleh Presiden SBY sudah melalui pertimbangan matang. “Presiden pasti punya pertimbangan dalam memilih calon panglima TNI. Nama yang diusulkan pasti memiliki kompetensi,terutama dalam mengatur kemampuan personel dan angkatan perang,” ungkapnya. Sikap Partai Hanura juga setali tiga uang dengan PDIP dan Gerindra.
Wakil Ketua Fraksi Partai Hanura Syarifuddin Sudding mengatakan bahwa diusulkannya nama Agus diharapkan bisa mengangkat martabat bangsa sebagai negara maritim. “Dengan pertimbangan itu, saya melihat pengajuan nama Agus bukanlah untuk giliran, tapi lebih pada upaya penguatan maritim,” ungkapnya. Wakil Ketua Komisi 1 DPR Tubagus Hasanuddin menjelaskan, panglima TNI memiliki pekerjaan rumah untuk membuat program dalam pembangunan Minimum Essential Force (MEF) atau kekuatan pokok minimum TNI . Melalui program ini,TNI diharapkan memiliki pasukan dan alat utama sistem persenjataan yang memiliki efek daya penggentar.
Periode kepemimpinan panglima TNI yang baru ini, lanjut Hasanuddin, sangat penting untuk menentukan perjalanan pembangunan MEF yang akan berjalan dimulai tahun 2010 sampai 2024. “Jalannya rencana strategis pembangunan MEF kuncinya berada pada tahun-tahun pertama implementasinya di bawah kendali panglima TNI yang baru,”ujarnya. Berikutnya pembenahan kedisiplinan prajurit TNI juga menjadi agenda penting yang dihadapi panglima TNI yang baru.
Dia melihat belakangan kembali marak tindakan indispiliner yang dilakukan prajurit TNI. Seperti terlibat pertikaian dengan anggota Polri.
SINDO