Model N219. (Foto: BPPT)
31 Desember 2010 -- Penerbangan perintis masih akan menjadi andalan Indonesia untuk membuka keterisolasian daerah-daerah terpencil, baik yang ada di pegunungan maupun pulau-pulau kecil. Untuk itu, dibutuhkan pesawat komuter yang sesuai dengan kondisi geografis dan sosioekonomi setempat.
Banyak daerah terpencil di Indonesia yang memiliki landasan pacu pesawat terbang sangat pendek. Lokasi daerah yang berada di punggung gunung, seperti Papua atau pulau-pulau kecil yang sempit, membuat sulit dibangun landasan pacu yang panjang. Bahkan, akibat kendala geografis itu, banyak daerah yang masih sulit dijangkau dengan menggunakan pesawat-pesawat perintis sekalipun.
Saat ini terdapat 72 persen atau 715 bandar udara dan lapangan terbang di Indonesia yang panjang landas pacunya kurang dari 800 meter. Sebanyak 70 persen atau 60 pesawat perintis dengan kapasitas 9-20 penumpang sudah berumur di atas 20 tahun.
Penerbangan perintis itu menghubungkan 89 bandar udara atau lapangan terbang yang ada di 14 provinsi dan melayani 118 rute penerbangan. Setiap tahun, subsidi negara untuk menutupi biaya operasional penerbangan perintis itu mencapai Rp 240 miliar.
Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Marzan Azis Iskandar di Jakarta, Selasa (28/12), mengatakan, kebutuhan pesawat berkapasitas 9-20 penumpang di Indonesia saja hingga 20 tahun mendatang mencapai 97 unit untuk penerbangan sipil dan 105 pesawat untuk keperluan khusus.
Pesawat N219
Menjawab kebutuhan akan pesawat kecil yang bisa menyesuaikan dengan berbagai keterbatasan kondisi geografis yang ada, PT Dirgantara Indonesia (DI) mengembangkan pesawat N219 berkapasitas 19 penumpang. Pesawat ini dirancang sesederhana mungkin, tetapi tidak mengurangi aspek keselamatan penerbangan.
Direktur Utama PT DI Budi Santoso menyatakan, jika pesawat N219 ini nanti terwujud, akan menjadi pesawat tercanggih di kelasnya. Desain pesawat sejenis rata-rata dibuat pada 1950-an.
Pesawat ini akan menggunakan teknologi era 2000-an. Beberapa kecanggihan yang ada dalam pesawat ini, antara lain, menggunakan desain dan analisis aerodinamik hasil penelitian terbaru, desain pesawat seluruhnya menggunakan komputer, serta penggunaan bahan rangka pesawat yang ringan tetapi tetap kuat.
Selain itu, pesawat juga dilengkapi dengan sistem navigasi penerbangan elektronik berbasis personal computer yang murah dan global positioning system (GPS). Dengan peralatan ini, ketika pesawat menghadapi cuaca buruk, hujan deras, ataupun awan tebal, posisi gunung-gunung yang ada di depan ataupun landasan pacu pesawat tetap dapat terdeteksi.
N219 mampu didaratkan pada landasan berumput sepanjang 600 meter. Adapun pesawat sejenis Casa C-212 hanya bisa mendarat di landasan sepanjang 800 meter, sedangkan DHC-6 Twin Otter bisa mendarat di landasan sepanjang 600 meter, tetapi kapasitas angkutnya lebih kecil.
Mesin pesawat yang menggunakan produk Pratt & Whitney ini dirancang untuk tetap berkinerja baik pada daerah dengan tekanan udara rendah dan suhu tinggi.
”Di pegunungan yang tekanan udaranya rendah dan kondisi suhu tinggi yang membuat kerapatan udara kurang akan mengurangi kinerja mesin. Pengurangan kinerja mesin N219 tidak sedrastis pesawat sejenisnya hingga membuatnya lebih stabil,” ungkap Direktur Aerostruktur PT DI Andi Alisjahbana.
Meski termasuk mesin pesawat generasi lama, Pratt & Whitney dipilih karena lebih banyak teknisi yang memahaminya dan suku cadang banyak tersedia. Jika digunakan mesin pesawat generasi baru, dipastikan perawatannya akan lebih susah dan mahal.
Walau demikian, keamanan pesawat tetap jadi prioritas. Posisi sayap dan mesin yang ada di atas membuat mesin cukup terlindung dari debu atau kerikil saat mendarat. Ban pesawat juga didesain tetap ada di luar pesawat, tak dimasukkan dalam badan pesawat saat terbang sehingga tidak perlu khawatir ban tak keluar saat akan mendarat.
Daya angkut dan jelajah
Kapasitas angkut pesawat juga lebih besar dibandingkan pesawat sejenis, yaitu 2.318 kilogram. Ini akan menjawab keluhan sejumlah penumpang di daerah pedalaman yang sering protes saat barang bawaannya tidak terangkut.
Jarak tempuh maksimal pesawat adalah 1.539 kilometer. Namun, pesawat dirancang untuk terbang beberapa kali (multi hop) pada jarak yang lebih pendek, sesuai karakter penerbangan perintis, tanpa perlu mengisi bahan bakar di setiap pemberhentian. Ini untuk mengantisipasi terbatasnya persediaan bahan bakar di daerah pedalaman.
Bagian dalam pesawat juga mudah diubah dalam waktu singkat untuk disesuaikan dengan kebutuhan, apakah akan mengutamakan angkutan penumpang atau barang. Pengubahan yang cepat ini memungkinkan penggunaan pesawat ini untuk angkutan evakuasi medik dari daerah bencana atau untuk keperluan militer.
”Pesawat ini merupakan jawaban atas cemoohan berbagai pihak bahwa PT DI (dulu Industri Pesawat Terbang Nusantara/IPTN) hanya bisa membuat teknologi tinggi yang tidak bisa diaplikasikan sesuai kebutuhan bangsa,” ungkap Andi.
Pesawat yang kini dalam proses penyelesaian desain awal ini diharapkan dapat diproduksi pada 2013 dengan catatan tidak ada masalah pendanaan dalam pengembangan dan produksinya. Penggunaan pesawat N219 diharapkan dapat menggantikan pesawat-pesawat perintis yang sudah tua serta menjadi media alih teknologi dari ahli rekayasa dan teknisi pesawat era 1980- 1990 kepada generasi muda. (M Zaid Wahyudi)
KOMPAS
No comments:
Post a Comment